Jumat, 10 Maret 2017

Memprediksi Implikasi Politik Skandal E-KTP

Politik Indonesia kembali dihangatkan oleh Mega-Skandal E-KTP pada persidangan E-KTP tahap pertama Kamis 9 Maret 2017. Dalam pembacaan dakwaan, nama-nama besar perpolitikan Indonesia disebut menerima aliran dana yang diduga merugikan Negara hampir 2 Triliun rupiah, setidaknya nama 1 Ketua DPR, 1 Menteri, 3 Gubernur, 2 Eks-Ketua DPR, 1 Eks-Menteri, dan puluhan anggota DPR diduga menerima aliran dana proyek ini. 

Dalam tulisan ini ijinkan penulis menelaah implikasi politik dari skandal E-KTP. Pertama harus diingat bahwa saat ini hanya ada 2 orang dari pihak Kemendagri yang menjadi tersangka proyek ini, sementara nama-nama yang disebut masih belum menjadi tersangka maupun terpidana kasus. Dalam jangka pendek, daya tawar presiden akan menguat, mengingat posisi Presiden Jokowi pada 2012 yang masih sebatas Walikota Solo, dan kemungkinan besar tidak ada sangkut pautnya dalam skandal E-KTP. Di sisi lain daya tawar partai-partai kepada Presiden akan melemah mengingat banyaknya anggota dari berbagai partai yang terseret dalam skandal E-KTP. Perubahan daya tawar ini terlihat dengan adanya pertemuan Jokowi dan SBY pada hari yang sama saat persidangan E-KTP dilangsungkan. 

Melihat efek jangka panjang dari skandal E-KTP, maka harus mempertimbangkan siapa saja nama-nama dalam dakwaan yang ditetapkan menjadi tersangka. Apabila nama-nama besar yang disebutkan dalam dakwaan tidak menjadi tersangka, tentu dampak kasus E-KTP secara politik akan sangat minim dan hanya memperkuat citra buruk DPR yang selama ini ada. Di sisi lain keseriusan pemerintahan dalam pemberantasan korupsi akan dipertanyakan apabila kasus E-KTP hanya menyeret “pion-pion” dari kasus ini.  

Apabila nama-nama besar yang disebutkan dalam dakwaan menjadi tersangka, maka dapat dipastikan akan memicu maneuver partai politik untuk memberi tekanan pada pemerintah. Mengingat hampir semua partai politik termasuk partai pendukung pemerintah terlibat dalam kasus ini, bahkan 1 ketua partai dan 1 bendahara partai disebut menerima aliran dananya. Beberapa potensi kasus seperti 1). Papa Minta Saham, 2). Transjakarta dapat dikembangkan menjadi hak interpelasi atau hak angket untuk menekan pemerintah, kasus ini dapat menyeret tokoh-tokoh di pemerintahan dan memaksa adanya kompromi politik dari pemerintahan Jokowi. 

Guncangan politik paling besar kemungkinan akan dirasakan oleh Golkar dan PDIP. Dalam kasus Partai Golkar, kedua pimpinan faksi yang bersaing ketat dalam Munas Golkar, disebut menerima aliran dana. Apabila keduanya menjadi terpidana akan mengubah peta faksi yang ada di Partai Golkar, dan dapat menimbulkan berubahnya peta faksi yang ada. Di satu sisi hal ini akan berdampak pada turunnya elektabilitas partai, tetapi di sisi lain dapat membuat munculnya generasi kepemimpinan yang baru di dalam partai. 

Sedangkan dalam kasus PDIP, nama yang terseret adalah bendahara partai selama periode 2009-2019, peran bendahara dalam partai sangat krusial dalam mencari dan mengalirkan dana ke seluruh anggota partai. Layaknya kasus Nazaruddin, apabila terbukti bersalah bukan tidak mungkin dapat menjadi “kotak Pandora” kasus yang mengarah kepada anggota partai yang lain. Hal ini ditambah dengan disebutnya beberapa kader-kader potensial PDIP lainnya yang diduga menerima aliran dana E-KTP tentu dapat mengancam kepemimpinan partai banteng ini.

Guncangan politik di kedua partai dapat menimbulkan kekecewaan PDIP dan Partai Golkar, dimana para petinggi partai menilai dukungan yang diberikan kepada pemerintahan tidak ada artinya. Kekecewaan ini dapat berujung pada berbaliknya dukungan partai kepada pemerintahan saat ini. Bersama partai lain, keduanya dapat menghambat kebijakan pemerintah, dan menunggu waktu yang tepat untuk mengekspose kelemahan pemerintah.

Implikasi politik lain yang tidak kalah menarik adalah keterlibatan Gubernur DKI non-aktif saat ini yang merupakan aliansi dari Presiden. Meskipun namanya tidak disebut secara langsung dalam persidangan, tetapi secara tidak langsung namanya termasuk dalam bagian 37 anggota DPR Komisi II yang diduga menerima aliran dana. Keterlibatan dana ini dapat menjadi amunisi politik dalam Pilgub DKI putaran kedua. Tetapi lawan politiknya tentu harus berhati-hati memanfaatkan kasus ini sebagai amunisi politik, karena dapat menyinggung keterlibatan pihak-pihak lain yang termasuk dalam kubu yang sama di Pilgub DKI. 

Tentu ada alasan ke 37 nama ini tidak disebutkan secara rinci, salah satunya adalah karena dana yang ada tidak langsung diterima ke 37 nama ini beserta dengan 13 pimpinan komisi dan kapoksi lainnya. Tanggungjawab membagikan uang ini disebut-sebut berada di bawah kendali AW, yang merupakan seorang politisi PDIP. 

Keberadaan operator ini menjadi titik kunci apakah benar bahwa kucuran dana E-KTP dibagikan dan diterima oleh 37 eks anggota komisi II yang disebut. Apabila terbukti ke 37 nama ini menerima kucuran dana, Presiden Jokowo akan dihadapkan pilihan yang lebih sulit mengingat keberadaan aliansi politiknya dalam pusaran dana ini. Kondisi ini tentu dapat dimanfaatkan para tersangka lain untuk memaksa presiden melakukan kompromi politik.

Sebelum menutup tulisan ini, penulis kembali menekankan bahwa secara yuridis hampir seluruh nama yang disebut belum menjadi TERSANGKA apalagi TERPIDANA kasus E-KTP. Adalah hal yang NAIF, UTOPIS dan SESAT PIKIR jika ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa hanya 1 dari 51 anggota komisi II DPR yang menolak dana E-KTP, pun demikian dengan pihak-pihak yang mengklaim bersih dan tidak terlibat kasus ini, karena faktanya secara hukum belum ada yang terbukti bersalah maupun terbukti benar dalam skandal ini. 

Melihat situasi yang terjadi, dapat dipastikan bahwa kondisi politik Indonesia akan memanas dalam beberapa bulan ke depan yang dapat berlanjut hingga pemilu 2019. Masyarakat patut menyimak maneuver pemerintah, nama-nama terkait, partai politik, dan KPK dalam melakoni skandal E-KTP ini.  Di sisi lain peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam dalam mengawal kasus E-KTP secara objektif, tanpa melupakan asas praduga tak bersalah dari setiap nama yang disebut dalam dakwaan. Terlepas dari implikasi politik dari kasus E-KTP, semoga kasus ini dapat menjadi awal penegakan hukum yang baik dan tidak tebang pilih di Indonesia. 

*Disclaimer – Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan merupakan analisa atas skenario potensial yang dapat terjadi, tanpa mempertimbangkan aspek hukum yang sedang berlangsung* 

Minggu, 14 Juni 2015

Ideology 101

Tahun 2014, adalah tahun yang dinamis secara politik. Memasuki tahun 2015, perhatian masyarakat bisa dikatakan kembali dialihkan kepada bidang ekonomi. Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik terendah sejak krisis ekonomi global 2008-2009. Di sisi lain mata uang rupiah melemah menembus Rp 13.300 yang merupakan titik terendah sejak 1998. Pendapatan pajak kuartal 1 2015 menurun bukan hanya dari persentase namun juga dari sisi nominal dibandingkan pendapatan pajak kuartal 1 2014. Tidak pelak hal ini menimbulkan kritik kepada kemampuan pemerintahan Jokowi-JK, tetapi rasanya tidak perlu membahas satu per satu kritik kepada pemerintahan Jokowi-JK dalam tulisan ini.Hal yang ingin penulis angkat dalam blog ini adalah minimnya debat ideology dalam jalannya pemerintahan maupun politik di Indonesia saat ini. Tulisan ini mencoba menjelaskan ideologi-ideologi yang ada.

Ideologi dapat diartikan sebagai sebuah visi komprehensif untuk mencapai tujuan bernegara, yaitu kemakmuran masyarakat. Dalam penilaian penulis, ideologi dapat dibagi menjadi 2 aspek yaitu 1). Seberapa banyak peran pemerintah dalam kehidupan bernegara, khususnya secara sosial dan ekonomi dan 2). Seberapa represif pemerintah dalam menjalankan keputusannya, atau dalam hal ini dapat dikategorikan menjadi demokrasi dan otoriter. Diagram di bawah adalah salah satu diagram yang cukup menggambarkan perbedaan ideologi.

Dari diagram diatas dapat kita lihat bahwa sebuah ideologi dapat dibagi menjadi 4 tipe. Pertama adalah konservatif. Pemerintahan konservatif umumnya memiliki peran negara yang kuat dalam sisi social (social conservative) dan di sisi lain tidak melakukan regulasi di sisi ekonomi (economic right). Kebijakan yang umum diambil di sisi sosial adalah pembatasan aborsi, dan menolak pernikahan sejenis. Di sisi ekonomi pemerintahan ini mendukung pasar bebas, pajak yang lebih rendah, hingga pencabutan subsidi. Jika kebijakan ini dijalankan secara represif hal ini mengarah pada fasisme/nasionalis-sosialis (Nazi).
Tipe kedua adalah pemerintahan sosial demokrat/sosialis. Pemerintahan ini menekankan pada peran pemerintah di sisi ekonomi (economic left), tetapi tidak melakukan regulasi di sisi sosial (social liberal). Kebijakan yang diambil pemerintahan ini secara sosial adalah mendukung pernikahan sejenis, dan anti-sensor maupun pengawasan negara (surveillance program).  Di sisi ekonomi pemerintahan ini mendukung pajak yang lebih tinggi, pengaturan perbankan/pasar modal, dan pro-subsidi. Ideologi ini dalam bentuk ekstrim akan mengarah pada anarkisme yaitu ketiadaan pemerintah. Dalam anarkisme, masyarakan ditekankan untuk bebas secara sosial, namun mendorong kolektivisme secara ekonomi.

Tipe ketiga menekankan pada minimnya peran pemerintah baik dari sisi ekonomi (economic right) maupun sosial (socially liberal). Ideologi yang disebut libertarian ini mendukung kebijakan pasar bebas dan deregulasi. Di sisi sosial mereka juga mendukung pernikahan sejenis, dan anti sensor/pengawasan pemerintan. Libertarian memiliki kemiripan dengan anarkisme, namun secara ekonomi mereka mendorong individualisme.

Tipe keempat adalah pemerintahan yang melakukan pengaturan secara sosial (social conservative), maupun secara ekonomi (economic left). Pemerintahan yang melakukan hal ini secara ekstrim/represif umumnya disebut komunis/stalinist/maoist. Walaupun beberapa pemerintahan yang berbasis keagamaan juga dapat masuk ke dalam kategori ini.

Menurut penulis, perbedaan yang terjadi ini disebabkan perbedaan asumsi dan preferensi setiap individu. Individu yang percaya bahwa setiap manusia sudah memiliki intelektualitas dan kedewasaan cenderung mendukung libertarianisme. Sementara individu yang religious/percaya bahwa kunci masyarakat yang makmur adalah moralitas akan menjadi social conservative. Jika seseorang memandang perlunya seorang tokoh yang dapat menyelesaikan semua permasalahan,  hal ini mengarah pada authoritarianism yaitu komunisme maupun fasisme. Sementara orang-orang yang memandang moralitas adalah urusan individu, dan fokus negara adalah memakmurkan masyarakat melalui kebijakan ekonomi akan cenderung menjadi sosialis/sosial demokrat.


Tentu pada realitanya ideologi tidak sesederhana penjelasan pada tulisan ini. Tetapi secara garis besar hal ini dapat menjadi basis klasifikasi ideologi-ideologi yang ada. Berangkat dari pemahaman mengenai ideologi, adalah suatu hal yang wajar jika terdapat perbedaan ideologi dalam masyarakat. Perbedaan ini sudah seharusnya dibahas dalam debat-debat terbuka, karena hal ini akan mendorong partisipasi masyarakat dalam bernegara, yang diharapkan akan membantu tercapainya tujuan bernegara yaitu mewujudkan masyarakat yang makmur secara sosial maupun ekonomi.

Selasa, 30 September 2014

A Life Lessons

On this post, I just want to share a quote from the Amazing Spider Man 2 Movie which i found compelling. So here it is guys :

I know that we all think we're immortal, we're supposed to feel that way, we're graduating. 

The future is and should be bright, but, like our brief four years in high school, what makes life valuable is that it doesn't last forever, what makes it precious is that it ends. 

I know that now more than ever. And I say it today of all days to remind us that time is luck. 

So don't waste it living someone else's life, make yours count for something. 

Fight for what matters to you, no matter what. 

Because even if you fall short, what better way is there to live?

But wait it doesn't end there, on the end of the movie, Peter recall a voice note from gwen.

"It's easy to feel hopeful on a beautiful day like today, but there will be dark days ahead of us too, and there'll be days where you feel all alone, and that's when hope is needed most. Keep it alive."

"No matter how buried it gets, or lost you feel, you must promise me, that you will hold on to hope and keep it alive. We have to be greater than what we suffer. My wish for you, is to become hope. People need that."

"I know it feels like we’re saying goodbye, but we will carry a piece of each other into everything that we do next, to remind us of who we are, and of who we’re meant to be. I’ve had a great four years with you, and I’ll miss you all very much."

Sabtu, 27 September 2014

Men-Judicial Review Akal Sehat

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Melihat Sisi Lain UU Pilkada”. Pada akhir tulisan tersebut sebuah catatan kaki terselip bahwa penulis secara pribadi mendukung pemilihan via DPRD untuk walikota & bupati, serta pemilihan langsung untuk gubernur. Dasar dari sikap ini adalah fakta bahwa otonomi daerah Indonesia saat ini sudah kebablasan, dimana muncul raja-raja kecil di daerah yang korup, dimana sejak diberlakukannya pemilihan langsung pada 2004 hingga 2014 tercatat sudah 325 kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Sulit dibantah bahwa salah satu penyebab hal ini adalah biaya pemilihan yang sangat tinggi. 

Fakta kedua adalah sistem otonomi daerah menciptakan kesenjangan antara kabupaten/kota yang kaya dengan kabupaten/kota yang miskin. Akibatnya adalah terjadi ketergantungan kabupaten/kota yang miskin terhadap DAU & DAK pemerintah. Sulit bagi daerah ini melakukan pembangunan, karena mayoritas dana mereka terserap untuk belanja/gaji pegawai daerah. 

Apa kaitan kedua fakta ini dengan opini penulis dengan pilkada? Kaitan yang sangat jelas adalah bahwa UU Pilkada seharusnya dijadikan momentum mengoreksi otonomi daerah yang sudah kebablasan ini, dengan mengurangi kekuasaan "raja-raja kecil" ini dan memperkuat otonomi di level provinsi. Caranya adalah dengan melemahkan legitimasi bupati/walikota (dengan dipilih DPRD) untuk sementara waktu, sementara memperkuat legitimasi gubernur (dengan dipilih langsung oleh rakyat).

Koreksi ini sudah seharusnya dilanjutkan dengan meninjau kembali kewenangan otonomi daerah dan pembagian hak dan kewajiban antara kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat. Provinsi idealnya diberi kewenangan lebih dalam mengelola sumber daya alam dan kebijakan ekonomi mereka, serta diperkuat dengan desentralisasi lembaga seperti kepolisian, pendidikan, kesehatan dan lembaga-lembaga lainnya. Tujuan akhir dari serangkaian koreksi kehidupan bernegara ini adalah me-review pencapaian tujuan bernegara dan apakah sistem negara kesatuan yang ada saat ini sudah tepat . 

Harus disadari bahwa UU pilkada hanyalah bagian kecil untuk mencapai tujuan akhir masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pertanyaan yang lebih besar adalah "Apakah Indonesia berada di jalur yang tepat dalam mencapai tujuan bernegara?". Selama ini masyarakat seakan terjebak pada paham NKRI harga mati, Padahal negara dan pemerintahan adalah suatu hal yang dinamis dan dapat berkembang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada. Hal ini telah dibuktikan bahwa ratusan tahun lalu peradaban-peradaban dunia bereksperimen dengan sistem kerajaan, demokrasi, teokrasi, dan sistem lainnya. Pada akhirnya eksperimen bernegara ini membuktikan bahwa sistem yang dianggap terbaik oleh mayoritas peradaban adalah demokrasi.

Tetapi demokrasi ini terbagi lagi menjadi bermacam-macam jenis seperti parlementer, presidensil, monarki konstitusional, federal, dan kesatuan. Masing-masing dari sistem ini memiliki contoh yang gagal maupun sukses. Namun fakta yang menarik adalah dari 10 negara dengan jumlah penduduk terbanyak hanya 3 negara yang menerapkan sistem kesatuan yaitu China, Indonesia, dan Bangladesh, sementara 7 negara lainnya menggunakan sistem federal. Sementara dari 10 negara dengan ekonomi terbesar, hanya Italia dan Cina yang menerapkan sistem kesatuan (Indonesia masih berada pada peringkat 16) dan 8 sisanya menggunakan sistem federal.

Data ini walau harus diteliti lebih dalam bisa membawa pada kesimpulan bahwa sistem kesatuan lebih cocok diterapkan pada negara yang secara area kecil dan penduduk yang tidak terlalu padat. Hal ini terlihat dari negara-negara yang secara penduduk besar dan ekonomi maju menggunakan sistem federal. Pengecualian adalah Cina, yang tampaknya dipengaruhi kuatnya tangan besi pemerintah.

Sistem negara federal mengedepankan otonomi pada tingkat provinsi, dimana setiap provinsi memiliki kewenangan semi-negara yang memungkinkan provinsi menyesuaikan peraturan & kebijakan sesuai kondisi yang ada pada provinsi tersebut. Hal ini memungkinkan provinsi-provinsi bereksperimen & bersaing satu sama lain dalam mengelola pemerintahan selama dalam koridor yang dibatasi pemerintah pusat. Sistem federal juga mengurangi beban pemerintah pusat dari sisi anggaran, dimana provinsi dapat menggabungkan sumber daya yang ada di kabupaten & kota di bawahnya, dan melakukan pemerataan (yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat melalui DAU & DAK).

Jika boleh sedikit berandai-berandai, jika saja sistem federal telah diterapkan di Indonesia, maka masyarakat Indonesia tidak perlu menghabiskan waktu berdebat mengenai sistem Pilkada. Karena masyarakat setiap provinsi lah yang akan menentukan cara mereka memilih kepala provinsi/kabupaten-kota mereka sesuai kearifan lokal yang mereka miliki. Hal inilah yang terjadi di US, dimana beberapa negara bagian tidak memiliki wakil gubernur (co : Arizona), sementara negara bagian lain memilikinya, atau negara bagian Nebraska yang menganut sistem unikameral sementara negara bagian lain bikameral. Perbedaan ini tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan & budaya masing-masing negara bagian. Contoh lainnya adalah di UK, dimana untuk jabatan mayor beberapa kota besar seperti London dipilih langsung oleh masyarakat, sementara kota-kota lain dipilih oleh DPRD. Adanya perbedaan ini membuat masyarakat dihadapkan dengan perbandingan dan pilihan cara memerintah yang terbaik dalam mencapai tujuan bernegara

"Masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur", itulah cita-cita yang diamanatkan konstitusi dan UUD 1945. Tetapi masyarakat terus terjebak pada bagian kecil dalam kehidupan bernegara dan melupakan progres pencapaian tujuan tersebut. Saat ini adalah momen yang tepat untuk mulai menanyakan pada diri sendiri sudah sejauh mana NKRI mencapai tujuannya, dan terus membuka pikiran kita terhadap ide-ide baru. Maka meminjam istilah yang sedang populer saat ini, kita harus lah melakukan "judicial review" akal sehat dan pemikiran kita terhadap kehidupan bernegara. Tetapi hakim yang harus kita hadapi bukanlah hakim MK, melainkan hati nurani & akal sehat dari masing-masing kita sebagai individu maupun sebagai suatu bangsa.

Kamis, 25 September 2014

Melihat sisi lain UU Pilkada

Beberapa hari ini ternyata mendorong keinginan menulis lagi setelah sekian lama, hal ini disebabkan kisruh pilkada yang sedang hangat diperbincangkan. Sedikit mengingatkan bahwa kisruh ini terjadi karena adanya beda pendapat dalam menentukan metode pemilihan kepala daerah. Menarik melihat masyarakat yang apatis terhadap selama ini menjadi bersemangat untuk mengomentari isu ini. Tetapi amat disayangkan bahwa terlempar klaim dari kedua belah pihak bahwa kedua-duanya memperjuangkan kepentingan rakyat dan menuduh pihak lain mencederai demokrasi.

Pada dasarnya demokrasi terbagi menjadi direct dan indirect. Keduanya memiliki contoh masing-masing yaitu direct di US & Jepang dan indirect di UK dan Australia, di sisi lain ada negara yang mencampurkan kedua sistem seperti Jerman. Fakta ini memperlihatkan secara makna demokrasi, tidak ada yang salah ketika metode pemilihan kepala daerah diubah dari pemilihan langsung menjadi pemilihan via DPRD, begitu pun sebaliknya. Karena sesungguhnya DPRD adalah wakil yang dipilih rakyat. 

Di luar itu tentu saja pilkada via DPRD membawa sisi positif, seperti efisiensi anggaran, mempermudah pengawasan KPK terhadap money politics, dan memungkinkan calon-calon yang memiliki modal minim untuk terpilih menjadi kepala daerah (bukan yang sekedar populer/memiliki uang banyak agar bisa populer). Tentu saja poin 2 harus disertai syarat penguatan KPK sebagai institusi. Sementara poin 3 harus disertai syarat bahwa partai selektif dalam memilih calon kepala daerah, hal ini seharusnya menjadi kewajiban bagi partai karena jika mereka dengan seenaknya memilih kepala daerah yang tidak kompeten, maka otomatis rakyat akan kecewa dan tidak memilih partai itu kembali.

Tetapi argumen ini ditolak oleh kubu pendukung pemilihan langsung. Menurut saya ada 2 hal yang menyebabkan hal ini terjadi :
1. Opini bahwa motif perubahan oleh KMP adalah semata karena kekuasaan
2. Ketidakpercayaan masyarakat bahwa anggota DPRD dan partai mewakili mereka. 

Menjawab kedua hal ini saya bisa katakan bahwa motif KMP memang semata karena kekuasaan, bukan demi rakyat dan omong kosong lain yang mereka gembar-gemborkan. Tetapi bukankah itu tujuan akhir berpolitik? yaitu demi meraih kekuasaan? Hal ini juga yang dilakukan Ahok ketika meninggalkan partai PIB untuk menjadi anggota DPR Golkar, dan kemudian meninggalkan Golkar untuk menjadi wagub Jakarta. Hal ini pula yang dilakukan Partai Republik di US dengan membatasi akses memilih melalui pemberian syarat untuk membawa kartu identitas yang bermacam-macam serta menolak perpanjangan waktu memilih, semuanya demi merugikan minoritas yang merupakan pendukung Partai Demokrat. 

Tentu saja ini membawa pada argumen, "tetapi UU Pilkada mengambil hak rakyat!". Wait, bukankah Ahok juga melakukan hal yang sama ketika ia meninggalkan pemilihnya babel untuk menjadi wagub Jakarta, dan membiarkan suara no urut 2 menggantikannya memperjuangkan "hak" mereka di DPR? Berbeda dengan di US dimana ketika anggota DPR mundur akan dilakukan pemilihan ulang, hal ini tidak terjadi di Indonesia. Padahal no urut 2 bisa jadi bukan merupakan pilihan mayoritas rakyat, dan hasil yang berbeda bisa didapatkan jika dilakukan pemilihan ulang. 

Hal yang sama terjadi di US dengan Partai Republik membatasi/menyulitkan hak memilih warga minoritas, walau tidak separah Partai Demokrat di masa lalu yang "melarang" warga kulit hitam dan kulit putih yang miskin untuk memilih melalui poll tax. Tentu saja yang dilakukan ahok tidak salah, karena begitulah peraturan yang berlaku di Indonesia, pun dengan cara KMP mendapatkan kekuasaan, karena hal tersebut tidak dilarang dalam konstitusi Indonesia.

Tetapi hal pertama tidak akan terjadi jika saja masyarakat percaya bahwa anggota DPRD dan DPR mereka adalah orang-orang kompeten yang mewakili mereka. "Trust" inilah yang telah hilang antara masyarakat dengan politik di Indonesia. Mencari akar penyebabnya bagi saya adalah sistem gado-gado dimana sistem pemilihan Indonesia mencampurkan sistem distrik dengan proporsional yang disebut proporsional terbuka.

Sistem distrik memiliki keuntungan masyarakat lebih mengenal anggota dewan yang mereka pilih (karena 1 daerah diwakili langsung 1 dewan), dan biaya politik yang relatif murah dibanding sistem proporsional terbuka. Selain itu sistem distrik juga memungkinkan anggota DPR/DPRD tidak taat karena masyarakatlah yang memilih mereka, pengawasan money politics juga lebih mudah karena cakupannya hanya 1 kabupaten/kota. Di sisi negatif, individu yang populerlah yang terpilih, hal ini terkadang menimbulkan masalah kompetensi. Atau ketakutan mengambil tindakan yang benar karena tidak populer di mata pendukungnya, contoh hal ini adalah government shutdown atau slavery abolition di US yang ditolak sebagian anggota DPR karena ketakutan mereka akan pendukungnya tidak memilih mereka lagi

Sistem kedua yaitu sistem proporsional berarti masyarakat memilih partai, dan partai akan memilih anggota dewan sesuai proporsi kursi yang didapat. Hal ini memungkinkan orang-orang yang kompeten tetapi memiliki sedikit uang atau tidak ahli berkampanye untuk terpilih (selama partainya mendukung orang-orang kompeten). Lagi-lagi sistem ini juga relatif menghemat uang, karena umumnya daerah kampanye akan dibagi partai sehingga menjadi tidak terlalu luas. Pada sistem ini masyarakat yang kecewa harus menyuarakannya dengan tidak lagi memilih partai yang buruk. 

Tetapi sistem pemilihan anggota dewan di Indonesia saat ini boleh dikatakan telah gagal. Sistem proporsional terbuka berarti setiap daerah pemilihan memiliki 3-8 wakil rakyat dengan jangkauan 1-10 kabupaten/kota. Akibatnya dibutuhkan uang dalam skala besar untuk berkampanye di seluruh wilayah tersebut. Biaya uang yang besar menyebabkan terpilihnya pengusaha/orang-orang yang masuk DPR untuk mencari uang/balik modal, atau terpilihnya artis-artis yang karena populer tidak memerlukan banyak uang untuk berkampanye namun sebagian minim kompetensi. Kelemahan lain adalah tidak ada "ikatan" yang kuat antara rakyat dan wakil rakyat sebagai akibat besarnya masyarakat yang diwakili. Hal inilah yang menurut saya menjadi dasar argumen penolakan UU Pilkada poin 2. 

Akhir kata tentu saja kita harus melihat sisi positif & negatif dari UU ini, dan melihat lebih dalam lagi akar masalah demokrasi kita. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang reaktif dan hanya peduli sesaat tanpa menggali lebih jauh permasalahan utama Indonesia. 

Notes :
Penulis secara pribadi mendukung pilkada via DPRD untuk bupati dan pilkada langsung untuk gubernur. Tetapi mungkin alasannya terlalu panjang untuk dijabarkan dalam post ini

Jumat, 02 Mei 2014

Blog Reinvention

Well it's been 2 years since i last wrote in this blog. So many things happened since my last writing. First of all, i decided to rewrite some part of this blog due to time circumstances. Some of my earliest writing happened when I'm in high school, and after i read it again i believe it's become irrelevant now. Because i delete my earliest post, probably i need to reintroduce myself. I'm a 22 years old worker, graduated from my study in FE UI last year. As a person with economics education and coming from family with political background, i have certain interest in political and economy things. So you probably understand why some of my previous post mainly related to those two topics.

As i say before, so many things happened since my last post. When i post my last writing, i was a 20 years old economic student still consume with organization activity and academic life. Since then i have done my undergraduate thesis, a UK trip with my family, semi backpack trip with my best friends in Bangkok, accepted in a company, have a relationship, broke up (i will write about this topic in my next post), got my first salary, live abroad from my parents. I feel everything changing very fast lately, and i believe it's good. For me it's been challenging situation, but i try to see the positive side of every situation happened to me. I believe 20's is the age to learn & enjoy life, and i intend to do it that way.

Seems that's all i can tell to you guys, i'm not a good story teller, and i rarely talk about myself, but i hope you can enjoy my blog and my thought. Ciao!

Selasa, 27 Maret 2012

Rekomendasi APBN 2012 (Kajian BEM FEUI 2011)

Note : Rekomendasi ini telah disampaikan kepada Badan Anggaran DPR-RI pada 19 Agustus 2011

A. Hakikat APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah anggaran negara yang terdiri dari 2 bagian yaitu pendapatan dan belanja negara. Anggaran ini dibuat berlandaskan asumsi makro dan Rencana Pemerintah Jangka Menengah untuk menentukan besaran pajak, utang dan sumber pendanaan lain yang dibutuhkan. Kemudian setiap departemen, lembaga negara dan daerah mengajukan anggaran yang mereka perlukan sebagai dasar pengeluaran. APBN ini kemudian dibahas bersama oleh pemerintah (Kementerian keuangan) dan DPR-RI (Badan Anggaran) untuk dinilai urgensi dan prioritasnya dalam menetapkan belanja negara.

Pada hakikatnya APBN adalah instrumen yang memperlihatkan G (Government Expenditure) dari Indonesia. Instrumen ini penting sebagai bagian dalam menghasilkan Y (output negara/GDP), tetapi bukan instrumen satu-satunya yang menentukan besaran Y karena masih ada faktor konsumsi, investasi dan ekspor-impor. Namun APBN adalah satu-satunya instrumen yang mampu dikontrol oleh masyarakat dan negara, selain itu APBN juga menghasilkan multiplier effect. Inilah kelebihan instrumen G dibanding faktor-faktor lainnya. Semakin besar APBN seharusnya output yang dihasilkan suatu negara akan semakin besar. Implikasi akhirnya adalah semakin besar output negara maka semakin besar kesejahteraan masyarakat di suatu negara yang bisa diukur melalui berbagai instrumen seperti GDP/Kapita hingga Indeks Pembangunan Manusia.

Dari sini jelas terlihat bahwa APBN adalah instrumen penting demi kesejahteraan masyarakat. Tetapi satu hal yang harus digarisbawahi APBN adalah instrumen dan bukan hasil akhir.Pada hakikatnya jika sebuah instrumen tidak digunakan dengan tepat maka instrumen tidak mampu menghasilkan apapun, bahkan jika digunakan dengan tepatpun tidak ada jaminan APBN akan otomatis menghasilkan masyarakat yang sejahtera.

Namun semua usaha harus dilakukan jika kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya. Untuk itulah APBNharus diawasi agar pemakaiannya tepat guna dan tidak menyimpang.Terkait hal ini BEM FEUI berkomitmen untuk menjaga agar APBN menjadi tool yang tepat guna dan dapat termanfaatkan sebesar-besarnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.

B. Evaluasi APBN 2011

Melihat hakikat yang ada pada APBN dan dikomparasi dengan kondisi Indonesia, maka boleh dikatakan hakikat yang ingin dicapai APBN belum tercapai. Kemiskinan dengan standar $2 sehari masih mencapai 60% dari penduduk Indonesia, hal ini terjadi dikala GDP per kapita meningkat hingga menembus $3000 dan gini ratio (rasio kesenjangan pendapatan) yang meningkat. Artinya APBN belum mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat melainkan hanya sebagian masyarakat kaya.

Pertumbuhan ekonomi yang ada pada kisaran 6% masih didominasi sektor konsumsi domestik (+/-4%), dan sisanya oleh investasi, ekspor, dan baru APBN. Secara sederhana bisa dikatakan peran pemerintah masih sangat minim dalam mengakselarasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Hal ini dalam kajian BEM FEUI disebabkan 5 masalah mendasar. Masalah tersebut adalah :

1. Komposisi APBN Tidak Ideal,

2. Buruknya Penyerapan Anggaran,

3. Manajemen Utang & Defisit yang tidak tepat,

4. Pendapatan yang belum maksimal,

5. Dana Transfer Daerah Bermasalah

Komposisi APBN yang tidak ideal ini mencakup kebijakan yang didominasi belanja pegawai & subsidi dan minim belanja modal dan sosial. Padahal belanja modal & sosial lah yang merupakan bagian dari APBN yang memiliki multiplier effect bagi perekonomian. Data yang ada menunjukkan bahwa hanya 16,2% dan 7,6% dari APBN 2005-2011 yang digunanakan untuk belanja modal dan belanja sosial. Hal ini memperlihatkan struktur kepegawaian yang gemuk, tidak efektif, dan tidak efisien yang tercermin dalam berbagai survei yang menunjukkan lambannya birokrasi di Indonesia. Dari sisi departemen pun, dana yang dialokasikan untuk infrastruktur yang menghasilkan multiplier effect hanya 58 Triliun pada 2011, ini hanya sebesar 5% dari total APBN dan masih dipotong untuk biaya pegawai. Melihat kebutuhan pembangunan khususnya infrastruktur, maka komposisi APBN saat ini jelas jauh dari ideal.

Adapun kebijakan subsidi khususnya subsidi BBM berdasarkan model yang digunakan BEM FEUI ternyata tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat. Belum lagi penyalurannya yang tidak tepat guna menurut penelitian world bank, dimana 90% subsidi jatuh pada kalangan mampu.

Kemudian terkait penyerapan anggaran, pada periode 2005-2010 penyerapan anggaran pada triwulan 1 rata-rata hanya sebesar 11,32%, pada periode 2011 pun penyerapan hanya sebesar 11%. Adapun secara keseluruhan rata-rata penyerapan anggaran 2005-2010 hanya 87% dan penyerapan tahun 2010 sebesar 95,79%. Ini menunjukkan ada dana sebesar 40 Triliun yang tidak terserap. 2 Hal ini menjadi sorotan yaitu waktu penyerapan dan besar penyerapan. Waktu penyerapan yang menumpuk pada triwulan 4 menjadikan proyek dilaksanakan tergesa-gesa yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas, dan juga mengalami kekosongan pembangunan pada triwulan awal. Rendahnya penyerapan juga berbahaya, karena pembiayaan 100 Triliun dana APBN dibiayai dari utang. Hal ini menandakan ada utang yang tidak terserap dan dapat membebani keuangan negara ke depannya.

Manajemen utang dan defisit (pembiayaan) pemerintah pun dirasa belum memadai. Walaupun dari sisi persentase utang terhadap GDP menurun hingga kisaran 25-26%. Namun pembiayaan nominal meningkat dari 8,9 Triliun pada 2005 menjadi 124,7 Triliun pada 2011, dan secara total mencapai 1590,6 Triliun. Bunga utang pun menelan 14,77% dari keseluruhan APBN. Hal ini membebani ruang fiskal APBN untuk diarahkan ke kesejahteraan masyarakat. Tetapi dalam pandangan BEM FEUI, utang tidak terlalu menjadi masalah ketika mampu terserap sepenuhnya. Permasalahannya adalah masih banyak dana yang tidak terserap dalam APBN, sehingga utang yang diambil menjadi sia-sia. Selain itu komposisi utang yang berubah menjadi didominasi obligasi juga harus menjadi perhatian pemerintah, mengingat bunga obligasi yang lebih besar dibanding bunga utang LN (G to G). Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dalam manajemen utang agar utang yang diambil mampu terserap dalam proyek-proyek yang mampu menggerakan roda perekonomian, dan bukannya menjadi dana sia-sia di dalam kas negara.

Sorotan keempat adalah pendapatan yang belum maksimal, hal ini terlihat dari tax ratio yang hanya sebesar 12,3% pada 2010. Padahal pada 2006, rata-rata ASEAN mencapai 13,5% dan bahkan tax ratio Malaysia mencapai 20,17%. Hal ini memperlihatkan rendahnya kesadaran membayar pajak maupun ketegasan pemerintah dalam mengumpulkan pajak. Padahal jika pemerintah mampu meningkatkan tax ratio menjadi 15% maka ada potensi kenaikan APBN sebesar +/-160 Triliun rupiah (6.422 Triliun x 2,7%). Indikator lain adalah elastisitas pajak yang menunjukkan besaran kenaikan pajak setiap 1% kenaikan pendapatan nasional, Indonesia dalam hal ini baru berada pada 1,07, sedangkan malaysia sebesar 1,9 dan Pakistan sebesar 2,1. Pendapatan lain yang bisa digerakkan adalah melalui renegoisasi kontrak karya dan mengatur ulang kebijakan dividen BUMN agar mampu menghasilkan pendapatan lebih besar bukan hanya pada jangka pendek namun hingga 10-20 tahun ke depan. Dari sini terlihat betapa besar potensi pendapatan yang masih bisa digarap pemerintah Indonesia untuk meningkatkan APBN 2011.

Sorotan terakhir adalah Dana Transfer Daerah yang bermasalah, bermasalah dalam artian pemakaiannya yang didominasi gaji pegawai. Hal ini terlihat dari struktur APBD yang 58% dipakai untuk gaji pegawai, dana lain pun banyak dipakai untuk pembangunan fasilitas birokrat. Bahkan banyak pemerintah daerah yang terancam bangkrut dengan struktur seperti ini. Dari segi daerah yang mendapat dana transferpun masih didominasi kabupaten daerah maju yang mencapai 154 Triliun dibandingkan kabupaten daerah tertinggal hanya 89 Triliun, ini menunjukkan bahwa dana transfer daerah tidak berimbang. Selain itu menurut penelitian INDEF hanya 9 propinsi yang menunjukkan semakin besar dana perimbangan diikuti semakin besar penurunan kemiskinan. Pengawasan pemanfaatan dana transfer ini pun sangat minim, terlihat dari minimnya transparansi data APBD maupun lembaga-lembaga yang fokus mengawasi APBD. Semua ini membawa kesimpulan bahwa dana transfer daerah perlu ditinjau kembali agar secara efektif mampu diarahkan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

C. Rekomendasi APBN 2012

Melihat permasalahan yang ada maka BEM FEUI memberikan rekomendasi berdasar masing-masing permasalahan yang ditemukan agar APBN 2012 mampu lebih baik lagi dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan rakyat.

1. Menuju Komposisi APBN ideal

Rekomendasi terpenting untuk memperbaiki komposisi APBN adalah mengurangi belanja rutin khususnya belanja gaji pegawai dan subsidi untuk kemudian dialihkan ke dana infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Secara spesifik rekomendasi ini adalah :

a. Melakukan moraturium penerimaan pegawai negeri baru dan kenaikan gaji

b. Menerapkan sistem remunerasi yang dijalankan lembaga independen yang profesional untuk mengukur kinerja pegawai negeri. Hal ini disertai pengubahan sistem gaji menjadi didominasi oleh penghasilan dari remunerasi dan pengurangan gaji tetap untuk mendorong produktivitas pegawai negeri.

c. Perencanaan pencabutan sepenuhnya subsidi BBM selambat-lambatnya tahun 2013. Untuk meredam dampak pencabutan subsidi maka perlu dilakukan pengalihan bahan bakar ke BBG, pengurangan pemakaian BBM untuk pembangkit listrik, dan mempersiapkan infrastruktur transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman.

d. Penambahan anggaran pendidikan dengan tujuan menciptakan pendidikan gratis 100% hingga level SMA dan perbaikan fasilitas & prasarana pendidikan melalui pengalihan dana subsidi. Dalam hal ini gratis mencakup biaya buku, biaya perawatan, dan seluruh biaya/pungutan lain. Sehingga nantinya BOS dapat dihilangkan & diganti dengan penghilangan otomatis biaya pendidikan.

2. Meningkatkan penyerapan anggaran

Bermasalahnya penyerapan anggaran disebabkan waktu pembahasan APBN yang minim yang kemudian berdampak pada lambatnya pembahasan di daerah, ketidaksinkronan waktu periode pajak dengan periode APBN yang menyebabkan kurangnya dana pada triwulan awal tahun anggaran, dan lambatnya birokrasi pelaksanaan proyek maupun tender. Untuk itu rekomendasi BEM FEUI adalah agar dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Memajukan waktu pembahasan APBN atau setidaknya menghilangkan rutinitas membuat APBN-P yang menghabiskan waktu selama bulan juni-juli

b. Sinkronisasi periode pajak dengan periode APBN untuk menghilangkan masalah kekurangan dana pada triwulan awal periode anggaran.

c. Memberikan insentif bagi pegawai negeri untuk memimpin proyek pembangunan, khususnya jika sasaran proyek mampu dipenuhi

d. Memotong birokrasi tender, dengan menaikkan besaran minimum proyek/pengadaan yang harus dilakukan melalui tender. Sebagai gantinya maka mekanisme audit internal harus diperkuat dalam setiap departemen dan daerah

e. Dokumen perencanaan proyek yang lebih detail dan penjabaran sasaran proyek untuk mengukur keberhasilan dan urgensi suatu proyek

f. Memprioritaskan penambahan anggaran bagi departemen/daerah yang mampu menyerap anggaran secara maksimal baik dari sisi kuantitas maupun kualitas

3. Manajemen utang & Defisit

Kebijakan defisit yang diambil ke depannya harus ditinjau ulang mengingat kebijakan defisit diiringi dengan pengambilan utang baru. Untuk itu defisit yang ada harus dipakai secara maksimal agar mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Manajemen defisit & utang ini terkait erat dengan penyerapan anggaran yang maksimal, dimana jika kebijakan defisit yang ditempuh tidak diikuti dengan penyerapan anggaran maksimal, maka utang akan menjadi sia-sia. Jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengubah bentuk utang agar mampu mendorong penyerapan anggaran. Rekomendasi terkait hal ini adalah :

a. Membuat utang based by project baik itu utang luar negeri maupun obligasi. Secara khusus terkait obligasi bisa mengikuti pola sukuk. Utang based by project ini penting untuk memastikan agar utang yang diambil telah memiliki pos-pos pemakaian khusus dan tidak masuk ke kas negara tanpa target pemakaian yang jelas. Dengan sistem ini maka utang yang diambil otomatis diarahkan ke infrastruktur dan pencapaiannnya mampu diukur

b. Menyeimbangkan utang berbentuk G to G, dengan utang berbentuk G to B. Tujuannya adalah agar bunga utang yang ditanggung pemerintah bisa diminimalisir mengingat utang G to B (obligasi) umumnya berbunga tinggi sedangkan utang G to G berbunga rendah

c. Restrukturisasi utang BLBI agar pembayaran tidak tertumpuk pada 2033

d. Mengurangi utang berdenominasi asing untuk mengurangi gejolak terhadap fluktuasi nilai tukar

e. Apabila penyerapan anggaran sudah baik dan pemakaian utang sudah termanfaatkan maksimal maka ekspansi utang dapat dilaksanakan

f. Menjaga persentase utang terhadap PDB pada level maksimal 60%

4. Maksimalisasi pendapatan APBN

Memaksimalkan pendapatan APBN harus dilakukan, caranya adalah meningkatkan tax ratio, elastisitas pajak dan perubahan kebijakan pengolalaan SDA. Cara yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan tax ratio dengan memperkuat dirjen pajak, khususnya terkait wewenang mengumpulkan pajak yang diiringi dengan pengawasan ketat dirjen pajak melalui audit internal maupun eksternal, serta pemisahan wewenang pengadilan pajak dari dirjen pajak. Hal ini dilakukan agar dirjen pajak mampu lebih agresif mengumpulkan pajak namun tetap transparan.

2. Menumbuhkan kesadaran membayar pajak melalui insentif bagi masyarakat yang membayar pajak dan transparansi penggunaan dana pajak agar masyarakat mengetahui manfaat membayar pajak. Insentif dapat berupa kemudahan birokrasi pajak& kebijakan jemput bola bagi pembayar pajak.

3. Mengubah sistem pajak menjadi sistem pajak per pos seperti di Amerika Serikat. Dimana sebagai contoh pajak kendaran bermotor otomatis dialokasikan untuk mensubsidi transportasi umum. Hal ini merupakan bagian dari memudahkan transparansi penggunaan dana pajak.

4. Mendorong perusahaan-perusahaan untuk melakukan IPO untuk menjamin transparansi kondisi keuangan perusahaan tersebut

5. Melakukan renegosiasi kontrak karya dengan perusahaan pengelola sumber daya alam ke arah yang lebih menguntungkan bagi negara. Termasuk di dalamnya adalah meninjau kembali Undang-undang MIGAS nomor 22 tahun 2001 karena ada beberapa hal dalam undang-undang tersebut yang merugikan negara. Seperti kebijakan bagi perusahaan asing yang harus memberikan 2% dari profit sharing dirasa kurang dan merusak kedaulatan negara Indonesia,

5. Meningkatkan Efektivitas Dana Transfer Daerah

Dana transfer daerah ke depannya harus mampu secara efektif dipakai untuk membangun perekonomian daerah agar suatu saat daerah mampu mandiri secara finansial dari pemerintah pusat. Selain itu juga agar secara efisien terserap bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk itu harus diambil langkah sebagai berikut :

a. Perubahan struktur dana transfer daerah diprioritaskan untuk belanja modal seperti pembangunan infrastruktur atau industri yang dapat menaik penghasilan bagi daerah di masa depan

b. Perbaikan formula dana transfer dengan memprioritaskan daerah-daerah tertentu untuk terlebih dahulu dibangun, atau memusatkan dana transfer ke level provinsi. Tujuannya adalah agar dana yang ditransfer bisa lebih fokus dan mencukupi untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan industri dalam skala besar

c. Memastikan adanya formula baku yang mampu menjamin terlepasnya penyusunan dana transfer daerah dari proses lobi maupun mafia anggaran. Selain itu agar dana transfer daerah benar-benar masuk ke daerah yang tidak maju.

d. Sinergisasi pembangunan level kabupaten-kota, provinsi, dan tingkat nasional agar tidak ada pembangunan yang saling tumpang tindih antara kabupaten maupun provinsi.

e. Pemanfaatan dana transfer daerah berdasar proyek, dimana dana ini ditransfer berdasar kebutuhan proyek yang diajukan oleh pemerintah daerah.

f. Transparansi pemakaian APBD dan khususnya dana transfer daerah melalui UU KIP yang mampu diawasi secara transparan oleh masyarakat.

D. Penutup

APBN sebagai sebuah instrumen penting tentu membutuhkan pengawasan lebih ketat dalam proses pelaksanaanya agar mampu memberikan hasil yang maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Sebagai satu-satunya instrumen yang mampu dikontrol oleh pemerintah dan negara, APBN harusnya mampu memberikan multiplier effect yang cukup besar bagi perekonomian. Sayangnya, beberapa masalah seperti yang telah diuraikan sebelumnya menjadi penghambat APBN dalam memacu pertumbuhan output suatu negara. Oleh sebab itu, BEM FEUI yang turut serta dalam proses pengawalan APBN agar dapat menjadi alat yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat memberika beberapa rekomendasi terkait masalah-masalah tersebut. Diharapkan melalui rekomendasi-rekomendasi itu APBN kembali ke hakikat dasar sebagai instrumen yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, baik masyarakat kaya, menengah maupun masyarakat miskin.