Rabu, 13 April 2011

Sekilas APBN : Sebuah Pandangan dari Mahasiswa

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau biasa disingkat sebagai APBN adalah suatu kata yang memiliki makna magis di mata mahasiswa. Bagaimana tidak? Setiap tahun, mahasiswa meluangkan waktunya untuk berdiskusi, melakukan kajian, dan memperjuangkan kepentingannya dalam APBN. Sehebat itukah APBN sehingga menjadi salah satu isu panas setiap tahunnya? Sebelum lebih jauh membahas hal tersebut sudah tahu kah mahasiswa makna atau setidaknya singkatan sebenarnya dari APBN?

APBN seperti yang sudah disebutkan sebelumnya adalah anggaran yang terdiri dari 2 bagian yaitu pendapatan dan belanja negara. Dimana anggaran ini dibuat berlandaskan asumsi makro dan Rencana Pemerintah Jangka Menengah untuk menentukan besaran pajak, utang dan sumber pendanaan lain yang dibutuhkan. Kemudian setiap departemen, lembaga negara dan daerah mengajukan anggaran yang mereka perlukan sebagai dasar pengeluaran. APBN ini kemudian dibahas bersama oleh pemerintah (Kementerian keuangan) dan DPR-RI (Badan Anggaran) untuk dinilai urgensi dan prioritasnya dalam menetapkan belanja negara.

Lalu apa peran APBN dalam perekonomian dan tata kelola masyarakat? APBN dalam teori ekonomi adalah instrumen yang memperlihatkan G (Government Expenditure) dari Indonesia. Instrumen ini penting sebagai bagian dalam menghasilkan Y (output negara/GDP), tetapi bukan instrumen satu-satunya yang menentukan besaran Y karena masih ada faktor konsumsi, investasi dan ekspor-impor. Apa dampak dari besarnya Output negara? Secara logika kasar, semakin besar output negara maka semakin besar kesejahteraan masyarakat di suatu negara yang bisa diukur melalui berbagai instrumen seperti GDP/Kapita hingga Indeks Pembangunan Manusia.

Permasalahannya adalah selama ini banyak mahasiswa yang terjebak dengan hanya memperjuangkan APBN sampai pada pengalokasian anggaran. Padahal hal ini boleh dibilang hanya setengah jalan, karena APBN hanya data-data yang direncanakan dan ditargetkan, tetapi implementasinya ada pada proyek-proyek yang dikerjakan pemerintah. Efektivitas penyaluran APBN hendaknya menjadi hal lain yang harus diawasi oleh mahasiswa, jangan sampai kita menuntut anggaran pendidikan 20 persen tetapi pada kenyataannya kita tidak bisa mendesak eksekutif untuk membuat perencanaan yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat Indonesia dengan anggaran 20 persen tersebut. Kemudian dari sisi transparansi dari penyaluran dana-dana tersebut hendaknya juga menjadi perhatian mahasiswa, kita harus aktif membantu pemerintah dalam mengawasi penyaluran dana APBN dari penyalahgunaan. Karena tanpa pengawasan dari mahasiswa, maka hal ini dapat menyebabkan moral hazard bagi pengguna anggaran

Hal lain yang harus diperjuangkan dalam pandangan penulis adalah efektivitas pos-pos yang ada di APBN, Terkait ini yang harus disoroti antar lain adalah mengenai anggaran subsidi khususnya BBM, apakah betul adanya anggaran subsidi ini mendorong tercapainya kesejahteraan masyarakat? Atau jangan-jangan hanya menjadi kebijakan populis yang memberatkan negara dan tidak menghasilkan sesuatu yang signifkan? Dalam hal ini mahasiswa harus kritis dan berpikiran visioner, jangan sampai kita terjebak dalam pemikiran yang sifatnya utopia tanpa melihat realita dan kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik.

Kemudian terkait penyerapan utang, maka kita mahasiswa harus melihat secara jernih masalah ini. Utang adalah salah satu instrumen yang dipakai sebagai pembiayaan untuk mendorong perekonomian, selama utang dapat dipakai dengan baik dan mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka sudah selayaknya kita tidak begitu saja menolak keberadaan utang. Tetapi mahasiswa juga harus mendorong pemerintah agar utang yang sudah diambil tidak menjadi sia-sia dan dimanfaatkan secara benar demi proyek-proyek yang mendukung kesejahteraan masyarakat Indonesia

Dari sini kita lihat bahwa APBN adalah instrumen penting demi kesejahteraan masyarakat. Tetapi satu hal yang harus digarisbawahi APBN adalah instrumen dan bukan hasil akhir, salah satu tool yang harus diperjuangkan mahasiswa untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Meskipun sudah sepantasnya mahasiswa memperjuangkan APBN, tetapi hendaknya mahasiswa tidak terpaku hanya pada APBN demi memperjuangkan masyarakat. Masih banyak isu lain yang hendaknya juga diangkat mahasiswa demi memperjuangkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salam perubahan!

Minggu, 03 April 2011

Rentankah APBN Indonesia Terhadap Faktor Asing?

Dalam beberapa hari terakhir ini pemberitaan media dipenuhi dengan berita internasional terkait memburuknya kondisi sosial-politik-ekonomi dunia, yang secara spesifik membahas mengenai gempa besar di Jepang yang memukul perekonomian Jepang dan kekacauan sosial politik di Timur Tengah yang memicu kenaikan harga minyak. Pemberitaan ini di dalam negeri menimbulkan tanda tanya besar. Seberapa besar dampak memburuknya kondisi internasional terhadap Indonesia sebagai bagian dari komunitas dunia? Apabila dilihat dari sudut pandang sosial-politik, tampaknya tidak ada dampak besar yang diakibatkan dari pergolakan ini, mengingat masyarakat Indonesia masih khawatir terhadap dampak instabilitas politik jika terjadi revolusi seperti yang terjadi di Timur Tengah saat ini.

Lalu bagaimana dengan sektor perekonomian? Jepang sebagai negara investor terbesar ke 4 dunia dengan investasi $710 juta dan tujuan ekspor terbesar Indonesia pada 2010 dengan nilai $16.49 Milyar, adapun dengan Timur Tengah tercatat ekspor Indonesia mencapai $6.5 milyar pada 2010. Maka jelas adanya gangguan di kedua wilayah tersebut akan menurunkan investasi di Indonesia dan melemahkan ekspor Indonesia jika tidak diimbangi dengan kemampuan penetrasi ke pasar-pasar ekspor baru. Tetapi apabila analisa dampak ini diarahkan secara spesifik ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sebagai tool akselarasi perekonomian Indonesia, maka pertanyaannya adalah apakah pergolakan internasional ini berdampak secara signifikan pada APBN Indonesia?

Untuk memudahkan, maka analisa ini harus dilihat dari 2 hal yaitu teknis dan strategis. Teknis yang dimaksud adalah apakah secara detail perubahan situasi internasional mempengaruhi detail pendapatan dan pengeluaran APBN. Adapun strategis adalah apakah tujuan yang ingin disasar oleh APBN ini dapat tercapai dengan adanya perubahan situasi internasional ini. Dilihat dari sisi teknis maka ada 2 hal yang harus diperhatikan yaitu asumsi makro sebagai landasan pendapatan & pengeluaran negara, serta komposisi pendanaan & pengeluaran APBN itu sendiri. Apa saja yang menjadi Asumsi makro Indonesia? Setidaknya ada 6 asumsi dasar makro yang tercantum dalam APBN 2011. Keenam asumsi tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku bunga SBI-3 Bulan, Harga Minyak dan lifting minyak. Dari sisi pendapatan, pada 2011 target penerimaan APBN mencapai 1104,9 Triliun dan pengeluaran Rp 1229,6 Triliun jika asumsi dasar makro ini tidak meleset.

Jika dikaji lebih dalam maka dampak dari pergolakan Internasional secara garis besar adalah terhadap investasi, ekspor, utang, dan harga minyak dunia. Dari keenam asumsi dasar makro, maka yang paling tidak terpengaruh adalah lifting minyak Indonesia yang sepenuhnya hal ini dipengaruhi oleh kemampuan domestik.

Asumsi lain adalah harga minyak, pada APBN 2011 harga minyak tercatat diasumsikan sebesar $80/barrel bandingkan dengan harga minyak pada rabu, 30 maret 2011 yang telah mencapai angka $104/barrel (WTI crude oil) akibat dari pergolakan politik di timur tengah. Perbedaan asumsi sebesar $24 ini atau hampir mencapai 30% ini akan mengakibatkan lonjakan besar pada pos anggaran subsidi minyak jika terus bertahan hingga akhir tahun.

Sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia, maka beban pemerintah akan semakin besar dan tekanan untuk mengontrol subsidi atau menaikkan harga BBM akan semakin tinggi. Pemerintah jelas harus tegas bertindak mengingat kemampuan pemerintah untuk menahan harga dan kuota BBM saat ini sulit dilakukan dengan defisit yang sudah mencapai 127 Triliun. Jika kenaikan harga BBM adalah keputusan yang dipilih pemerintah , maka inflasi menjadi dampak yang tidak dapat terhindarkan. Dimana inflasi yang ditargetkan 5,3% dapat melonjak seperti pada 2008 menjadi sebesar 11,1% tergantung pada sebesar apa pemerintah akan menaikkan harga/mengontrol kuota BBM. Jika pemerintah kemudian memaksakan untuk meredam inflasi, maka otomatis tingkat SBI-3 bulan akan dinaikkan sehingga target SBI-3 bulan sebesar 6,5% sulit tercapai dan terjadi disinsentif untuk berinvestasi. Disinsentif berinvestasi yang diikuti penurunan investasi ditambah kenaikan inflasi dapat dipastikan akan menghambat pertumbuhan ekonomi 6,3%.

Sedangkan exchange rate bisa jadi menguat seiring dengan kenaikan SBI ataupun melemah seiring dengan inflasi yang terjadi tergantung seberapa besar dampak dari kebijakan yang diambil pemerintah. Tetapi cukup jelas bahwa kenaikan harga minyak sangat mempengaruhi asumsi dasar makro APBN Indonesia yang akan berdampak pada pos pendapatan dan pengeluaran di Indonesia. Kenaikan pos subsidi khususnya subsidi BBM dan energi akan menjadi penyumbang terbesar perubahan komposisi pengeluaran APBN. Pos subsidi minyak yang saat ini mencapai 95.9 Triliun Rupiah dapat melonjak hingga 125 Triliun rupiah jika harga minyak stabil di level $104/barrel, hal ini dapat menjadi lebih buruk jika harga minyak naik hingga kisaran $120-150/Barrel. Dimana perkiraan subsidi energi 144 Triliun dapat bertambah menjadi 200 Triliun jika kenaikan harga minyak berlanjut.

Dari sisi pendapatan, kenaikan harga minyak akan memberi tambahan dana segar bagi pendapatan khususnya dari kenaikan pendapatan minyak pemerintah yang ditargetkan sebesar 104 triliun rupiah dan kenaikan PPh Migas yang tercatat ditargetkan sebesar 54 Triliun. Tetapi apakah kenaikan ini sebanding dengan kenaikan biaya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah? Rasanya dengan adanya selisih konsumsi atas produksi minyak yang mencapai 500 Ribu barrel/hari, kenaikan ini tidak sebanding dengan kenaikan pos anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Belum lagi ancaman tidak tercapainya target pendapatan seperti pajak penghasilan dan PPN jika pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tidak terealisasi dan terjadinya pelemahan ekspor akibat terpukulnya perekonomian Jepang sebagai pasar ekspor terbesar Indonesia.

Ancaman tidak terealisasinya pertumbuhan ekonomi 6,3% bukan hanya dari ancaman inflasi, kenaikan SBI dan pelemahan ekspor. Tetapi juga dari kemungkinan tidak terealisasinya investasi Penanaman Modal Asing akibat dari melemahnya perekonomian Jepang yang merupakan salah satu investor terbesar di Indonesia dan kekhawatiran masyarakat Internasional untuk melakukan investasi di luar negeri. Ini berarti APBN 2011 terancam tidak dapat mewujudkan sasaran strategis seperti yang tertuang pada Rencana Kerja Pemerintah 2011 yang mencanangkan tahun 2011 sebagai tahun “PERCEPATAN PERTUMBUHAN EKONOMI YANG BERKEADILAN DIDUKUNG PEMANTAPAN TATA KELOLA DAN SINERGI PUSAT DAERAH” yang antara lain diwujudkan melalui pertumbuhan ekonomi 6,3%, pengangguran 7%, dan Tingkat kemiskinan 12,5%.

Secara lebih jauh, pergolakan internasional ini memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan. Terkait kenaikan harga minyak, maka pemerintah dihadapkan pada 2 pilihan. Memaksakan subisidi BBM pada kuota dan harga saat ini sehingga target inflasi, SBI, dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai, dengan konsekuensi semakin parahnya defisit anggaran dan bisa jadi bangkrutnya kas negara. Atau menaikkan harga BBM/menekan kuota BBM sehingga secara teknis APBN Indonesia dapat mencapai target dan amannya kas negara, tetapi sebagai konsekuensinya akan terjadi peningkatan inflasi yang terkait dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan SBI. Pemerintah juga harus mampu mencari pasar ekspor pengganti Jepang serta secara aktif menarik investor asing untuk menggantikan posisi jepang sebagai salah satu investor utama Indonesia. Apapun pilihan yang diambil pemerintah, tampaknya jelas bahwa pergolakan Internasional telah memukul APBN Indonesia.

Sumber Referensi :
http://www.bisnis-kti.com/index.php/2011/03/info-grafis-indikator-hubungan-ekonomi-indonesia-jepang/
http://www.bisnis-jatim.com/?p=8862
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=4531&type=6
http://www.oil-price.net/
Nota Keuangan APBN 2011
Gregory Mankiw – Macroeconomics 5th Edition
Rencana Kerja Pemerintah Indonesia 2011

Minggu, 27 Maret 2011

Reformasi Pergerakan Mahasiswa : Berubah atau Mati!

Pergerakan mahasiswa, kata tersebut adalah kata yang sesungguhnya sakral dalam perjalanan bangsa ini. Bukan hanya kata melainkan suatu bentuk pergerakan yang menentukan kemana sesungguhnya arah Bangsa Indonesia. Tetapi beberapa tahun belakangan ini kata-kata tersebut kehilangan makna magisnya, pergerakan mahasiswa justru menjadi kata yang memunculkan antipati dan sinisme oleh sebagian masyarakat Indonesia.

Dalam pandangan penulis ada satu permasalahan utama mengapa hal ini terjadi, yaitu adanya penyempitan makna pergerakan mahasiswa menjadi hanya sekedar melakukan demonstrasi dan aksi-aksi protes saja. Demonstrasi menjadi trademark bahkan sebagian pihak menganggap bahwa pergerakan mahasiswa tanpa demonstrasi bukan merupakan pergerakan mahasiswa, padahal sesungguhnya demonstrasi merupakan bagian kecil dari pergerakan mahasiswa.

Para pendukung demonstrasi mungkin dapat membela diri bahwa demonstrasi merupakan aksi yang berhasil menurunkan Soekarno dan Soeharto dari tampuk kekuasaan. Tetapi kita harus melihat bahwa pada era tersebut baik Rezim Soekarno dan Soeharto merupakan pemimpin otoriter yang bebal terhadap kritik, dan lebih buruknya hal ini didukung pula oleh pejabat-pejabat tinggi di sekitarnya. Maka tiada jalan lagi di kala itu bahwa mahasiswa dalam melakukan pergerakan harus melalui demonstrasi, mengingat akses ke media di sensor dan pejabat-pejabat enggan ditemui untuk melakukan diskusi dan sekedar tukar pendapat. Namun harus diingat bahwa era ini sudah berlalu. Saat ini Indonesia sudah memasuki era demokrasi, meskipun sebagian pejabat Indonesia tidak kooperatif masih ada pejabat-pejabat yang terbuka menerima diskusi, kritik maupun saran dari mahasiswa. Akses ke media pun sudah dibuka seluas-luasnya, semua orang bisa mengirimkan pendapatnya ke media tanpa ancaman sensor.

Lalu ada alasan apa lagi bagi mahasiswa untuk terus menerus menjadikan demonstrasi sebagai simbol dari pergerakannya? Boleh dikatakan hampir tidak ada, banyak demonstrasi yang dilakukan hanya oleh 100-200 orang dengan isu-isu yang tidak jelas dan tanpa penjelasan yang jelas pula kepada masyarakat. Demonstrasi dalam skala kecil semacam ini hanya menghabiskan waktu dan membuat kemacetan, menghabiskan waktu karena sesungguhnya isu yang mereka sampaikan tidak didengar oleh pihak-pihak yang mereka datangi untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Inilah realita pergerakan mahasiswa saat ini, akibatnya adalah mahasiswa-mahasiswa pintar dan memiliki intelektualitas tinggi cenderung menghindar dari aksi-aksi semacam ini. Para mahasiswa ini memilih berfokus pada pelajaran, mengikuti kegiatan-kegiatan sosial atau mengembangkan bakatnya. Tanpa dipimpin dan didukung mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual maka pergerakan mahasiswa akan sia-sia dan kehilangan esensinya.

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengubah kondisi ini? Kunci dari semua ini adalah satu : Reformasi Pergerakan Mahasiswa. Jika selama ini mahasiswa mendesak reformasi, maka saat ini mahasiswalah yang seharusnya mereformasi dirinya sendiri. Pergerakan mahasiswa harus dikembalikan menjadi berdasar pada akal sehat. Demonstrasi-demonstrasi ke depannya harus didukung dengan berbagai data dan bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu seluruh Mahasiswa di Indonesia harus mau membuka diri bahwa Pergerakan Mahasiswa bukan hanya demonstrasi.

Pergerakan mahasiswa ke depan dalam opini penulis adalah suatu gerakan yang menitikberatkan pada kegiatan diskusi, kegiatan advokasi, dan kegiatan sosial. Kegiatan diskusi adalah dasar dari segala pergerakan mahasiswa. Layaknya Hatta yang memimpin kelompok diskusi yang membahas perjuangan bangsa Indonesia, maka itulah yang harus ditiru oleh mahasiswa saat ini, mahasiswa harus melakukan diskusi menyeluruh mengenai apa yang menjadi masalah dasar dari negara ini.

Dari diskusi ini, maka masalah ini harus disuarakan ke dalam forum-forum terbuka agar masyarakat tahu dan paham apa yang menjadi perhatian mahasiswa saat ini. Harus diingat bahwa forum terbuka disini bukanlah demonstrasi, melainkan harus diutamakan penulisan-penulisan di koran maupun audiensi dengan pejabat terkait. Tetapi peran mahasiswa tidak boleh berhenti sampai disitu, mahasiswa harus mampu memikirkan solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah-masalah bangsa. Analisa masalah dan penciptaan solusi tidak mungkin ada tanpa diskusi, maka hal inilah yang mendasari mengapa peran diskusi sangat penting dalam reformasi pergerakan mahasiswa.

Beranjak dari solusi yang ada, maka mahasiswa harus memilah mana saja solusi yang dapat dilakukan sendiri dan mana yang harus diperjuangkan ke pemerintah. Solusi yang dapat dilakukan oleh mahasiswa inilah yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan sosial dimana mahasiswa dapat turun tangan membantu masyarakat melalui berbagai program seperti community service, menjadi pengusaha yang dapat membuka lapangan kerja, menciptakan teknologi baru maupun program-program lain yang dapat menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Sementara solusi yang harus diperjuangkan ke pemerintah bisa melalui jalur advokasi. Jalur advokasi ini sekali lagi bukan hanya demonstrasi, mahasiswa dapat membuat tulisan-tulisan yang mengkritik ataupun memberi solusi kepada pemerintah di berbagai media massa, mahasiswa pun harus menghilangkan stigma bahwa mereka harus menjauhkan diri dari para pemegang kekuasaan. Sebaliknya mahasiswa harus membuka diri dan membuat jaringan-jaringan lobi terhadap pemegang kekuasaan, sehingga dalam menyampaikan kritik dan saran akan bisa langsung disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang. Satu hal yang harus diingat mahasiswa bahwa pemerintah tidak dapat menyelesaikan masalah di Negara ini seorang diri dan mahasiswa pun tidak dapat menyelesaikan semua masalah negara ini. Maka perlu ada kerjasama yang erat antara mahasiswa dan pemerintah dalam membangun bangsa. Mahasiswa sudah semestinya menjadi mitra kerja sekaligus pengawas pemerintah yang melakukan check & balance agar tercipta pemerintahan yang bersih dan sehat.

Perubahan paradigma ini tentu tidak dapat diterima dengan mudah oleh beberapa pihak, tetapi percayalah tanpa reformasi maka pergerakan mahasiswa akan mati. Mati karena tampaknya dalam beberapa tahun terakhir ini sebagian orang yang menyebut dirinya aktivis telah mengalami euphoria kekuasaan tanpa mereka sadari, mereka merasa bahwa mahasiswa adalah penyuara kepentingan masyarakat dan merupakan kekuatan yang dapat menumbangkan pemerintahan. Pemikiran inilah yang tanpa sadar justru melemahkan pergerakan mahasiswa saat ini, karena sesungguhnya sebagian aktivis mahasiswa tidak lagi membawa kepentingan masyarakat, yang mereka suarakan tidak lebih dari opini pribadi mereka atau pemberitaan media massa tanpa melihat langsung realita di lapangan. Maka dari itu pergerakan mahasiswa saat ini telah mengalami delegitimasi dari masyarakat. Sadarlah mahasiswa! Reformasi pergerakan mahasiswa adalah sebuah keniscayaan, pilihannya hanya dua, reformasi atau mati!

Sabtu, 12 Maret 2011

Ketuhanan dan Kemanusiaan : Sebuah Renungan Jum'at

Untuk memulai tulisan ini ijinkan saya mengutip sebuah surat, yaitu surat Al-Hasyr ayat 9, dimana Allah berfirman

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ayat ini menjelaskan betapa islam mengajarkan untuk mendahulukan kepentingan sesama manusia yang merupakan bagian dari hablumminannas atau hubungan manusia terhadap manusia. Hablumminannas adalah bagian penting dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, secara garis besar habluminannas dapat diwujudkan melalui perilaku saling menghormati sesama manusia, dan tidak mencari kekurangan atau kesalahan orang lain.

Tetapi kenyataannya banyak kaum muslim melupakan hablumminannas atas nama agama maupun ibadah kepada Allah. Bagi yang pernah menjalankan ibadah umroh atau haji, maka pasti pernah melihat betapa ramainya kerumunan umat di mesjid.Nabawi maupun Masjidil Haram. Di Makkah, setiap harinya selalu ada orang-orang yang berkerumun berusaha mencium hajar aswad. Dalam prakteknya orang-orang ini tidak peduli apakah ketika mereka berusaha mencium hajar aswad mereka melukai orang yang berada di sebelah mereka, bahkan terkadang mereka menginjak-injak orang yang mereka sebut saudara sesama muslim. Orang-orang semacam ini larut dalam suasana yang menurut mereka khusyuk, mereka merasa untuk menjalankan ibadah mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau dan sah-sah saja bagi mereka untuk melukai orang atas nama ketidaksengajaan dalam beribadah. Hal serupa juga terjadi di mina, dimana orang-orang berdesakan melempar batu hingga menghimpit orang-orang di sekelilingnya.

Tetapi anehnya meskipun ibadah haji dari tahun ke tahun memakan korban jiwa baik karena kelelahan fisik maupun akibat kecelakaan seperti runtuhnya terowongan mina pada tahun 1993, orang-orang banyak yang tidak belajar dari pengalaman. Mereka sering memaksakan diri untuk mendapatkan hal-hal yang sifatnya sebetulnya sunah, seperti melempar jumroh pada jam tertentu atau berdoa di tempat-tempat yang dianggap lebih makbul. Mereka terkadang melupakan bahwa jika mereka meninggal maka kewajiban mereka seperti membesarkan anak atau menafkahkan istri tidak dapat mereka jalankan dan peluang mereka untuk melakukan amal ibadah lebih banyak pun hilang dengan sendirinya.

Contoh lainnya adalah dalam melaksanakan ibadah haji, banyak orang yang berulang kali menunaikan ibadah haji seakan-akan di sekelilingnya tidak ada lagi orang yang membutuhkan bantuan atau zakat. Terkadang timbul keheranan dalam diri saya, apakah setelah orang tersebut pergi haji ia menjadi lebih baik? Atau apakah dengan seseorang pergi haji berulang kali, ia dapat membuat lingkungannya menjadi lebih baik? Padahal dengan uang 50 juta yang dikeluarkan orang untuk menunaikan ibadah haji, ia bisa memanfaatkan uang itu untuk membantu orang-orang kurang mampu. Secara logis lebih baik jika uang tersebut dipakai sebagai modal usaha bagi orang lain atau untuk membuka lapangan kerja, dengan begitu orang yang ditolong bisa saja menjadi sukses dan dengan sendirinya ia mampu menunaikan ibadah haji.

Menurut data setidaknya dalam 1 tahun ada 200 ribu jamaah haji Indonesia yang diberangkatkan untuk menunaikan ibadah haji. Jika kita berandai-andai bahwa 10 persen dari jamaah tersebut menjalankan ibadah haji untuk kedua kali atau bahkan kesekian kalinya, maka akan ada 20 ribu orang jamaah haji yang sesungguhnya mampu menggunakan uangnya dijalan yang lebih baik. Dan jika angka 20 ribu ini dikalikan 50 juta maka akan terkumpul uang sebesar 1 trilyun setiap tahunnya yang dapat dipakai untuk menyekolahkan anak kurang mampu atau memberdayakan masyarakat sekitar.

Bahkan dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Seorang yang shalih bernama Abdullah ibnu al-Mubarak, tertidur di sela-sela menjalankan ibadah haji. Dalam tidurnya, dia bermimpi melihat 2 malaikat yang sedang berbincang. Malaikat yang satu bertanya pada yang satunya lagi: berapa jumlah manusia yang melakukan ibadah haji pada tahun ini? Malaikat yang satu menjawab: 20 ribu. Berapakah yang diterima ibadah hajinya? Tidak satupun. Yang diterima justru yang tidak berada di sini, dia adalah seseorang yang berprofesi sebagai penyemir sepatu.

Karena mendengar perbincangan 2 malaikat itu, Abdullah terbangun dengan kaget. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah mengarungi berbagai bentuk kesengsaraan untuk dapat beribadah haji, namun semuanya tidak ada yang di terima. Tercenunglah ia, timbul keinginan hatinya untuk menemui sang penyemir sepatu, amalan apa yang menyebabkan dia beroleh karunia yang besar sehingga di terima hajinya padahal dia tidak berhaji.

Tidak lama setelah menyelesaikan rangkaian ibadah hajinya, Abdullah bergegas untuk menuju daerah yang di sebutkan oleh malaikat itu. Ketika menemui orang yang dimaksud Abdullah menceritakan mimpinya pada orang itu dan bertanya: sesungguhnya amalan apa yang membuat engkau mendapat karunia yang besar di sisi Allah? Mendengar cerita dan pertanyaan Abdullah, penyemir sepatu tersebut menjawab bahwa ia telah bertahun-tahun lamanya mengumpulkan sedikit demi sedikit uang demi berkunjung ke Baitullah, dan pada tahun tersebut jumlah uang yang ia miliki mencukupi untuk beribadah haji. Namun, menjelang keberangkatannya, seorang anak kecil mendatanginya, mengabarkan tentang ibunya yang sakit selama berhari tanpa obat dan makanan. Hal ini menimbulkan kebingungan pada sang penyemir sepatu apakah ia memilih untuk beribadah haji atau memberikan uang untuk membantu ibu tersebut, dan akhirnya ia memilih menyerahkan seluruh tabungannya kepada ibu itu,

Orang-orang seperti ini meskipun tidak beribadah haji, tetapi digelari haji sosial. Mereka bahkan mendapat tempat yang lebih utama daripada orang yang menunaikan ibadah haji. Jika direnungkan, hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam rukun Islam, dimana zakat menempati urutan keempat sesudah syahadat, sholat dan puasa, sedangkan haji berada di urutan kelima? Tentu penempatan ini bukan tanpa sebab, secara tidak langsung jika boleh diterjemahkan hal ini dapat bermakna, “dahulukanlah ibadah zakat diatas ibadah haji”. Zakat disini dapat dijadikan sebagai simbol perilaku hablumminnas dan Allah SWT melalui rukun islam menjelaskan pentingnya hablumminnas.

Manusia terkadang melupakan pentingnya menjaga hablumminnas ini. Padahal hubungan antar manusia merupakan hal yang jauh lebih rumit jika dibandingkan hubungan manusia dengan Tuhan. Karena apabila manusia berbuat salah terhadap Tuhan, maka Tuhan masih dapat mengampuni sejauh tidak dalam batas syirik. Sedangkan hubungan dengan manusia, jika seseorang berbuat salah belum tentu manusia mampu memaafkan. Bahkan tuhan tidak menerima amal ibadah seseorang jika ia tidak dimaafkan oleh orangtuanya khususnya ibunya. Dapatlah dikatakan bahwa, “sia-sialah semua amal ibadah yang sudah ia kerjakan, hanya karena ia tidak menjaga hubungan baik dengan manusia”.

Lebih jauh lagi adalah banyaknya orang-orang yang setiap hari menunaikan ibadah dengan baik, tetapi diluar itu ia tetap menghina orang lain, melakukan korupsi, mengambil hak orang atau bahkan menjadi peledak bom dan melakukan perbuatan negatif lain. Secara tidak langsung orang-orang ini merusak image orang terhadap islam, karena orang dapat berpikiran, “ternyata orang-orang yang sholat 5 waktu dan ibadahnya baik perilakunya buruk, berarti kalau begitu islam mengajarkan keburukan”

Bandingkan jika seorang muslim yang mungkin ibadahnya pas-pasan atau bahkan kurang, tetapi berzakat, sopan terhadap orang-orang, menegakkan keadilan atau bisa dikatakan akhlak sosialnya baik. Hal ini akan membuat orang berpikir, “Orang ini ibadahnya kurangpun tetap berakhlak baik, jika ia beribadah dengan sempurna pasti akhlak sosialnya akan luarbiasa baik. Berarti islam itu agama luarbiasa karena orang yang ibadahnya kurangpun akhlaknya tetap baik”

Jika direnungkan bukankah lebih baik jika orang yang akhlak sosialnya buruk, tidak perlu menjalankan ibadah? Karena hal tersebut tidak membawa kebaikan justru keburukan bagi orang tersebut. Saya tidak sedikitpun berniat menyarankan jamaah untuk meninggalkan ibadah Islam, tetapi satu hal yang harus disadari adalah ketika seseorang menjalankan ibadah sebagai seorang muslim, ia memiliki tanggung jawab sosial sebagai seorang muslim juga.

Inilah bagian yang sering dilupakan manusia bahwa tanggung jawab sebagai seorang muslim tidak hanya terbatas pada Tuhan semata, tetapi tanggung jawab manusia terhadap Tuhan diharapkan membawa manusia pada perilaku sosial yang baik terhadap sesamanya. Bukan karena seseorang telah menjalankan ibadah lalu ia merasa dapat berbuat semua hal yang ia inginkan, karena dengan asumsi bahwa nantinya Tuhan akan mengampuni dosanya. Hal semacam ini sesungguhnya lebih buruk daripada orang yang tidak memahami apa-apa tapi tetap berbuat baik, karena orang tersebut seakan-akan mempermainkan Tuhan. Mempermainkan Tuhan, karena ia sesungguhnya tahu apa yang dianjurkan dan apa yang dilarang tetapi ia tetap melakukan yang dilarang. Tetapi tentu saja sebaiknya-baiknya pilihan adalah menjadi muslim yang taat dengan akhlak sosial yang baik pula.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa pertama kita sebagai kaum muslim hendaknya tidak melupakan hablumminnas dalam kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya habluminnas dengan habluminallah harus berjalan secara seimbang. Kedua sebagai kaum muslimin maka tentu lebih utama mengutamakan kepentingan bersama daripada ego pribadi yang sifatnya sesaat.

Ketiga dalam beribadah harus dilihat apakah ibadah yang dilakukan itu lebih banyak manfaat atau mudharatnya, Jika ternyata ibadah yang dilakukan malah melukai orang lain atau membuat orang lain merugi, maka lebih baik ibadah tersebut dialihkan menjadi kegiatan lain yang lebih positif. Lalu poin berikutnya adalah dalam hidup ini segala sesuatu hendaknya dijalankan secara seimbang dan tidak berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan tidaklah membawa kebaikan meskipun niat awalnya adalah sesuatu yang baik. Dan terakhir harus diingat bahwa dengan menjadi seorang muslim, maka kita memiliki tanggung jawab yang tidak hanya pada Tuhan saja tetapi pada manusia masyarakat dan lingkungan sekitar. Poin-poin ini insyaallah dapat membawa kita menjadi muslim yang lebih baik dan lebih bermanfaat khususnya terhadap masyarakat, lingkungan dan tentunya Allah SWT.

Tulisan ini adalah adaptasi dari khotbah jumat di Masjid Al-Izhar Pondok Labu

Senin, 07 Maret 2011

Roti dan Demokrasi Sebuah Perspektif Memandang Revolusi Timur Tengah

Ketiadaan “Roti” sebagai pemicu Revolusi Timur Tengah
Selama 1 Bulan Terakhir, dunia diguncangkan dengan terjadinya revolusi berskala besar di Timur Tengah. Dimulai dari Tunisia, merambat ke Mesir dan memanaskan situasi di Libya, Bahrain, Yaman, Oman, Yordania dan bahkan Arab Saudi. Apa yang sesungguhnya terjadi pada negara-negara tersebut yang memicu terjadinya revolusi? Secara garis besar, revolusi terjadi karena adanya pengekangan hak-hak sosial dan politik yang ada pada masyarakat timur tengah. Namun, ketika dianalisa lebih mendalam, sesungguhnya pengekangan ini sudah terjadi sejak sekian lama, lalu apa yang mengakibatkan revolusi itu meledak saat ini?

Jawaban dari meledaknya revolusi tersebut dalam opini penulis tidak lain adalah kenaikan harga pangan, yang mencekik kehidupan masyarakat kecil di timur tengah. Meminjam judul sebuah thesis oleh Alexander Gerschenkron, yang berjudul “Roti atau Demokrasi”, yang di dalamnya menyatakan bahwa ada kaitan antara keberadaan roti (pangan-kebutuhan hidup) dengan demokrasi (hak-hak sosial-politik). Tetapi sesungguhnya makna “Roti atau Demokrasi” bisa diterjemahkan lebih luas dalam konteks keberlangsungan sebuah negara.

Jika menilik makna “Roti atau Demokrasi” sebuah negara yang ideal adalah negara yang bisa memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya dan di sisi lain memberikan hak-hak sosial-politik pada masyarakatnya dimana artinya roti dan demokrasi sama-sama dimiliki oleh masyarakat negara tersebut. Di sisi lain Negara yang memberikan roti tanpa demokrasi (co: Singapura) maupun demokrasi tanpa roti (co: Indonesia) bisa saja terwujud dan berjalan, tetapi negara-negara ini memiliki ancaman (walau tidak signifikan) terjadinya revolusi oleh masyarakat mengingat salah satu hajat hidupnya tidak terpenuhi.

Lalu dimanakah posisi negara-negara timur tengah saat ini? Dalam pandangan penulis sesungguhnya kebanyakan negara timur tengah memasuki fase ketiadaan roti maupun demokrasi. Selama bertahun-tahun masyarakat ini hidup tanpa demokrasi, tetapi kondisi ekonomi dunia yang memburuk memaksa mereka untuk hidup tanpa roti. Inilah yang kemudian memaksa seorang pedagang sayur dan buah di Tunisia untuk membakar diri yang kemudian menjadi pemicu terjadinya revolusi di Timur Tengah.

Data berbicara bahwa di berbagai negara timur tengah inflasi mencapai 2 digit, kondisi ini jelas semakin mempersulit masyarakat di kawasan tersebut. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa kondisi mereka yang semakin sulit ini tidak direpresentasikan oleh para pemimpin mereka yang hidup mewah, terjadi kesenjangan sosial antara masyarakat dengan pemimpin mereka beserta kroni-kroninya. Pendapatan GDP per kapita yang tinggi seakan-akan tertumpuk di tangan segelintir orang (Berdasarkan data Global Finance 2009 GDP/kapita PPP Libya $13.400 & Tunisia $9.849, bandingkan dengan Indonesia yang hanya mencapai $4.000), hal ini memicu kemarahan rakyat dan mendorong terjadinya Revolusi yang mengharapkan terwujudnya demokrasi yang pada akhirnya bertujuan bagi ketersediaan “roti” bagi masyarakat.


Dampak Revolusi Timur Tengah Terhadap Perekonomian Global
Timur Tengah sebagai kawasan produsen minyak mentah terbesar dunia, merupakan salah satu pemain ekonomi global yang harus diperhitungkan. Ketidakstabilan kawasan yang diakibatkan demonstrasi, revolusi, dan pergantian kekuasaan ini jelas berdampak pada menurunnya produksi minyak dunia yang mengakibatkan terus beranjak naiknya harga minyak dunia. Kondisi ini diperkirakan akan semakin parah jika Arab Saudi sebagai negara produsen minyak terbesar (10 juta barel/hari) juga terseret dalam arus revolusi timur tengah, dipastikan harga minyak akan terus naik dan dapat menembus kisaran $150 atau bahkan $200 per barrel.

Kenaikan harga minyak ini akan berdampak pada pemulihan ekonomi dunia pasca krisis ekonomi global 2008-2009, mengingat minyak masih menjadi bahan bakar utama dunia dan bahan pokok berbagai produk utama. Melambatnya perekonomian dunia, dalam skenario paling buruk dapat membuat kolaps berbagai negara eropa dan Amerika Serikat yang selama ini men-stimulus perekonomiannya dengan utang luar negeri, jika target pertumbuhan ekonomi yang terjadi jauh dibawah ekspektasi pertumbuhan ekonomi, bukan tidak mungkin utang luar negeri negara-negara tersebut tidak dapat terbayarkan.

Hal lain yang harus diingat adalah bahwa salah satu pembeli terbesar obligasi-obligasi maupun saham perusahaan Eropa dan Amerika Serikat adalah Negara-negara Timur Tengah, Berdasar data sovereign wealth institute, Abu Dhabi Investment Authority memiliki dana $627 milyar, sedangkan Lembaga Investasi Pemerintah Arab Saudi memiliki dana $400 milyar yang sebagian besar diinvestasikan ke negara-negara eropa dan Amerika Serikat. Dana-dana ini sangat mungkin ditarik jika para penguasa negara timur tengah merasa membutuhkan dana tersebut untuk melindungi kekuasaan mereka di dalam negeri. Jika hal tersebut terjadi secara besar-besaran maka dampaknya adalah terpukulnya sumber-sumber pendanaan perekonomian negara-negara maju, yang diiringi juga dengan inflasi sehingga berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan krisis ekonomi global jilid 2.


Masa Depan Roti dan Demokrasi di Timur Tengah
Saat ini harus dikatakan bahwa kondisi Timur Tengah dapat menjadi lebih baik atau bahkan lebih buruk. Kunci dari Timur Tengah yang lebih baik adalah pengawasan masyarakat khususnya pada era transisi ini demi terciptanya kestabilan. Kata kunci pertama yaitu pengawasan masyarakat, dimana masyarakat harus mampu mengawal pemerintahan transisi demi terlaksananya pemilu yang jujur, adil dan bersih. Berkaca dari kondisi Indonesia 1998-1999, kondisi transisi ini sangat rawan akan kudeta militer jika kondisi negara tetap tidak stabil. Namun di sisi lain pengawasan masyarakat yang berlebihan seperti di Indonesia pada era 1998-1999 yang berorientasi pada demonstrasi setiap hari justru tidak efektif dan berdampak pada kekhawatiran investor untuk berinvestasi dan menjalankan aktivitas bisnis.

Kata kunci kedua adalah Kestabilan, yang di sisi lain selama bertahun-tahun menjadi kata kunci dan alasan utama bertahannya pemerintahan otoriter di Timur Tengah. Kestabilan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Timur Tengah, dan menjadi penghambat gerakan pro-demokrasi untuk menjatuhkan pemerintahan berkuasa. Kemampuan pemerintahan transisi menciptakan stabilitas akan mengundang investor untuk kembali dan mengembalikan aktivitas bisnis seperti semula.

Jika roda perekonomian berjalan, maka lebih mudah bagi negara-negara Timur Tengah untuk menyediakan “roti” bagi masyarakatnya, apalagi mengingat hanya 1 sektor utama yang harus jadi concern negara-negara tersebut untuk dipulihkan dalam waktu singkat yaitu sektor minyak. Kembalinya sektor minyak akan mengembalikan likuiditas keuangan negara-negara Timur Tengah untuk mengamankan ketersediaan “roti” bagi masyarakat yang menjadi sumber revolusi Timur Tengah dan mencegah terjadinya krisis minyak berkepanjangan yang dapat mengganggu kondisi perekonomian global.

Jika Mesir dan Tunisia sebagai negara yang terkena revolusi mampu melaksanakan skenario ini, nampaknya revolusi maupun reformasi akan semakin menyebar di Timur Tengah. Terciptanya negara ideal yaitu negara yang memiliki “roti dan demokrasi” akan membuka perspektif masyarakat Timur Tengah bahwa ada posibilitas bagi mereka untuk mencapai negara ideal. Sebaliknya jika stabilitas negara tidak tercapai, dan militer mengambil alih pemerintahan, maka hal tersebut akan menjadi disinsentif bagi negara-negara lain untuk melakukan reformasi dan revolusi.



Akhir Kata, Sebuah Pelajaran bagi Indonesia
Pada akhirnya, revolusi pro-demokrasi di Timur Tengah sudah seharusnya ditanggapi Indonesia sebagai pelajaran dan sebuah dinamika global yang dapat memberi keuntungan bagi Indonesia. Pelajaran pertama adalah bahwa kemampuan suatu pemerintah menyediakan “roti” adalah sangat penting dalam menjaga kestabilan suatu pemerintahan, Indonesia dalam hal ini sangat rentan sama halnya dengan negara-negara di Timur Tengah, mengingat naiknya harga pangan dan minyak jelas mempengaruhi daya beli masyarakat Indonesia. Berkurangnya daya beli masyarakat Indonesia akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didominasi konsumsi dalam negeri.

Pelajaran kedua adalah menciptakan iklim demokrasi bukan hanya masalah kuantitas tetapi juga kualitas, Indonesia selama ini membanggakan diri sebagai negara demokrasi terbesar kedua dan juga mungkin negara yang paling banyak mengadakan pemilihan umum baik nasional maupun daerah selama kurun waktu 5 tahun. Tetapi pemilihan umum itu tidak lepas dari praktik politik uang dan nepotisme yang berakibat pada pemerintahan yang tidak efektif-efisien serta berlarut-larut tersandera konflik. Buruknya kualitas iklim demokrasi Indonesia bisa memicu revolusi rakyat Indonesia jika digabungkan dengan kondisi ekonomi yang buruk. Hal ini seharusnya menjadi pemicu bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk bersama-sama menghindarkan Indonesia dari kondisi “fail state” dan menciptakan negara ideal yang memberi “roti dan demokrasi” bagi rakyatnya.