Selasa, 27 Maret 2012

Rekomendasi APBN 2012 (Kajian BEM FEUI 2011)

Note : Rekomendasi ini telah disampaikan kepada Badan Anggaran DPR-RI pada 19 Agustus 2011

A. Hakikat APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah anggaran negara yang terdiri dari 2 bagian yaitu pendapatan dan belanja negara. Anggaran ini dibuat berlandaskan asumsi makro dan Rencana Pemerintah Jangka Menengah untuk menentukan besaran pajak, utang dan sumber pendanaan lain yang dibutuhkan. Kemudian setiap departemen, lembaga negara dan daerah mengajukan anggaran yang mereka perlukan sebagai dasar pengeluaran. APBN ini kemudian dibahas bersama oleh pemerintah (Kementerian keuangan) dan DPR-RI (Badan Anggaran) untuk dinilai urgensi dan prioritasnya dalam menetapkan belanja negara.

Pada hakikatnya APBN adalah instrumen yang memperlihatkan G (Government Expenditure) dari Indonesia. Instrumen ini penting sebagai bagian dalam menghasilkan Y (output negara/GDP), tetapi bukan instrumen satu-satunya yang menentukan besaran Y karena masih ada faktor konsumsi, investasi dan ekspor-impor. Namun APBN adalah satu-satunya instrumen yang mampu dikontrol oleh masyarakat dan negara, selain itu APBN juga menghasilkan multiplier effect. Inilah kelebihan instrumen G dibanding faktor-faktor lainnya. Semakin besar APBN seharusnya output yang dihasilkan suatu negara akan semakin besar. Implikasi akhirnya adalah semakin besar output negara maka semakin besar kesejahteraan masyarakat di suatu negara yang bisa diukur melalui berbagai instrumen seperti GDP/Kapita hingga Indeks Pembangunan Manusia.

Dari sini jelas terlihat bahwa APBN adalah instrumen penting demi kesejahteraan masyarakat. Tetapi satu hal yang harus digarisbawahi APBN adalah instrumen dan bukan hasil akhir.Pada hakikatnya jika sebuah instrumen tidak digunakan dengan tepat maka instrumen tidak mampu menghasilkan apapun, bahkan jika digunakan dengan tepatpun tidak ada jaminan APBN akan otomatis menghasilkan masyarakat yang sejahtera.

Namun semua usaha harus dilakukan jika kesejahteraan masyarakat menjadi taruhannya. Untuk itulah APBNharus diawasi agar pemakaiannya tepat guna dan tidak menyimpang.Terkait hal ini BEM FEUI berkomitmen untuk menjaga agar APBN menjadi tool yang tepat guna dan dapat termanfaatkan sebesar-besarnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.

B. Evaluasi APBN 2011

Melihat hakikat yang ada pada APBN dan dikomparasi dengan kondisi Indonesia, maka boleh dikatakan hakikat yang ingin dicapai APBN belum tercapai. Kemiskinan dengan standar $2 sehari masih mencapai 60% dari penduduk Indonesia, hal ini terjadi dikala GDP per kapita meningkat hingga menembus $3000 dan gini ratio (rasio kesenjangan pendapatan) yang meningkat. Artinya APBN belum mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat melainkan hanya sebagian masyarakat kaya.

Pertumbuhan ekonomi yang ada pada kisaran 6% masih didominasi sektor konsumsi domestik (+/-4%), dan sisanya oleh investasi, ekspor, dan baru APBN. Secara sederhana bisa dikatakan peran pemerintah masih sangat minim dalam mengakselarasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Hal ini dalam kajian BEM FEUI disebabkan 5 masalah mendasar. Masalah tersebut adalah :

1. Komposisi APBN Tidak Ideal,

2. Buruknya Penyerapan Anggaran,

3. Manajemen Utang & Defisit yang tidak tepat,

4. Pendapatan yang belum maksimal,

5. Dana Transfer Daerah Bermasalah

Komposisi APBN yang tidak ideal ini mencakup kebijakan yang didominasi belanja pegawai & subsidi dan minim belanja modal dan sosial. Padahal belanja modal & sosial lah yang merupakan bagian dari APBN yang memiliki multiplier effect bagi perekonomian. Data yang ada menunjukkan bahwa hanya 16,2% dan 7,6% dari APBN 2005-2011 yang digunanakan untuk belanja modal dan belanja sosial. Hal ini memperlihatkan struktur kepegawaian yang gemuk, tidak efektif, dan tidak efisien yang tercermin dalam berbagai survei yang menunjukkan lambannya birokrasi di Indonesia. Dari sisi departemen pun, dana yang dialokasikan untuk infrastruktur yang menghasilkan multiplier effect hanya 58 Triliun pada 2011, ini hanya sebesar 5% dari total APBN dan masih dipotong untuk biaya pegawai. Melihat kebutuhan pembangunan khususnya infrastruktur, maka komposisi APBN saat ini jelas jauh dari ideal.

Adapun kebijakan subsidi khususnya subsidi BBM berdasarkan model yang digunakan BEM FEUI ternyata tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat. Belum lagi penyalurannya yang tidak tepat guna menurut penelitian world bank, dimana 90% subsidi jatuh pada kalangan mampu.

Kemudian terkait penyerapan anggaran, pada periode 2005-2010 penyerapan anggaran pada triwulan 1 rata-rata hanya sebesar 11,32%, pada periode 2011 pun penyerapan hanya sebesar 11%. Adapun secara keseluruhan rata-rata penyerapan anggaran 2005-2010 hanya 87% dan penyerapan tahun 2010 sebesar 95,79%. Ini menunjukkan ada dana sebesar 40 Triliun yang tidak terserap. 2 Hal ini menjadi sorotan yaitu waktu penyerapan dan besar penyerapan. Waktu penyerapan yang menumpuk pada triwulan 4 menjadikan proyek dilaksanakan tergesa-gesa yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas, dan juga mengalami kekosongan pembangunan pada triwulan awal. Rendahnya penyerapan juga berbahaya, karena pembiayaan 100 Triliun dana APBN dibiayai dari utang. Hal ini menandakan ada utang yang tidak terserap dan dapat membebani keuangan negara ke depannya.

Manajemen utang dan defisit (pembiayaan) pemerintah pun dirasa belum memadai. Walaupun dari sisi persentase utang terhadap GDP menurun hingga kisaran 25-26%. Namun pembiayaan nominal meningkat dari 8,9 Triliun pada 2005 menjadi 124,7 Triliun pada 2011, dan secara total mencapai 1590,6 Triliun. Bunga utang pun menelan 14,77% dari keseluruhan APBN. Hal ini membebani ruang fiskal APBN untuk diarahkan ke kesejahteraan masyarakat. Tetapi dalam pandangan BEM FEUI, utang tidak terlalu menjadi masalah ketika mampu terserap sepenuhnya. Permasalahannya adalah masih banyak dana yang tidak terserap dalam APBN, sehingga utang yang diambil menjadi sia-sia. Selain itu komposisi utang yang berubah menjadi didominasi obligasi juga harus menjadi perhatian pemerintah, mengingat bunga obligasi yang lebih besar dibanding bunga utang LN (G to G). Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dalam manajemen utang agar utang yang diambil mampu terserap dalam proyek-proyek yang mampu menggerakan roda perekonomian, dan bukannya menjadi dana sia-sia di dalam kas negara.

Sorotan keempat adalah pendapatan yang belum maksimal, hal ini terlihat dari tax ratio yang hanya sebesar 12,3% pada 2010. Padahal pada 2006, rata-rata ASEAN mencapai 13,5% dan bahkan tax ratio Malaysia mencapai 20,17%. Hal ini memperlihatkan rendahnya kesadaran membayar pajak maupun ketegasan pemerintah dalam mengumpulkan pajak. Padahal jika pemerintah mampu meningkatkan tax ratio menjadi 15% maka ada potensi kenaikan APBN sebesar +/-160 Triliun rupiah (6.422 Triliun x 2,7%). Indikator lain adalah elastisitas pajak yang menunjukkan besaran kenaikan pajak setiap 1% kenaikan pendapatan nasional, Indonesia dalam hal ini baru berada pada 1,07, sedangkan malaysia sebesar 1,9 dan Pakistan sebesar 2,1. Pendapatan lain yang bisa digerakkan adalah melalui renegoisasi kontrak karya dan mengatur ulang kebijakan dividen BUMN agar mampu menghasilkan pendapatan lebih besar bukan hanya pada jangka pendek namun hingga 10-20 tahun ke depan. Dari sini terlihat betapa besar potensi pendapatan yang masih bisa digarap pemerintah Indonesia untuk meningkatkan APBN 2011.

Sorotan terakhir adalah Dana Transfer Daerah yang bermasalah, bermasalah dalam artian pemakaiannya yang didominasi gaji pegawai. Hal ini terlihat dari struktur APBD yang 58% dipakai untuk gaji pegawai, dana lain pun banyak dipakai untuk pembangunan fasilitas birokrat. Bahkan banyak pemerintah daerah yang terancam bangkrut dengan struktur seperti ini. Dari segi daerah yang mendapat dana transferpun masih didominasi kabupaten daerah maju yang mencapai 154 Triliun dibandingkan kabupaten daerah tertinggal hanya 89 Triliun, ini menunjukkan bahwa dana transfer daerah tidak berimbang. Selain itu menurut penelitian INDEF hanya 9 propinsi yang menunjukkan semakin besar dana perimbangan diikuti semakin besar penurunan kemiskinan. Pengawasan pemanfaatan dana transfer ini pun sangat minim, terlihat dari minimnya transparansi data APBD maupun lembaga-lembaga yang fokus mengawasi APBD. Semua ini membawa kesimpulan bahwa dana transfer daerah perlu ditinjau kembali agar secara efektif mampu diarahkan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

C. Rekomendasi APBN 2012

Melihat permasalahan yang ada maka BEM FEUI memberikan rekomendasi berdasar masing-masing permasalahan yang ditemukan agar APBN 2012 mampu lebih baik lagi dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan rakyat.

1. Menuju Komposisi APBN ideal

Rekomendasi terpenting untuk memperbaiki komposisi APBN adalah mengurangi belanja rutin khususnya belanja gaji pegawai dan subsidi untuk kemudian dialihkan ke dana infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Secara spesifik rekomendasi ini adalah :

a. Melakukan moraturium penerimaan pegawai negeri baru dan kenaikan gaji

b. Menerapkan sistem remunerasi yang dijalankan lembaga independen yang profesional untuk mengukur kinerja pegawai negeri. Hal ini disertai pengubahan sistem gaji menjadi didominasi oleh penghasilan dari remunerasi dan pengurangan gaji tetap untuk mendorong produktivitas pegawai negeri.

c. Perencanaan pencabutan sepenuhnya subsidi BBM selambat-lambatnya tahun 2013. Untuk meredam dampak pencabutan subsidi maka perlu dilakukan pengalihan bahan bakar ke BBG, pengurangan pemakaian BBM untuk pembangkit listrik, dan mempersiapkan infrastruktur transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman.

d. Penambahan anggaran pendidikan dengan tujuan menciptakan pendidikan gratis 100% hingga level SMA dan perbaikan fasilitas & prasarana pendidikan melalui pengalihan dana subsidi. Dalam hal ini gratis mencakup biaya buku, biaya perawatan, dan seluruh biaya/pungutan lain. Sehingga nantinya BOS dapat dihilangkan & diganti dengan penghilangan otomatis biaya pendidikan.

2. Meningkatkan penyerapan anggaran

Bermasalahnya penyerapan anggaran disebabkan waktu pembahasan APBN yang minim yang kemudian berdampak pada lambatnya pembahasan di daerah, ketidaksinkronan waktu periode pajak dengan periode APBN yang menyebabkan kurangnya dana pada triwulan awal tahun anggaran, dan lambatnya birokrasi pelaksanaan proyek maupun tender. Untuk itu rekomendasi BEM FEUI adalah agar dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Memajukan waktu pembahasan APBN atau setidaknya menghilangkan rutinitas membuat APBN-P yang menghabiskan waktu selama bulan juni-juli

b. Sinkronisasi periode pajak dengan periode APBN untuk menghilangkan masalah kekurangan dana pada triwulan awal periode anggaran.

c. Memberikan insentif bagi pegawai negeri untuk memimpin proyek pembangunan, khususnya jika sasaran proyek mampu dipenuhi

d. Memotong birokrasi tender, dengan menaikkan besaran minimum proyek/pengadaan yang harus dilakukan melalui tender. Sebagai gantinya maka mekanisme audit internal harus diperkuat dalam setiap departemen dan daerah

e. Dokumen perencanaan proyek yang lebih detail dan penjabaran sasaran proyek untuk mengukur keberhasilan dan urgensi suatu proyek

f. Memprioritaskan penambahan anggaran bagi departemen/daerah yang mampu menyerap anggaran secara maksimal baik dari sisi kuantitas maupun kualitas

3. Manajemen utang & Defisit

Kebijakan defisit yang diambil ke depannya harus ditinjau ulang mengingat kebijakan defisit diiringi dengan pengambilan utang baru. Untuk itu defisit yang ada harus dipakai secara maksimal agar mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Manajemen defisit & utang ini terkait erat dengan penyerapan anggaran yang maksimal, dimana jika kebijakan defisit yang ditempuh tidak diikuti dengan penyerapan anggaran maksimal, maka utang akan menjadi sia-sia. Jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengubah bentuk utang agar mampu mendorong penyerapan anggaran. Rekomendasi terkait hal ini adalah :

a. Membuat utang based by project baik itu utang luar negeri maupun obligasi. Secara khusus terkait obligasi bisa mengikuti pola sukuk. Utang based by project ini penting untuk memastikan agar utang yang diambil telah memiliki pos-pos pemakaian khusus dan tidak masuk ke kas negara tanpa target pemakaian yang jelas. Dengan sistem ini maka utang yang diambil otomatis diarahkan ke infrastruktur dan pencapaiannnya mampu diukur

b. Menyeimbangkan utang berbentuk G to G, dengan utang berbentuk G to B. Tujuannya adalah agar bunga utang yang ditanggung pemerintah bisa diminimalisir mengingat utang G to B (obligasi) umumnya berbunga tinggi sedangkan utang G to G berbunga rendah

c. Restrukturisasi utang BLBI agar pembayaran tidak tertumpuk pada 2033

d. Mengurangi utang berdenominasi asing untuk mengurangi gejolak terhadap fluktuasi nilai tukar

e. Apabila penyerapan anggaran sudah baik dan pemakaian utang sudah termanfaatkan maksimal maka ekspansi utang dapat dilaksanakan

f. Menjaga persentase utang terhadap PDB pada level maksimal 60%

4. Maksimalisasi pendapatan APBN

Memaksimalkan pendapatan APBN harus dilakukan, caranya adalah meningkatkan tax ratio, elastisitas pajak dan perubahan kebijakan pengolalaan SDA. Cara yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan tax ratio dengan memperkuat dirjen pajak, khususnya terkait wewenang mengumpulkan pajak yang diiringi dengan pengawasan ketat dirjen pajak melalui audit internal maupun eksternal, serta pemisahan wewenang pengadilan pajak dari dirjen pajak. Hal ini dilakukan agar dirjen pajak mampu lebih agresif mengumpulkan pajak namun tetap transparan.

2. Menumbuhkan kesadaran membayar pajak melalui insentif bagi masyarakat yang membayar pajak dan transparansi penggunaan dana pajak agar masyarakat mengetahui manfaat membayar pajak. Insentif dapat berupa kemudahan birokrasi pajak& kebijakan jemput bola bagi pembayar pajak.

3. Mengubah sistem pajak menjadi sistem pajak per pos seperti di Amerika Serikat. Dimana sebagai contoh pajak kendaran bermotor otomatis dialokasikan untuk mensubsidi transportasi umum. Hal ini merupakan bagian dari memudahkan transparansi penggunaan dana pajak.

4. Mendorong perusahaan-perusahaan untuk melakukan IPO untuk menjamin transparansi kondisi keuangan perusahaan tersebut

5. Melakukan renegosiasi kontrak karya dengan perusahaan pengelola sumber daya alam ke arah yang lebih menguntungkan bagi negara. Termasuk di dalamnya adalah meninjau kembali Undang-undang MIGAS nomor 22 tahun 2001 karena ada beberapa hal dalam undang-undang tersebut yang merugikan negara. Seperti kebijakan bagi perusahaan asing yang harus memberikan 2% dari profit sharing dirasa kurang dan merusak kedaulatan negara Indonesia,

5. Meningkatkan Efektivitas Dana Transfer Daerah

Dana transfer daerah ke depannya harus mampu secara efektif dipakai untuk membangun perekonomian daerah agar suatu saat daerah mampu mandiri secara finansial dari pemerintah pusat. Selain itu juga agar secara efisien terserap bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk itu harus diambil langkah sebagai berikut :

a. Perubahan struktur dana transfer daerah diprioritaskan untuk belanja modal seperti pembangunan infrastruktur atau industri yang dapat menaik penghasilan bagi daerah di masa depan

b. Perbaikan formula dana transfer dengan memprioritaskan daerah-daerah tertentu untuk terlebih dahulu dibangun, atau memusatkan dana transfer ke level provinsi. Tujuannya adalah agar dana yang ditransfer bisa lebih fokus dan mencukupi untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan industri dalam skala besar

c. Memastikan adanya formula baku yang mampu menjamin terlepasnya penyusunan dana transfer daerah dari proses lobi maupun mafia anggaran. Selain itu agar dana transfer daerah benar-benar masuk ke daerah yang tidak maju.

d. Sinergisasi pembangunan level kabupaten-kota, provinsi, dan tingkat nasional agar tidak ada pembangunan yang saling tumpang tindih antara kabupaten maupun provinsi.

e. Pemanfaatan dana transfer daerah berdasar proyek, dimana dana ini ditransfer berdasar kebutuhan proyek yang diajukan oleh pemerintah daerah.

f. Transparansi pemakaian APBD dan khususnya dana transfer daerah melalui UU KIP yang mampu diawasi secara transparan oleh masyarakat.

D. Penutup

APBN sebagai sebuah instrumen penting tentu membutuhkan pengawasan lebih ketat dalam proses pelaksanaanya agar mampu memberikan hasil yang maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Sebagai satu-satunya instrumen yang mampu dikontrol oleh pemerintah dan negara, APBN harusnya mampu memberikan multiplier effect yang cukup besar bagi perekonomian. Sayangnya, beberapa masalah seperti yang telah diuraikan sebelumnya menjadi penghambat APBN dalam memacu pertumbuhan output suatu negara. Oleh sebab itu, BEM FEUI yang turut serta dalam proses pengawalan APBN agar dapat menjadi alat yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat memberika beberapa rekomendasi terkait masalah-masalah tersebut. Diharapkan melalui rekomendasi-rekomendasi itu APBN kembali ke hakikat dasar sebagai instrumen yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, baik masyarakat kaya, menengah maupun masyarakat miskin.

Kajian Subsidi BBM BEM FEUI 2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan dan peranan yang sangat krusial. Krusialitas tersebut tidak dapat dilepaskan dari hakikat terbentuknya komunitas kebangsaan itu sendiri, yang ada akibat adanya keinginan dan kerelaan untuk bersatu demi mengusahakan tujuan bersama, yang notabene dalam lingkup keduniaan tujuan tersebut diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Tingkat kesejahteraan yang dewasa ini ditentukan oleh paling tidak tiga parameter, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keuangan menuntut adanya proporsionalitas di antara ketiga komponen tersebut, mengingat, sedikit mengutip diksi dari salah satu kutipan Warren Buffet, jika satu di antara ketiga komponen itu tidak ada, maka dua komponen yang lain akan menjadi pembunuh dan pengancam ketercapaian tujuan final. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwasanya ketiga komponen tersebut sebenarnya tidaklah saling lepas atau independen satu sama lain. Mereka yang berpandangan praktis bahkan mengatakan bahwa pembudayaan nilai – nilai pendidikan dan pelayanan kesehatan akan dapat dicapai dengan sendirinya jika pembangunan ekonomi yang merata telah terlaksana.

Konsep sederhana kesejahteraan yang disampaikan di atas, kemudian menjadi finish line yang ingin dicapai oleh suatu negara. Usaha untuk mencapai hal tersebut diusahakan oleh dua komponen kenegaraan, yaitu pemerintah dan penduduk negara. Adapun penduduk negara kemudian jamak diklasifikasikan atas dua fraksi, yaitu dunia usaha dan rumah tangga. Pemerintah sebagai pelaku ekonomi, yang secara teknis dijalankan melaui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menjadi salah satu kunci determinasi tercapainya tujuan bernegara. Hal ini merujuk pada setidaknya tiga alasan. Pertama, kontribusi kegiatan ekonomi pemerintah terhadap perekonomian negara bersifat material dan signifikan. Indikator yang sederhana untuk menjelaskan relasi ini adalah rasio APBN (kapasitas perekonomian pemerintah) terhadap Produk Domestik Bruto/ PDB (kapasitas perekonomian negara) yang cukup besar. Indonesia sebagai contoh, mencatatkan angka pada kisaran rata-rata 14% – 16% untuk rasio tersebut. Alasan berikutnya adalah keberadaan pemerintah yang tidak tergantikan oleh organ – organ kebangsaan lain. Pemerintah memiliki otoritas yang secara konstitusional telah dimandatkan oleh warga negara untuk menjalankan peranannya dalam perekonomian. Jika dan hanya suatu organ memiliki mandat tersebut, maka regulasi perekonomian dapat dijalankan. Adapun alasan yang ketiga adalah, pelaksanaan fungsi kepemerintahan yang mutlak harus ada, baik dalam sistem ekonomi komando atau liberal sekalipun.

Mengingat determinasi pemerintah dalam menjalankan perekonomian secara signifikan, maka perlu benar – benar dicermati sejauh mana peranan tersebut telah dijalankan dengan baik, melalui pengawasan APBN oleh pemegang kedaulatan negara. APBN, sebagaimana dicerminkan oleh namanya, memiliki dua aspek komponen pembentuk, yaitu penerimaan, belanja dan pembiayaan. Komponen penerimaan meliputi tiga unsur, yaitu pajak, non pajak, dan hibah. Komponen belanja memiliki beberapa unsur, yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, pembayaran bunga hutang, bantuan sosial, belanja lain – lain, dana perimbangan, dana penyesuaian otsus, dan subsidi. Adapun komponen pembiayaan memiliki unsur pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar negeri.

Masing – masing unsur pada komponen pembentuk APBN tersebut memiliki peran masing – masing. Sekalipun demikian, ada dua unsur yang sejauh ini diberikan perhatian khusus, yaitu unsur subsidi dan komponen hutang (pembiayaan). Subsidi, yang seringkali diafiliasikan sebagai invers dari pajak, dianggap perlu dikawal dengan baik akibat adanya empat pertimbangan. Pertama, adalah materialitas dan signifikansinya terhadap APBN. Secara nominal, subsidi memiliki nilai alokasi yang paling besar dibandingkan unsur belanja yang lain selama paling tidak lima tahun terakhir. Kedua, adanya harapan munculnya efek berkelanjutan dari penerapan kebijakan subsidi. Sedangkan pertimbangan ketiga adalah subsidi merupakan salah satu fungsi ekonomi pemerintah yang tidak dapat digantikan oleh pelaku ekonomi lain. Terakhir, sifat subsidi yang relatif sangat dependen bahkan volatile bergantung pada faktor – faktor penyusunnya. Atas dasar pertimbangan – pertimbangan tersebut maka subsidi akan menjadi materi pertama dari pengkajian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, pengkajian akan didasarkan atas tiga rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana penerapan kebijakan subsidi di Indonesia selama 10 tahun terakhir ?

2. Bagaimana efektivitas penerapan kebijakan subsidi di Indonesia ?

3. Bagaimana mekanisme ideal penerapan kebijakan subsidi di Indonesia ? Serta alternatif kebijakan apakah yang dapat diambil pemerintah sebagai pengganti kebijakan subsidi dengan mempertimbangkan dampak – dampak peniadaan subsidi?

C. Tujuan Penulisan

Secara umum, pengkajian ini dilaksanakan untuk tujuan kritisasi dan penelaahan kebijakan penganggaran pemerintah Indonesia. Adapun secara khusus, tujuan pengkajian dijelaskan dalam empat point berikut.

1. Mengetahui bagaimana penerapan kebijakan subsidi di Indonesia selama 10 tahun terakhir.

2. Mengetahui sejauh mana efektivitas penerapan kebijakan subsidi di Indonesia.

3. Merumuskan mekanisme yang ideal mengenai penerapan kebijakan subsidi di Indonesia serta memaparkan alternatif kebijakan yang dapat diambil pemerintah sebagai pengganti kebijakan subsidi dengan mempertimbangkan dampak – dampak peniadaan subsidi.

D. Manfaat Penulisan

Pengkajian ini diharapkan akan dapat memberikan dua macam manfaat yang dijelaskan dalam point berikut.

1. Manfaat Teoretis

Pengkajian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai penerapan kebijakan subsidi di Indonesia, arah dan implikasi apa yang diharapkan tercapai, serta bagaimana pencapaian tujuan ideal tersebut dapat direalisasikan. Secara umum, pengkajian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang ideal mengenai kebijakan subsidi beserta bagaimana unsur tersebut meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, pengkajian ini diharapkan dapat menjadi wujud pengabdian mahasiswa dalam bentuk usaha untuk mengkritik kebijakan pemerintah sebagai media pencerdasan dalam kerangka pendidikan seluruh elemen bangsa Indonesia. Pengkajian ini diharapkan pula dapat memberikan kontribusi positif dalam pembentukan budaya ilmiah di kalangan masyarakat akademik Indonesia.

E. Batasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam pengkajian ini dibatasi pada kebijakan subsidi pemerintah Indonesia selama 10 tahun terakhir beserta proyeksi rekomendasi ke depannya.

F. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Pembatasan Masalah

F. Sistematika

Bab II Landasan Teori

A. Pengertian, Peran, Kedudukan, dan Parameter Ideal Kebijakan Subsidi

B. Konsep dan Parameter Kesejahteraan Rakyat Indonesia

Bab III Metodologi Penelitian

A. Metode Pengumpulan Data

B. Metode Analisis Data

Bab IV Pembahasan

A. Penerapan Kebijakan Subsidi di Indonesia

B. Efektivitas Penerapan Kebijakan Subsidi

C. Mekanisme Ideal Penerapan Kebijakan Subsidi

D. Alternatif Kebijakan Pengganti Kebijakan Subsidi

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian, Peranan, Kedudukan Kebijakan Subsidi

Pemerintah sebagai tangan besar yang mengelola perekonomian negara menetapkan kebijakan – kebijakan dan melaksanakan tugas – tugasnya guna membuat alur dan sistem ekonomi negara menjadi teratur dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Seperti yang ditulis oleh Joseph E. Stiglitz dalam bukunya Economics of The Public Sector, peran utama pemerintah adalah untuk membuat suatu kerangka aktivitas maupun transaksi ekonomi dimana di dalam kerangka tersebut tersedia beberapa regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah. Jika ditinjau lebih mendalam, pemerintah melakukan aktivitas – aktivitas pembuatan regulasi tersebut yang dikelompokkan menjadi empat kategori, yakni:

1. Memproduksi barang dan jasa

2. Membuat peraturan dan memberi subsidi pada produk swasta

3. Pembelian barang dan jasa untuk negara

4. Meredistribusi pendapatan yang disebut transfer payment

Pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya mengelola negara melakukan beberapa tugas yang termasuk dalam government expenditure ataupun yang kita sebut sebagai pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah ini dapat berupa subsidi, pemberian gaji pegawai negeri, pembangunan infrastruktur, serta pembuatan dan penyediaan public goods. Namun, pengeluaran pemerintah ini memiliki ambiguitas hakikat. Contohnya, subsidi pemerintah untuk pertanian bisa diartikan sebagai subsidi produksi atau redistribusi pembayaran transfer payment.

Berangkat dari pernyataan Stiglitz yang menyatakan subsidi termasuk salah satu kebijakan dan aktivitas pemerintahan, kami mencoba meninjau lebih dalam konsep, peranan, dan hakikat subsidi. Subsidi adalah suatu bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan untuk kepentingan negara secara agregat (hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak). Subsidi diberikan dengan maksud untuk mengurangi beberapa beban masyarakat dan meningkatkan output produksi. Pemerintah mencoba menuntaskan kewajibannya sebagai pengatur perekonomian negara dengan fokus pada keuntungan dan atau hal-hal yang memiliki nilai manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu subsidi dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan tidak lain adalah untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya.

Di sisi lain, selain dapat meningkatkan produktivitas (less input, more output), subsidi juga memberi dampak negatif bagi negara seperti pengalokasian sumber daya yang tidak efisien dan menyebabkan pendistorsian harga. Menurut Faisal Basri dalam bukunya Perekonomian Indonesia : Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia, subsidi yang tidak transparan dan tidak well-targeted akan mengakibatkan (1). Subsidi besar yang digunakan untuk program populis cenderung menciptakan distorsi baru dalam perekonomian, (2). Subsidi menciptakan inefisiensi, (3). Subsidi tidak dinikmati oleh mereka yang berhak.

Subsidi terbagi dalam dua macam yakni :

1. Price distorting: bantuan pemerintah berbentuk pengurangan harga di bawah harga pasar. Mengutip apa yang disampaikan dalam evaluasi APBN, disebutkan bahwa pengurangan harga ini menyebabkan masyarakat ingin meningkatkan konsumsi di Indonesia dan pemerintahlah yang bertanggung jawab membayar selisih harga tersebut.

Contoh dari subsidi ini antara lain :

a. Potongan harga/ tarif listrik.

b. Potongan harga untuk sewa rumah.

c. Potongan harga pupuk.

d. Beras miskin.

e. Biaya sekolah (BOS).

f. Potongan harga BBM.

2. Cash grant: merupakan bantuan pemerintah kepada masyarakat dengan memberikan sejumlah uang tunai dan alokasi konsumsi akan uang tersebut diserahkan sepenuhnya oleh masyarakat. Contoh cash grant adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Menurut jenisnya, subsidi terbagi ke dalam dua jenis, yakni subsidi energi dan subsidi non-energi. Subsidi energi terdiri dari subsidi BBM dan subsidi listrik. Subsidi energi ini pada umumnya masih diutamakan. Transformasi antara subsidi BBM menjadi subsidi listrik jamak dilaksanakan dengan tujuan menghemat penggunaan BBM itu sendiri dan menaikkan kuantitas dan kualitas penggunaan listrik.

Jenis subsidi lainnya adalah subsidi non energi. Subsidi non energi ini didistribusikan ke dalam 10 jenis yaitu subsidi pangan, pupuk, benih, PSO, bunga kredit program, minyak goreng, pajak, kacang kedelai, obat generik dan lainnya. Subsidi non energi seringkali didominasi oleh subsidi pangan dan pupuk.

Secara umum, jumlah subsidi bersifat fluktuatif dikarenakan adanya perubahan keadaan ekonomi negara, adanya perbedaan urgensi pandangan pemerintah, serta adanya perubahan prioritas pengeluaran subsidi. Di beberapa Negara berkembang, subsidi merupakan prioritas dalam komposisi pengeluaran APBN secara kuantitatif.

Menilik implikasi yang dimunculkan oleh mekanisme subsidi, analisa dapat dilakukan melalui pendekatan interaksi pasar terbuka. Secara grafis, subsidi mempengaruhi demand dan supply pasar sebagaimana terlihat dari grafik di bawah ini

Secara teknis, subsidi dapat diberikan melalui produsen untuk mempengaruhi penawaran atau langsung kepada konsumen ahir untuk mempengaruhi permintaan. Grafik di atas menunjukkan bagaimana subsidi yang diberikan kepada produsen mempengaruhi penawaran. Keberadaan subsidi menjadikan tingkat harga produsen turun mengingat subsidi akan menjadi substitusi sebagian biaya produksi. Sebagai dampaknya, penawaran meningkat dan secara grafis bergeser dari kurva S menjadi kurva St, titik kesetimbangan pun bergeser dari kuantitas Qt naik menjadi Qs dan tingkat harga P2 turun menjadi P1. Secara real, subsidi meningkatkan daya jual produsen sekaligus daya beli konsumen.

B. Konsep dan Parameter Kesejahteraan Rakyat Indonesia

1. Human Development Index

Ketika mengukur tingkat perkembangan manusia dalam dimensi sosial maupun ekonomi diperlukan sebuah instrumen yang dalam proses perhitungannya turut memasukan unsur sosial dan ekonomi sebagai indikator yang menggambarkan keadaan suatu masyarakat atau negara. Instrumen tersebut juga dapat dijadikan sebuah alat perbandingan sehingga tingkat perkembangan manusia dalam suatu negara dapat dikomparasikan dengan negara lainnya. Berdasarkan hal itu, dibuatlah sebuah indeks yang disebut Human Development Index (HDI). HDI dinyatakan dengan nilai antara 0 hingga 1. Dalam proses perhitungannya HDI memasukan baik dimensi sosial dan ekonomi yang terbagi menjadi 3 dimensi yaitu, kesehatan (health), pendidikan (education), serta standar hidup (living standards). Dalam mengukur tiap-tiap dimensi yang ada, dibutuhkan indikator-indikator yang mencerminkan setiap dimensi. Dimensi kesehatan diukur melalui indikator angka harapan hidup saat lahir. Dimensi pendidikan diukur melalui angka melek huruf orang dewasa dan angka partisipasi kasar masyarakat yang mengenyam pendidikan. Dimensi standar hidup yang layak diukur melalui PDB real per kapita.

Perhitungan HDI dimulai dengan mengumpulkan data aktual terkait dengan indikator – indikator seperti angka harapan hidup saat lahir, angka melek huruf orang dewasa, dan angka partisipasi masyarakat dalam menempuh pendidikan. Data-data aktual tersebut merupakan gambaran dari dimensi-dimensi yang terdapat dalam HDI. Kemudian setelah mendapat data aktual dari indikator yang diinginkan perlu ditentukan pula nilai minimum dan maksimum untuk indikator tersebut.

Indikator

Nilai Maksimum

Nilai Minimum


Angka harapan hidup saat lahir (thn)

85

25


Angka melek huruf orang dewasa (%)

100

0


Angka partisipasi kasar gabungan (%)

100

0


PDB per kapita (PPP US$)

40000

100


Tabel diatas memaparkan nilai-nilai minimum dan maksimum dari indikator-indikator yang digunakan dalam HDI. Setelah menentukan nilai minimum dan maksimum, dapat dihitung indeks untuk setiap dimensi yang telah ditentukan. Rata-rata dari ketiga indeks dimensi itulah yang dijadikan nilai HDI untuk suatu negara.

United Nations Development Programme (UNDP) mengklasifikasikan 169 negara dalam ranking HDI sebagai tolak ukur tingkat perkembangan manusia di tiap-tiap negara. Peringkat HDI dikelompokkan kedalam 4 kelas berdasarkan tingg`i rendahnya nilai HDI suatu negara. Negara-negara dengan nilai HDI yang sangat tinggi diklasifikasikan kedalam kelompok very high human development yang selanjutnya diikuti oleh kelompok high human development, medium human development, dan low human development.

Sebagai salah satu instrumen yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat maka sangat penting untuk menganalisa tren atau pergerakan dari nilai HDI. Dengan memperhatikan tren HDI Indonesia serta membandingkannya dengan negara-negara lain maka tingkat perkembangan manusia di Indonesia dapat menjadi tolak ukur kesejahteraan rakyat Indonesia.

2. Tingkat Kemiskinan

PBB mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan pilihan dan mendapatkan peluang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dilihat dari sudut pandang sosial, kemiskinan merupakan keadaan dimana seseorang tidak mempunyai kapasitas untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat. Kemiskinan tidak hanya dilihat dari kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tetapi juga dari tidak adanya ketersediaan akses untuk berbagai fasilitas seperti sekolah dan rumah sakit. Seseorang yang hidup dalam kemiskinan sangat rentan pada kekerasan serta lingkungan yang tidak kondusif.

Tingkat kemiskinan suatu negara dipengaruhi salah satunya oleh pemerataan distribusi pendapatan negara yang belum optimal. Secara lebih jauh, distribusi pendapatan negara yang optimal dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dilihat dari tingkat kemiskinan yang turun dan kesenjangan pendapatan penduduk yang lebih merata.

Di tahun 1995, 117 negara mendeklarasikan serta berkomitmen untuk menghapuskan absolute poverty dan mengurangi overall poverty dalam World Summit on Social Development di Copenhagen. Sejak saat itu diperkenalkan konsep absolute dan overall poverty. Absolute poverty didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang memiliki kesulitan yang akut dalam memenuhi kebutuhannya akan kebutuhan dasar seperti makanan, air minum, fasilitas sanitasi, klinik kesehatan, pendidikan, serta informasi. Keadaan absolute poverty tidak hanya bergantung pada pendapatan (income) tetapi juga bergantung pada ketersediaan akses untuk barang dan jasa. Overall poverty dapat ditemukan dalam berbagai bentuk seperti kurangnya pendapatan dan sumber daya yang mendukung kehidupan yang berkelanjutan, adanya masyarakat yang tidak mempunyai tempat tinggal yang layak, kelaparan dan malnutrisi, serta adanya diskriminasi sosial. Overall poverty terjadi di setiap negara khususnya di negara-negara berkembang.

Berkaitan dengan konsep kemiskinan ada dua hal yang menjadi penyebab utama yaitu, pendapatan (income) dan daya beli seseorang (purchasing power). Untuk mengukur tingkat pendapatan dimana seseorang dikategorikan sebagai orang miskin maka diperlukan sebuah indikator yaitu garis kemiskinan (poverty line). Dalam indikator garis kemiskinan digunakan dua batasan yaitu 1 dollar amerika per hari atau 2 dollar amerika per hari. Selain pendapatan, kemiskinan juga disebabkan oleh rendahnya daya beli seseorang untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar. Walaupun pendapatan seseorang bertambah, bukan berarti daya beli orang tersebut juga bertambah, hal itu disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi daya beli seseorang seperti inflasi.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

  1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Di Indonesia, penelitian kualitatif dikenal sebagai penelitian naturalistik (Suharsimi, 2006: 10).

  1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini kurang lebih 4 bulan, yang dimulai tanggal 1 Maret 2011 sampai dengan 20 Agustus 2011. Waktu penelitian ini terbagi dalam tiga tahap.

1. Tahap pertama adalah tahap persiapan. Pada tahap persiapan, dilakukan penyusunan pendahuluan penelitian yang berkaitan dengan tema penelitan, rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian, sistematika penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.

2. Tahap kedua adalah tahap pelaksanaan penelitian. Pada tahap ini, peneliti menyusun objek penelitian, melaksanakan wawancara, dan melakukan riset untuk memperoleh data.

3. Tahap ketiga adalah tahap pembuatan laporan penelitian. Pada tahap ini, peneliti membuat laporan penelitian yang disusun berdasarkan kaidah penulisan ilmiah yang sistematis, dan dijabarkan dalam lima bab. Seetiap bab memiliki fungsi yang berbeda, namun berkedudukan membentuk satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

  1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian yang peneliti gunakan untuk penelitian ini adalah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

  1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pustaka

Teknik atau metode pustaka merupakan metode pengumpulan data dengan cara membaca atau mengambil bahan dari buku – buku referensi dan publikasi – publikasi ilmiah.

2. Wawancara (Interview)

Teknik wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari narasumber. Wawancara dilaksanakan dengan akademisi, pengamat ekonomi, dan peneliti lain yang telah berpengalaman di bidang ekonomi makro.

  1. Teknik Analisis Data

Data berupa besaran subsidi yang dialokasikan selama 10 tahun terakhir akan dianalisis berdasarkan analisis kurva penawaran dan permintaan pada pasar komoditas bahan bakar minyak. Data akan dianalisis pula berdasarkan pendekatan segregasi pengeluaran personal ke arah pendekatan agregat berdasarkan persamaan.

Y = S + C

Y = (So + MPS x Y) + (Co + MPC x Y)

Di mana:

Y: Pendapatan

S: Saving

C: Consumption

So: Autonomus Saving

Co: Autonomus Consumption

MPS: Marginal propensity to Save

MPC: Marginal propensity to Consume

Perolehan nilai konsumsi agregat tersebut kemudian akan dimasukkan ke dalam model produk domestik bruto dengan persamaan sebagai berikut.

Y = C + I + G + (X – M)

Y: Pendapatan nasional

C: Konsumsi sektor privat

G: Pengeluaran pemerintah

X: Nilai Ekspor

M: Nilai Impor

Pendapatan nasional kemudian akan dijadikan parameter penentuan pertumbuhan ekonomi sebagai parameter kesejahteraan masyarakat.

Mengingat parameter yang untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara subsidi sebagai variabel independen dengan pertumbuhan ekonomi sebagai parameter kesejahteraan masyarakat perlu dianalisi lebih jauh, maka akan diberlakukan analisis regresi linear sederhana sebagai berikut.

Y = a + bX

Keterangan:

Y : Konsumsi Sektor Privat

X : Alokasi Subsidi

b : Slope

a : Intersep

Untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara kedua skenario situasi, maka dilakukan uji t dengan rumus sebagai berikut.

Keterangan:

: Rata-rata sampel 1

: Rata-rata sampel 2

: Simpangan baku sampel 1

: Simpangan baku sampel 2

: Varians sampel 1

: Varians sampel 2

r : Koefisien korelasi antara dua populasi

Adapun rumusan r mengikuti rumusan berikut.

Adapun koefisien determinasi ditentukan berdasarkan rumusan r2.

BAB IV

ISI

A. Penerapan Kebijakan Subsidi di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir

Dalam anggaran belanja negara, subsidi bertujuan untuk mengendalikan harga komoditas yang disubsidi, meringankan beban masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasarnya, dan menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya kebutuhan dasar masyarakat, dengan harga terjangkau. Subsidi pun menyita alokasi anggaran belanja yang cukup besar dalam APBN. Pengalokasian anggaran subsidi tersebut oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, sekalipun jumlahnya mengalami peningkatan yang cukup besar, harus tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara. Alokasi anggaran subsidi yang semakin meningkat tersebut selain sejalan dengan perkembangan parameter yang mempengaruhi perhitungan subsidi, juga karena semakin luasnya sasaran maupun jenis subsidi. Dalam rentang waktu 2005–2008, realisasi anggaran belanja subsidi secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp207,1 triliun, atau tumbuh ratarata 39,5% per tahun. Kenaikan realisasi anggaran belanja subsidi yang cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (i) perubahan parameter yang digunakan dalam perhitungan subsidi; dan (ii) adanya kebijakan penambahan jenis subsidi, seperti subsidi minyak goreng, dan subsidi kedelai.

Secara khusus, realisasi anggaran subsidi energi, yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi listrik, dalam rentang waktu 2005–2008, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp164,3 triliun, atau tumbuh rata-rata 37,0% per tahun. Kenaikan realisasi subsidi energi yang cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (i) perubahan parameter dalam perhitungan subsidi energi, diantaranya ICP, nilai tukar rupiah, dan volume BBM bersubsidi; serta (ii) kebijakan penetapan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan tarif dasar listrik.

Lebih jauh lagi, selama kurun waktu 2005-2008, realisasi subsidi BBM secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp84,7 triliun, atau tumbuh rata-rata 23,6% per tahun. Kenaikan realisasi anggaran belanja subsidi yang cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan terus meningkatnya harga minyak mentah (crude oil) di pasar dunia, yang berdampak pada meningkatnya harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price, ICP). Dalam tahun 2008, harga rata-rata ICP diperkirakan mencapai US$127,2 per barel, naik 138,2% dibandingkan dengan realisasi rata-rata ICP dalam tahun 2005, yang hanya US$53,4 per barel.

Sementara itu, pada tahun 2008, realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan mencapai 39,9 juta kiloliter, jumlah ini berarti mengalami penurunan 19,8 juta kiloliter dibandingkan dengan realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi selama tahun 2005 sebesar 59,7 juta kiloliter. Di sisi lain, dalam periode yang sama, perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Dalam rangka mengurangi beban subsidi BBM, Pemerintah dan DPR sepakat untuk menurunkan alpha PT Pertamina dari 14,1% pada tahun 2006 menjadi 9,0% pada tahun 2008. Sedangkan, pada tahun 2005 subsidi BBM menggunakan sistem cost and fee sehingga tidak ada alpha.

Sejak awal telah disebutkan bahwa kebijakan subsidi BBM telah menjadi kontroversi dalam APBN Indonesia selama beberapa tahun terakhir mengingat fluktuasi kenaikan harga minyak dunia. Dengan pemberian subsidi berupa subsidi harga dapat menjadi pilihan yang buruk karena menimbulkan penyelundupan karena perbedaan harga, efek multiplier yang kurang dirasakan perekonomian secara keseluruhan karena subsidi ditujukan langsung kepada konsumen akhir bukannya produsen, alokasi subsidi yang tidak tepat sasaran serta ketidakpastian besaran yang disubsidi karena besarnya subsidi tersebut tergantung pada harga minyak internasional.

Penyelundupan yang terjadi mungkin dipicu oleh lebarnya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPH Migas, empat bulan pertama pada tahun 2011, BBM yang diselundupkan mencapai 10-15% dari total penjualan subsidi BBM sebesar 12,34 juta kiloliter. Jadi jumlah penyelendupan kurang lebih sebesar 1,23 juta kiloliter. Diasumsikan besarnya subsidi BBM per liter sebesar Rp 2.000, maka total subsidi yang dinikmati oleh para penyelundup sekaligus kerugian negara adalah sebesar 3,5 triliun rupiah. Akibat penyelewengan tersebut, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bisa melejit menjadi 41,4 juta kiloliter atau 7,5 % lebih tinggi dari kuota dalam APBN yang tahun ini dijatah sebesar 38,5 juta kiloliter.

Efek yang diterima oleh perekonomian secara keseluruhan juga tidak akan sebesar apabila subsidi diberikan dalam bentuk lain yang berhubungan secara langsung dengan para produsen. Hal ini karena produsen dapat menimbulkan efek multiplier yang lebih besar melalui komponen lain dalam perekonomian seperti wholesaler, dealer, dan retailer. Masing-masing dari komponen tersebut akan memberikan efek multiplier yang jika dikalkulasikan akan memberikan nilai yang lebih besar dibandingkan jika subsidi tersebut langsung diberikan kepada pengguna akhir, atau dalam hal ini konsumen. Hal ini sesuai dengan teori makroekonomi mengenai kebijakan publik.

Sedangkan untuk contoh alokasi yang tidak tepat sasaran, berdasarkan hasil penelitian yang diadakan oleh SUSENAS pada tahun 2007 terdapat indikasi bahwa subsidi BBM hanya dinikmati oleh 5,15 % masyarakat dengan pendapatan 20% terbawah di Indonesia. Ironisnya, 48,44% dari total subsidi dinikmati oleh masyarakat dengan pendapatan 20% ke atas.

Besarnya jumlah subsidi yang tidak dapat dipastikan juga menjadi salah satu kelemahan sistem subsidi harga BBM. Selama kurun waktu 2005–2008, telah dilakukan tiga kali penyesuaian harga BBM dalam negeri, yaitu pada bulan Maret dan bulan Oktober 2005, serta pada bulan Mei 2008. Penyesuaian harga BBM pada bulan Maret 2005 berkaitan dengan melonjaknya ICP sejak memasuki triwulan terakhir tahun 2004 dan terus belanjut sampai memasuki triwulan terakhir 2005, sehingga penyesuaian harga BBM dalam negeri harus dilakukan kembali pada bulan Oktober 2005. Selain kebijakan penyesuaian harga BBM, untuk mengurangi beban subsidi BBM, maka pada bulan Oktober 2005 juga dilakukan kebijakan pengurangan jenis BBM bersubsidi, dari semula 5 jenis (premium, kerosene, solar, minyak bakar, dan minyak diesel) menjadi 3 jenis (premium, kerosene, dan solar). Tidak jauh berbeda dengan tahun 2005, kebijakan penyesuaian harga BBM dalam negeri pada bulan Mei 2008 ditempuh juga karena melonjaknya harga minyak mentah dunia yang sempat menembus harga di atas US$120 per barel pada bulan Mei 2008, jauh di atas asumsi ICP yang ditetapkan dalam APBN 2008 sebesar US$60 per barel maupun APBN-P 2008 sebesar US$95 per barel.

Kenaikan harga minyak dunia menyebabkan gap harga BBM bersubsidi (asumsi tidak ada pembatasan subsidi BBM) dengan harga keekonomian terus meningkat. Hal ini tentu berdampak pada jumlah alokasi subsidi yang bertambah dalam APBN.

Statistik subsidi BBM dalam APBN (dalam miliyar rupiah)

Lebih penting lagi, perlu dicatat bahwa konsumsi BBM dari tahun ke tahun semakin meningkat melebihi kapasitas produksi dalam negeri yang semakin menurun dimana sebagian besar penggunaanya (80%) digunakan untuk transportasi. Hal ini relevan dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat dari tahun 2006 sampai 2010. Kenaikan ini diindikasikan akibat harga BBM bersubsidi yang terlalu murah sehingga menjadikan insentif bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan penggunaan transportasi umum yang notabene-nya menghabiskan lebih banyak dana.

Statistika produksi dan konsumsi minyak Indonesia

Implikasi penting dari fakta tersebut, pengurangan subsidi BBM akan memberikan dampak positif terhadap perbaikan distribusi pendapatan, terlepas dari bagaimana penghematan BBM digunakan. Kebijakan Pemerintah menetapkan dana penghematan BBM yang bersumber dari pengurangan subsidi BBM dialokasikan kepada pos bantuan sosial dan infrastruktur sehingga benefitnya dapat dinikmati oleh keluarga miskin. Sebagai contoh, penghematan anggaran sebagai akibat pencabutan subsidi BBM pada Maret dan Oktober 2005 terutama digunakan untuk program proteksi keluarga miskin dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Dampak penyesuaian harga BBM tahun 2005 memungkinkan Pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan dari Rp74,4 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp119,5 triliun pada tahun 2006, sebesar Rp136,6 triliun pada tahun 2007, dan terus meningkat menjadi Rp154,2 triliun dalam tahun 2008, dimana sebagian besar digunakan untuk program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Anggaran sektor kesehatan melalui pembiayaan program Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin juga mengalami peningkatan yang signifikan. Selan itu, dana penghematan dari penyesuaian harga BBM pada bulan Mei 2008 digunakan untuk memproteksi keluarga miskin dari gejolak pangan global. Penyesuaian ini seperti halnya dengan subsidi BBM, pada saat ini subsidi listrik diberikan dengan tujuan agar harga jual listrik dapat terjangkau oleh pelanggan dengan golongan tarif tertentu, yang rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL)-nya lebih rendah dari biaya pokok produksi (BPP) tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut.

Dalam rentang waktu yang sama, realisasi subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp79,6 triliun, atau tumbuh rata-rata 115,4 persen per tahun, dari sebesar Rp8,9 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi Rp88,4 triliun (1,9 persen terhadap PDB) pada tahun 2008. Kenaikan realisasi belanja subsidi listrik yang sangat signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (i) naiknya biaya produksi listrik sebagai dampak dari lebih tingginya ICP; dan (ii) lebih tingginya penjualan tenaga listrik yang mencapai 124.253 GWh pada perkiraan realisasi 2008, dibandingkan penjualan tenaga listrik dalam tahun 2005 sebesar 107.032 GWh. Namun demikian, pemberian subsidi listrik tersebut masih dinikmati oleh kelompok pelanggan rumahtangga terutama di Jawa dan Bali. Walaupun Pemerintah sedang berupaya menurunkan biaya produksi listrik dengan menggantikan pembangkit BBM dengan pembangkit non-BBM, pola distribusi subsidi listrik tidak banyak berubah, kecuali besar subsidi yang menurun. Dampak negatif dari subsidi listrik hanya bisa dilakukan dengan rasionalisasi dan penyederhanaan tarif dengan mengembalikan filosofi pemberian subsidi listrik hanya untuk rumah tangga berpenghasilan rendah.

Realisasi subsidi non-energi dalam rentang waktu 2005–2008 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp42,8 triliun, atau tumbuh rata-rata 53,6 persen per tahun, dari sebesar Rp16,3 triliun (0,6 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp59,1 triliun (1,3 persen terhadap PDB) pada tahun 2008. Kenaikan realisasi subsidi non-energi yang sangat signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (i) perubahan parameter dalam perhitungan subsidi; serta (ii) adanya kebijakan penambahan jenis subsidi, seperti subsidi minyak goreng, dan subsidi kedelai. Subsidi non-energi tersebut, dalam APBN-P 2008, selain menampung alokasi anggaran untuk subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi dalam rangka PSO, subsidi bunga kredit program, memungkinkan Pemerintah untuk mempertahankan harga penjualan raskin, tetap Rp1.600,0/kg, walaupun harga pembelian beras pemerintah (HPP) meningkat menjadi Rp4.300,0/kg. Dana tersebut juga digunakan untuk menambah alokasi raskin dari 10 kg/rumah tangga sasaran (RTS)/bulan menjadi 15 kg/RTS/bulan, dan menambah durasi penjualan Raskin dari 10 bulan menjadi 12 bulan. Dengan kebijakan realokasi subsidi BBM tersebut, APBN telah berfungsi sebagai instrumen fiskal untuk tujuan redistribusi pendapatan secara efektif.

Perkembangan realisasi subsidi pangan, selama kurun waktu 2005 – 2008, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp5,6 triliun atau tumbuh rata-rata 23,5 persen per tahun, dari sebesar Rp6,4 triliun (0,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 dan diperkirakan mencapai Rp12,0 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada tahun 2008. Kenaikan realisasi subsidi pangan yang sangat signifikan tersebut terkait dengan: (i) makin tingginya kuantum raskin yang dijual, dari sebesar 2,0 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,3 juta ton pada tahun 2008; dan (ii) makin tingginya subsidi harga raskin.

Selanjutnya, dalam rangka mendukung program revitalisasi pertanian, dalam kurun waktu 2005 – 2008, perkembangan realisasi subsidi pupuk, selama kurun waktu 2005 – 2008, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp12,7 triliun atau tumbuh rata-rata 81,8 persen per tahun, dari sebesar Rp2,5 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi Rp15,2 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada tahun 2008. Kenaikan realisasi subsidi pupuk yang sangat signifikan dalam periode tersebut berkaitan dengan: (i) meningkatnya kebutuhan pupuk bersubsidi dari 5,7 juta ton pada tahun 2005 menjadi 7,0 juta ton pada tahun 2008, dan (ii) makin besarnya subsidi harga pupuk (selisih antara harga pokok produksi(HPP) dengan harga eceran tertinggi (HET)) (lihat Tabel IV.7). Lebih jauh lagi, peningkatan kebutuhan pupuk bersubsidi tersebut sejalan dengan upaya untuk mendukung program peningkatan produksi beras menjadi 2 juta ton.

Perbedaan harga pupuk dan harga ekonominya memberikan dampak yang serius, baik dari sisi efisiensi maupun distribusi pendapatan. Dari sisi efisiensi, subsidi telah mendorong penggunaan pupuk yang berlebihan, sehingga konsumsi pupuk naik lebih besar dari produksi pertanian. Hal ini dapat ditunjukkan secara sederhana dari peningkatan rasio konsumsi pupuk terhadap nilai tambah bruto pertanian pangan. Berdasarkan Sensus Ekonomi 2003, kepemilikan tanah pertanian pangan makin timpang, sehingga diperkirakan bahwa sebagian besar subsidi dinikmati oleh petani pemilik tanah, yang sebagian besar bukan keluarga miskin. Akibatnya, peningkatan subsidi pupuk akan memperburuk distribusi pendapatan. Pemerintah sesuai dengan mandat dari DPR, saat ini sedang mengkaji upaya untuk memperbaiki mekanisme pemberian subsidi pertanian (termasuk subsidi pupuk) untuk mendorong peningkatan produksi sekaligus memperbaiki dampak distribusi pendapatan dengan memastikan agar mekanisme baru dapat mencapai keluarga sasaran (keluarga miskin).

Selain subsidi pupuk, dalam upaya memberi dukungan kepada program revitalisasi pertanian, melalui APBN juga dialokasikan subsidi benih untuk pertanian dan perikanan, yang disalurkan antara lain melalui PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kelautan dan Perikanan. Subsidi benih tersebut ditujukan untuk menyediakan benih ikan, padi, jagung, dan kedelai, termasuk di dalamnya benih ikan budidaya, guna meningkatkan kualitas penyediaan benih bersubsidi bagi petani. Dalam kurun waktu 2005 – 2008, realisasi subsidi benih secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp0,9 triliun atau tumbuh rata-rata 90,5 persen per tahun, dari sebesar Rp0,1 triliun pada tahun 2005 dan diperkirakan mencapai Rp1,0 triliun pada tahun 2008.

Dalam kurun waktu yang sama, perkembangan realisasi subsidi bunga kredit program secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp3,0 triliun atau tumbuh rata-rata 177,8 persen per tahun, dari sebesar Rp0,1 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp3,2 triliun (0,1 persen terhadap PDB) sesuai perkiraan pada tahun 2008. Kenaikan realisasi subsidi bunga kredit program yang sangat signifikan dalam kurun waktu tersebut, selain dipengaruhi oleh perkembangan suku bunga SBI 3 bulan, juga ditentukan oleh besarnya outstanding kredit program, baik yang berasal dari skim kredit eks kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI), kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh), maupun kredit ketahanan pangan (KKP), termasuk risk sharing KKP. Selain itu, peningkatan realisasi subsidi bunga kredit program pada tahun 2007 juga terkait dengan pengembangan energi nabati (bio fuel) dan revitalisasi perkebunan (KPEN-RP). Sedangkan peningkatan alokasi anggaran subsidi bunga kredit program yang sangat signifikan pada tahun 2008 berkaitan terutama dengan kebijakan pemerintah untuk menggerakkan roda perekonomian, melalui pemberian jaminan atas pinjaman yang dilakukan oleh UMKM.

Alokasi subsidi/bantuan juga diberikan dalam rangka penugasan kepada BUMN untuk menyelenggarakan pelayanan publik (public service obligation/PSO) sedemikian rupa sehingga harga jual pelayanan yang diberikan dapat terjangkau masyarakat. Dalam kurun waktu 2005 – 2008, realisasi subsidi/bantuan dalam rangka PSO secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp0,8 triliun atau tumbuh rata-rata 22,8 persen per tahun.

Selain berbagai jenis subsidi tersebut, anggaran subsidi juga dialokasikan untuk pajak ditanggung pemerintah (DTP). Perkembangan realisasi subsidi pajak DTP ini sangat tergantung kepada jenis komoditi yang diberikan fasilitas pajak dalam bentuk pajak ditanggung pemerintah. Dalam kurun waktu 2005 – 2008, perkembangan realisasi subsidi pajak DTP secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp18,8 triliun atau tumbuh dengan rata-rata 59,2 persen per tahun. Kenaikan realisasi subsidi pajak DTP yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2007 karena kebijakan pemerintah untuk menanggung pajak atas sektor-sektor yang strategis, yaitu pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi. Sementara itu, kenaikan subsidi pajak pada tahun 2008 berkaitan dengan program stabilisasi harga barang-barang kebutuhan pokok yang sangat strategis, sebagai dampak dari kenaikan harga minyak mentah dunia maupun harga pangan dunia.

Tabel Perkembangan Subsidi 2005-2008

dalam triliun rupiah


Uraian

2005

2006

2007

2008


Realisasi

% thdp PDB

Realisasi

% thdp PDB

Realisasi

% thdp PDB

Realisasi

% thdp PDB


I. Subsidi Energi

1. Subsidi BBM

2. Subsidi Listrik

104.4

95.6

8.9

3.8

3.4

0.3

94.6

64.2

30.4

2.8

1.9

0.9

116.9

83.8

33.1

3.0

2.1

0.8

268.7

180.3

88.4

5.7

3.9

1.9


II. Subsidi Non Energi

1. Subsidi Pangan

2. Subsidi Pupuk

3. Subsidi Benih

4. PSO

5. Kredit Program

6. Subsidi Minyak Goreng

7. Subsidi Kedelai

8. Subsidi Pajak

9. Subsidi Lainnya

16.3

6.4

2.5

0.1

0.9

0.1

-

-

6.2

-

0.6

0.2

0.1

0.0

0.0

0.0

-

-

0.2

-

12.8

5.3

3.2

0.1

1.8

0.3

-

-

1.9

0.3

0.4

0.4

0.1

0.0

0.1

0.0

-

-

0.1

0.0

33.3

6.6

6.3

0.5

1.0

0.3

0.0

-

17.1

1.5

0.8

0.2

0.2

0.0

0.0

0.0

0.0

-

0.4

0.0

59.1

12.0

15.2

1.0

1.7

3.2

0.5

0.5

25.0

-

1.3

0.3

0.3

0.0

0.0

0.1

0.0

0.0

0.5

-


Jumlah

120.8

4.3

107.4

3.2

150.2

3.8

327.8

7.0


B. Efektivitas Penerapan Subsidi di Indonesia

Sebuah kebijakan akan dapat dinyatakan sebagai sebuah kebijakan yang ideal bilamana kebijakan tersebut dapat memenuhi hakikatnya sebagai alat kekuasaan, yakni mampu mencapai tujuan bersesuaian yang ditetapkan oleh otoritas sebagai bagian dari proses pemerintahan atau kekuasaan. Secara khusus, mengingat kebijakan subsidi merupakan kebijakan yang berkaitan erat dengan sektor perekonomian dan kesejahteraan umum, maka dapat diperhatikan bahasanya parameter tujuan yang relevan adalah parameter – parameter ekonomi makro yang sering dikategorikan kepada empat indikator, nilai Produk Domestik Bruto (PDB), laju inflasi, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan.

Untuk mengetahui signifikansi dan efektivitas penerapan kebijakan subsidi di dalam mewujudkan target indikator perekonomian makro yang ditetapkan bersama oleh pemerintah pusat dan DPR, maka diperlukan adanya langkah – langkah inferensial untuk menentukan pola keumuman dari pengaruh kebijakan subsidi. Secara kuantitatif, hal tersebut sama artinya dengan menentukan fungsi indikator ekonomi makro sebagai variabel endogen terhadap nominal alokasi kebijakan subsidi di masing – masing sektor, BBM, listrik, dan non energi, sebagai variabel eksogen. Adapun fungsi tersebut dapat dilakukan dengan metode regresi linear multivariat berdasarkan prinsip Ordinary Least Squares (OLS) (rincian perhitungan berada di bagian Lampiran).

Berikut merupakan persamaan regresi yang diperoleh dari masing – masing variabel.

PDB* = 1.991.713 - 10.725,52 BBM + 6.682,04 Lst + 86.279,67 Ner

Inf* = 2,811419 + 0,136622 BBM - 0,121202 Lst - 0,024735 Ner

Unp* = 9,479218 + 0,029772 BBM - 0,036678 Lst - 0,040117 Ner

Pov* = 18,178186 + 0,004917 BBM + 0,038822 Lst - 0,134279 Ner

Adapun masing – masing berketerangan sebagai berikut.

PDB : Estimasi Produk Domestik Bruto (Milliar Rupiah dalam tahun berjalan)

Inf : Estimasi Laju inflasi tahunan (%)

Unp : Estimasi Tingkat pengangguran tahunan (%)

Pov : Estimasi Tingkat kemiskinan tahunan (%)

BBM : Nominal alokasi subsidi BBM (Trilliun Rupiah)

Lst : Nominal alokasi subsidi Listrik (Trilliun Rupiah)

Ner : Nominal alokasi subsidi Non Energi (Trilliun Rupiah)

Persamaan regresi yang dicantumkan di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut.

a. Variabel PDB

Alokasi nominal subsidi BBM berbanding terbalik dengan estimasi nilai PDB, sementara alokasi subsidi listrik dan subsidi non energi berbanding lurus. Untuk penambahan setiap satu trilliun rupiah yang dibelanjakan pemerintah sebagai pengeluaran subsidi maka estimasi nilai PDB akan berubah masing – masing turun sebesar 10,72552 trilliun rupiah untuk subsidi BBM, naik sebesar 6,68204 trilliun rupiah untuk subsidi listrik, dan naik sebesar 86,27967 trilliun rupiah untuk subsidi non energi. Nilai tersebut menunjukkan bahwa di dalam meningkatkan estimasi PDB, alokasi subsidi non energi merupakan yang paling efektif sementara alokasi subsidi BBM merupakan yang paling inefektif, bahkan kontraproduktif. Adapun nilai 1.991,713 trilliun rupiah merupakan besaran autonomus yang menunjukkan estimasi nilai PDB yang dipengaruhi oleh variabel – variabel di luar alokasi subsidi. Atau dalam kata lain nilai tersebut adalah nilai PDB yang diestimasikan ketika seluruh alokasi subsidi bernilai nol.

b. Variabel Inflasi

Alokasi nominal subsidi BBM berbanding lurus dengan estimasi laju inflasi, sementara alokasi subsidi listrik dan subsidi non energi berbanding terbalik. Untuk penambahan setiap satu trilliun rupiah yang dibelanjakan pemerintah sebagai pengeluaran subsidi maka estimasi laju inflasi akan berubah masing – masing naik sebesar 0,13662 persen untuk subsidi BBM, turun sebesar 0,121202 persen untuk subsidi listrik, dan turun sebesar 0,024735 persen untuk subsidi non energi. Nilai tersebut menunjukkan bahwa di dalam menahan estimasi laju inflasi, alokasi subsidi listrik merupakan yang paling efektif sementara alokasi subsidi BBM merupakan yang paling inefektif, bahkan kontraproduktif. Adapun nilai 2,811419 persen merupakan besaran autonomus yang menunjukkan estimasi laju inflasi yang dipengaruhi oleh variabel – variabel di luar alokasi subsidi. Atau dalam kata lain nilai tersebut adalah laju inflasi yang diestimasikan ketika seluruh alokasi subsidi bernilai nol.

c. Variabel Tingkat Pengangguran

Alokasi nominal subsidi BBM berbanding lurus dengan estimasi tingkat pengangguran, sementara alokasi subsidi listrik dan subsidi non energi berbanding terbalik. Untuk penambahan setiap satu trilliun rupiah yang dibelanjakan pemerintah sebagai pengeluaran subsidi maka estimasi tingkat pengangguran akan berubah masing – masing naik sebesar 0,029772 persen untuk subsidi BBM, turun sebesar 0,036678 persen untuk subsidi listrik, dan turun sebesar 0,040117 persen untuk subsidi non energi. Nilai tersebut menunjukkan bahwa di dalam menekan estimasi tingkat pengangguran, alokasi subsidi non energi merupakan yang paling efektif sementara alokasi subsidi BBM merupakan yang paling inefektif, bahkan kontraproduktif. Adapun nilai 9,479218 persen merupakan besaran autonomus yang menunjukkan estimasi tingkat pengangguran yang dipengaruhi oleh variabel – variabel di luar alokasi subsidi. Atau dalam kata lain nilai tersebut adalah tingkat pengangguran yang diestimasikan ketika seluruh alokasi subsidi bernilai nol.

d. Variabel Tingkat Kemiskinan

Alokasi nominal subsidi BBM dan listrik berbanding lurus dengan estimasi tingkat kemiskinan, sementara alokasi subsidi non energi berbanding terbalik. Untuk penambahan setiap satu trilliun rupiah yang dibelanjakan pemerintah sebagai pengeluaran subsidi maka estimasi tingkat kemiskinan akan berubah masing – masing naik sebesar 0,004917 persen untuk subsidi BBM, naik sebesar 0,038822 persen untuk subsidi listrik, dan turun sebesar 0,134279 persen untuk subsidi non energi. Nilai tersebut menunjukkan bahwa di dalam menekan estimasi tingkat kemiskinan, alokasi subsidi non energi merupakan yang paling efektif sementara alokasi subsidi listrik merupakan yang paling inefektif, bahkan kontraproduktif. Adapun nilai 18,178186 persen merupakan besaran autonomus yang menunjukkan estimasi tingkat kemiskinan yang dipengaruhi oleh variabel – variabel di luar alokasi subsidi. Atau dalam kata lain nilai tersebut adalah tingkat kemiskinan yang diestimasikan ketika seluruh alokasi subsidi bernilai nol.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diamati pola keumuman pengaruh masing – masing jenis subsidi terhadap parameter ekonomi makro yang dijadikan indikator efektivitas kebijakan tersebut. Subsidi listrik, secara inferensial, merupakan jenis subsidi yang memiliki dua sisi yang berlainan, yakni bersesuaian dengan pencapaian target PDB, laju inflasi, dan tingkat pengangguran, akan tetapi kontraproduktif dengan arah penekanan tingkat kemiskinan. Keumuman ini terjadi tidak terlepas dari hakikat listrik sebagai salah satu sumber daya energi yang paling esensial di dalam kegiatan perekonomian. Di sisi PDB, keberadaan subsidi listrik paling tidak memberikan insentif bagi masyarakat berkemampuan menengah ke bawah untuk meningkatkan konsumsi agregat yang dimilikinya. Pengaruh terhadap golongan konsumen yang demikian diekspektasikan cukup besar, mengingat secara umum golongan masyarakat ini memiliki pola permintaan yang cenderung elastis. Maka subsidi listrik, yang secara real dihadapi masyarakat dalam bentuk pengurangan harga, merupakan booster yang cukup baik di dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, subsidi listrik tentu saja turut mempengaruhi pula tingkat produksi barang dalam negeri, khususnya di sektor produksi mikro, kecil, dan mengengah, sehingga meningkatkan nominal barang yang akan diekspor, dan pada akhirnya meningkatkan pula ekspor netto.

Mengenai pengaruh subsidi listrik terhadap laju inflasi, hal tersebut dapat terjadi mengingat tingkat harga listrik yang tidak fluktuatif (berkat keberadaan subsidi) merupakan satu faktor penting untuk menjaga stabilitas tingkat harga seluruh barang dan jasa yang memanfaatkan energi listrik sebagai faktor produksinya. Adapaun dari sisi tingkat pengangguran, subsidi listrik dapat memunculkan manfaat sebab bagi golongan produsen, ‘disubstitusikannya’ sebagian beban faktor produksi oleh peran pemerintah memunculkan ‘excess’ sumber daya yang dapat dialokasikan untuk menghadirkan faktor produksi yang lain, tenaga kerja dalam hal ini. Secara implikatif, hal tersebut tentu saja berdampak kepada peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja secara nasional.

Secara khusus, terdapat dua karakter yang menjadikan listrik sebagai komoditas yang produktif ketika disubsidi. Pertama, secara umum listrik dikonsumsi dengan tingkat efisiensi ekonomi yang tinggi. Efisiensi ekonomi tersebut bermakna bahwa setiap proporsi sumber daya listrik dimanfaatkan untuk menjalankan kegiatan kerja yang produktif, atau jika pun dipergunakan untuk kegiatan konsumsi yang bersifat leisure, maka kegiatan ekonomi tersebut secara umum meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Di dalam kata lain, hampir tidak ada sumber daya listrik yang ‘dibuang percuma’. Kedua, PLN selaku distributor berhasil menciptakan segregasi pasar dan diferensiasi harga yang tegas. Pemisahan kalangan rumah tangga kecil (berdaya listrik 450 – 900 VA) dengan kalangan rumah tangga menengah dan industri atas memastikan bahwa subsidi listrik hanya akan diberikan kepada mereka yang berhak. Hanya kalangan masyarakat yang memerlukan stimulus subsidi yang akan memperoleh subsidi, sementara kalangan masyarakat yang memiliki tingkat permintaan yang cenderung lebih inelastis akan memperoleh proporsi subsidi yang lebih kecil dan meleburkan diri ke dalam mekanisme pasar. Secara umum, keberhasilan dan efektivitas subsidi listrik dapat diwujudkan sebab dikelola secara berdaya guna, berdasarkan mekanisme yang komprehensif, dan berlandaskan pemikiran yang cermat.

Berbicara mengenai subsidi non energi, diketemukan bahwa subsidi ini memiliki pengaruh yang bersesuaian dengan keseluruhan tujuan ekonomi makro, baik dari sisi PDB, laju inflasi, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan. Hal ini tidak terlepas dari hakikat subsidi non energi sendiri yang dibagi atas subsidi pangan, pupuk, benih, pajak dan Public Service Obligation (PSO). Pemberian subsidi non energi kepada golongan konsumen dan komoditas yang spesifik dan terarah merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan subsidi non energi. Di samping dua karakter yang dimiliki sebagaimana dimiliki subsidi listrik, subsidi non energi memiliki karakter lain di mana subsidi non energi secara umum memiliki eksternalitas yang bersifat positif. Keberadaan subsidi di dalam pelayanan publik/ PSO sebagai contoh, merupakan usaha perbaikan penyelenggaraan kekuasaan dan peningkatan utilitas publik, sehingga masing – masing pelaku ekonomi mendapat dampak psikologis berupa adanya dukungan dan usaha sinergisasi antar pelaku yang digalang melalui dilaksanakannya pelayanan publik yang prima oleh pemerintah. Oleh karena itu, maka kemudian tinggal masalah penyesuaian saja hingga kemudian keseluruhan pelaku ekonomi saling mengintegrasikan diri untuk membentuk kerangka perekonomian yang cenderung solid. Utilisasi dan kecermatan penyusunan mekanisme, sekali lagi menjadi prasyarat mutlak pencapaian kebijakan ini.

C. Mekanisme Ideal Penerapan Kebijakan Subsidi di Indonesia

Sebelum masuk pada pemaparan mengenai kebijakan subsidi yang ideal serta kebijakan alternatif yang dapat diambil sebagai pengganti peniadaan subsidi perlu adanya perbandingan kebijakan subsidi di negara-negara lain. Minyak bumi, gas bumi, batubara, dan listrik menjadi empat sumber daya energi utama yang disubsidi oleh pemerintah. Menurut data yang diperoleh dari IEA pada tahun 2008, Iran menjadi negara non-OECD yang paling besar mengeluarkan biaya untuk subsidi yaitu sekitar 55 miliar dolar sedangkan Indonesia mengeluarkan biaya sekitar 20 miliar dolar dimana sebagian besar diperuntukan untuk subsidi bahan bakar minyak. Penerapan kebijakan subsidi di negara lain dapat menjadi tolak ukur bagi Indonesia guna mengukur tingkat efektifitas kebijakan subsidi sehingga penting untuk melakukan perbandingan diantara negara-negara yang menerapkan kebijakan subsidi. Selain Iran, negara-negara tersebut antara lain adalah Brazil serta India.

Penerapan Kebijakan Subsidi Minyak di Brazil

Penerapan kebijakan subsidi bahan bakar di Brazil dimulai pada tahun 1930 dimana pada tahun tersebut terjadi revolusi industri. Guna mendorong proses pertumbuhan industri dan pengembangan sistem energi nasional dibutuhkan sumber daya energi yang murah dan suplai yang berlimpah. Kemudian kebijakan subsidi mulai diperkenalkan dengan cara memberikan soft financing untuk pembangunan infrastruktur energi. Pada tahun 1950 terjadi peningkatan konsumsi energi di Brazil yang didorong oleh proses industrialisasi dan urbanisasi penduduk. Sistem subsidi silang untuk energi diperkenalkan pada tahun 1960an dan mulai diimplementasikan ke berbagai daerah di Brazil. Sistem subsidi silang ini ditujukan untuk mengurangi kesenjangan harga bahan bakar minyak yang terjadi di Brazil sehingga akses penduduk terhadap energi terpenuhi. Subsidi untuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang sering digunakan oleh penduduk untuk memasak juga mulai diterapkan khususnya di daerah penduduk yang kekurangan kayu bakar untuk keperluan memasak. Kebijakan pemerintah untuk memasang harga LPG dibawah harga opportunity-cost berdampak kepada penurunan konsumsi kayu bakar dan batubara yang secara tidak langsung mengurangi tingkat deforestasi di Brazil. Kenaikan harga minyak dunia pada era 1970-1980 mengakibatkan kenaikan biaya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah Brazil. Pada era tersebut Brazil mengimpor 80 persen dari total konsumsi minyak domestiknya. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta industrialisasi pemerintah Brazil mulai memperkenalkan sistem subsidi baru dimana bensin dijual diatas import-parity price­ dan pendapatan yang diperoleh dijadikan untuk pembiayaan subsidi silang kepada produk minyak bumi lainnya.

Mulai pada tahun 1990an hingga kini Brazil melakukan proses liberalisasi serta privatisasi di sektor energi guna meningkatkan tingkat kompetisi serta meningkatkan efisiensi ekonomi. Hal ini berarti pemerintah akan mencabut kebijakan subsidi yang berdampak pada naiknya pendapatan pemerintah. Meningkatnya tingkat kompetisi diharapkan mampu mengurangi biaya serta menyediakan informasi harga yang lebih akurat bagi konsumen dan secara tidak langsung mendorong penghematan serta efisiensi energi. Dalam mencapai tujuan tersebut pemerintah Brazil secara bertahap mulai mencabut kebijakan subsidi. Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, pemerintah berjanji bahwa proses privatisasi serta liberalisasi akan menurunkan harga energi dan meningkatkan pelayanan energi. Pada kenyataannya, proses liberalisasi membuat perusahaan minyak internasional untuk memulai kegiatan eksplorasi dan produksi di Brazil sehingga membuat produksi dan cadangan minyak Brazil meningkat secara stabil. Lebih jauh, pendapatan pemerintah dari minyak bumi juga turut meningkat. Namun impor minyak Brazil pada tahun 1999 menyumbang angka 15 persen dari total defisit pada tahun tersebut.

Kemenangan partai oposisi pada pemilu 2002 membuat rencana pemerintah sebelumnya untuk mereformasi sistem energi terhenti. Keadaan surplus yang dialami Brazil dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membuat regulasi subsidi baru yang lebih efektif dimana diberlakukan kebijakan subsidi silang dari power generators kepada perusahaan distributor listrik.

Dari gambaran singkat mengenai kebijakan subsidi yang diterapkan di Brazil dapat ditarik kesimpulan bahwa subsidi energi dapat berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara seperti yang dialami Brazil pada tahun 1980an. Meskipun dalam short-term­ kebijakan subsidi bahan bakar minyak dapat bertindak sebagai economic stimulus dan membantu mendistribusi income namun dalam ­long-term biaya yang dikeluarkan untuk subsidi akan meningkat mengikuti kenaikan harga minyak dunia.

Penerapan Kebijakan Subsidi Minyak di India

Data IEA pada tahun 2008 menunjukan bahwa India termasuk kedalam 10 negara non-OECD yang paling banyak mengeluarkan biaya untuk membiayai subsidi energi di negaranya. Sebagian besar subsidi energi India digunakan untuk minyak serta turunannya seperti bensin, kerosin, dan LPG. Penerapan kebijakan subsidi di India dirintis oleh pemerintah pada tahun 1939 dimana pada saat itu perusahaan minyak milik negara mulai memberlakukan harga minyak domestik sesuai dengan harga import-parity. Selain subsidi minyak, pemerintah India juga memberlakukan subsidi untuk makanan sebagai salah satu tindakan price control. Regulasi untuk harga bahan bakar kemudian ditetapkan pada tahun 1948. Pada akhir tahun 1960 subsidi LPG mulai diperkenalkan untuk mendorong masyarakat menggunakan bahan bakar yang lebih higienis ketimbang biomass.

Pada tahun 1976 hingga 2002 diberlakukan sebuah sistem Administrative Pricing Mechanism (APM) oleh pemerintah untuk membuat harga produk-produk turunan petroleum tetap statis. Kerosin dan LPG sebagai salah satu produk turunan petroleum mendapat subsidi silang dari produk petroleum lain seperti diesel dan produk lain yang memiliki harga lebih tinggi. Sistem APM kemudian dicabut oleh pemerintah pada tahun 2002 sehingga memberikan ruang lebih kepada perusahaan minyak untuk menjual produk mereka. Pemerintah juga berjanji akan menghapuskan kebijakan subsidi kerosin dan LPG tiga tahun setelah pencabutan sistem APM. Namun akibat kenaikan harga minyak mentah dunia pada tahun 2003 pemerintah kembali melakukan intervensi terhadap harga minyak domestik, subsidi terhadap kerosin dan LPG masih terus dilakukan. Perusahaan minyak milik negara menjual bensin dan diesel dibawah biaya produksi sehingga membuat perusahaan tersebut mengalami kerugian besar. Biaya subsidi pemerintah membengkak lebih dari 100 persen pada periode 2005 hingga 2006 dan pada periode 2008 hingga 2009 akibat dari tidak dinaikannya harga kerosin, LPG, bensin, dan diesel mengikuti kenaikan harga minyak global.

Penelitian pada tahun 2005 menunjukan bahwa terdapat 38 persen dari kerosin yang disubsidi oleh pemerintah diperdagangkan secara ilegal melalui mekanisme black market bahkan di beberapa daerah penyelundupan kerosin bersubsidi mencapai 50 persen. Penyelundupan kerosin bersubsidi yang diperuntukan bagi masyarakat membuat akses kepada kerosin bersubsidi menjadi sulit dan membuat kerosin menjadi langka. Pada tahun 2004 terjadi kasus korupsi terkait dengan kerosin bersubsidi. Seperti halnya subsidi untuk kerosin, subsidi untuk LPG juga rawan terhadap penyelundupan dan tindak korupsi. Dalam kasus subsidi LPG, terdapat perbedaan besar antara harga LPG untuk pasar rumah tangga dan untuk pasar komersil serta transportasi sehingga turut mendorong terjadinya penyelundupan dan mekanisme black market. Pemerintah berupaya untuk mengurangi subsidi terhadap LPG dan menentukan harga jual LPG sesuai dengan mekanisme pasar namun hal ini akan menghasilkan political cost yang besar.

Guna menanggulangi berbagai permasalahan yang timbul akibat subsidi kerosin dan LPG maka pemerintah melakukan berbagai tindakan seperti memasang Global Positioning System (GPS) pada angkutan pembawa bahan bakar bersubsidi, menandai bahan bakar bersubsidi dengan pewarna, menggunakan sistem kupon hingga diberlakukannya sistem smart card. Selain berbagai macam tindakan tersebut pemerintah juga berupaya untuk melakukan liberalisasi terhadap harga petroleum dengan memberi kebebasan kepada perusahaan minyak untuk menjual produk mereka sesuai dengan harga pasar. Alternatif lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan menerapkan diversifikasi energi dimana suatu penelitian oleh National Sample Survey Organization menunjukan bahwa kerosin bersubsidi lebih banyak digunakan untuk keperluan listrik rumah tangga dibandingkan untuk keperluan memasak, untuk itu memberdayagunakan energi listrik dapat menjadi jalan keluar.

Melihat kebijakan subsidi yang diterapkan oleh pemerintah India dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan subsidi yang pada awalnya ditujukan untuk mendorong masyarakat menggunakan suatu barang dapat berujung pada sulitnya subsidi tersebut dikurangi atau dihapuskan sehingga sifatnya menjadi permanen. Lebih jauh, kebijakan subsidi juga dapat berdampak pada tindakan penyimpangan seperti penyelundupan maupun tindak korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Kebijakan Subsidi Energi di Iran

Menurut sumber IEA pada tahun 2008, Iran merupakan negara non-OECD dengan subsidi energi terbesar mencapai hampir 55 miliar dolar dimana lebih dari 35 miliar dolar digunakan untuk mensubsidi minyak. Kebijakan subsidi yang ditujukan untuk membantu para veteran perang mulai diberlakukan semenjak berakhirnya perang antara Iran dan Irak pada tahun 1988 bersamaan dengan program subsidi pemerintah lainnya, sejak saat itu kebijakan subsidi menjadi hal penting bagi perekonomian serta anggaran belanja pemerintah Iran. Subsidi energi Iran terus meningkat dari tahun 1994 hingga tahun 2009. Total subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah Iran mencapai 100 miliar dolar atau sekitar 30 persen dari PDB Iran pada tahun 2009 sebesar 331 miliar dolar. Pada tahun 1994 presiden Akbar Hashemi Rafsanjani mencoba untuk mengurangi beban negara yang terus meningkat akibat subsidi namun hal ini tidak berjalan dengan baik dikarenakan situasi politik serta permasalahan likuiditas dalam perekonomian Iran. Upaya untuk mereformasi kebijakan subsidi Iran berjalan lambat, pada tahun 1999 hingga 2000 subsidi untuk bensin, kerosin, dan produk turunan lainnya mencapai 74 hingga 94 persen dari harga sebenarnya.

Program subsidi yang diterapkan oleh pemerintah Iran meliputi seluruh masyarakat. Pada tahun 2010 harga bensin ditetapkan sebesar $0,10 per liternya dan dibatasi pada kisaran 80 hingga 100 liter untuk setiap orang per bulannya. Pembelian bensin setelah melewati kuota 80 hingga 100 liter dikenakan harga $0,40. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukan bahwa kebijakan subsidi di Iran lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah keatas yang lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi dibanding dengan kalangan menengah kebawah. Fakta ini didukung oleh meningkatnya jumlah kendaraan dari 7 juta unit pada tahun 2007 menjadi 9 juta unit pada tahun 2008 dimana Iran memiliki populasi sekitar 66 juta jiwa. Di daerah dengan pendapatan per kapita lebih tinggi seperti di Teheran terdapat sekitar 3 juta unit kendaraan dengan populasi 7,7 juta jiwa.

Penghasilan individu untuk penduduk Iran berkisar antara $300 hingga $460 per bulannya atau setara dengan $3.600 hingga $5.520 per tahun. Rencana pemerintah untuk memotong kuota konsumsi bensin dari 100 liter per bulan menjadi 50 liter per bulan akan berdampak pada pengeluaran individu yang menkonsumsi bensin sebanyak 100 liter dan menambah pengeluaran sebesar $13.50 per bulan atau setara dengan $162 per tahun. Pemerintah berencana mereformasi program subsidi dengan memberikan bantuan dana langsung kepada individu berpenghasilan rendah sebagai kompensasi pemotongan kuota konsumsi bensin. Sumber media mengatakan bahwa sebanyak 70 persen dari total populasi Iran akan mendapat bantuan dana langsung dengan besaran sekitar 170,000 rials atau setara dengan $17 untuk tiap individu. Pemerintah juga berencana untuk mengurangi subsidi secara bertahap.

Kembali ke Indonesia, berbeda dengan dua macam subsidi yang lain, pemberian subsidi BBM merupakan sebuah langkah mundur/ drawback di dalam usaha pembangunan. Hal ini terlihat dari ‘bertentangannya’ efek yang dimunculkan oleh kebijakan subsidi di semua lini ekonomi makro. Atau dalam kata lain, subsidi BBM bersifat kontraproduktif terhadap usaha peningkatkan PDB, stabilisasi laju inflasi, dan penekanan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Sekilas, hal tersebut mungkin terlihat janggal mengingat dari segi inflasi katakanlah, subsidi BBM seharusnya mampu berperan sebagai buffer di dalam kelompok administered commodity. Ketidaklaziman pola keumuman tersebut kemudian perlu dirunut penyebab dan kendalanya. Berkaca dari faktor yang ‘mensukseskan’ implementasi jenis subsidi yang lain, maka dicatat paling tidak terdapat tiga buah pendapat yang bersumbangsih terhadap kegagalan subsidi BBM.

Pertama, BBM memiliki kecenderungan untuk dikonsumsi sebagai komoditas yang memiliki efisiensi produksi yang rendah. Hal tersebut memiliki arti bahwa masih demikian besar proporsi BBM bersubsidi yang ‘dibuang percuma’ melalui saluran pembuangan kendaraan bermotor. Hal ini tidak terlepas dari terlalu tidak berimbangnya kapasitas infrastruktur jalan raya dengan jumlah kendaraan bermotor, terutama di kota – kota besar dan pusat – pusat pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, keberadaan subsidi turut menimbulkan pengaruh negatif dari segi munculknya stimulan tidak langsung bagi kalangan masyarakat untuk melakukan mobilitas dengan menggunakan kendaraan pribadi. Padahal, hal tersebut seringkali tidak benar – benar diperlukan atau tidak mengindahkan faktor efisiensi penggunaan sumber daya akibat demikian ‘murah’nya harga BBM. Sebagai ilustrasi, tidak jarang ditemui mobil – mobil MPV atau SUV berkapasitas 7 – 8 orang diisi hanya oleh 1 atau dua orang yang di atas arogansinya melenggang di jalan protokol pusat kota. Padahal di sisi lain, potensi pengembangan transportasi massal secara umum masih belum dioptimalkan. Melepaskan faktor kenyamanan dan keamanan terlebih dahulu, berbagai alternatif transportasi publik yang berdasar hukum keumuman memiliki tingkat efisiensi yang tinggi justru tidak diminati. Hal ini tentu saja tidak semata ‘dosa’ dari para pengguna kendaraan bermotor, ketidaksiapan penyelenggara transportasi publik di dua aspek yang telah disebutkan sebelumnya, kenyamanan dan keamanan tentu masih harus dibenahi lebih jauh. Satu hal penting yang agaknya perlu ditanamkan oleh otoritas perhubungan dalam hal ini adalah bagaimana mengelola transportasi publik tidak semata – mata sebagai hubungan transaksional, akan tetapi juga menjadi kemauan untuk memberi pelayanan di dalam perannannya selaku tulang punggung mobilitas dan kegiatan ekonomi.

Faktor kedua, diferensiasi pasar dan segmentasi konsumen hampir tidak berlaku sama sekali di ranah pemberlakuan subsidi BBM. Kalangan masyarakat menengah ke atas yang idealnya mengonsumsi BBM non subsidi pada praktiknya masih menempati posisi tertinggi penerima subsidi BBM, ironis memang. Pembatasan teknis berupa arahan perusahaan manufaktur untuk menyertakan BBM non subsidi sebagai bahan bakar kendaraan bermotor tahun – tahun terbaru agaknya masih dianggap sepi oleh sebagian besar masyarakat golongan menengah ke atas. Jika pun ada, ‘kesadaran’ untuk menggunakan sumber daya yang semstinya lebih dirasakan muncul karena mekanisme pasar dan tendensi masing – masing konsumen untuk memilih, di dalam men-trade off-kan antara maksimalisasi utilitas dengan minimalisasi biaya. Seharusnya, keumuman perilaku konsumen yang demikian sudah bisa diantisipasi sejak awal oleh pemerintah dalam hal ini, mengingat secara rasional konsumen akan cenderung memegang prinsip minimalisasi biaya. Mengingat pula biaya teknis, kerusakan mesin karena ketidaksesuaian bahan bakar misalnya, di dalam kenyataan demikian rendah dan tidak sebanding dengan efisiensi biaya harian yang dikeluarkan ketika menggunakan BBM bersubsidi, maka tidak heran jika kemudian secara logis konsumen masih akan tetap memilih untuk mengonsumsi BBM bersubsidi. Ketidakberdayaan pemerintah dan kegagalan mengantisipasi keumuman perilaku masyarakat dalam hal in8i, agaknya perlu mendapatkan perhatian serius.

Ketiga, sekaligus turut mendukung dua pendapat sebelumnya, bahwa pemberlakuan subsidi BBM memberikan gap yang demikian jauh antara harga BBM bersubsidi dan BBM non subsidi. Premium dan solar yang dijual di tingkat harga Rp 4.500 per liter jauh – jauh berharga lebih rendah dibandingkan BBM non subsidi yang diperdagangkan di kisaran harga Rp 8.000 – Rp 9.000 per liternya memunculkan disinsentif bagi konsumen untuk memilih BBM non subsidi. Hal ini tidak terlepas pula dari akibat adanya efek ‘ketidakpastian harga’ sebagai dampak implementasi sistem floating price bagi BBM non subsidi. Dampak ini semakin terasa ketika volatilitas harga minyak mentah dunia yang berpengaruh secara signifikan ikut tidak bisa dipastikan. Di samping memumculkan diinsentif preferensi konsumsi, adanya gap tersebut ikut menimbulkan pula berbagai penyelewengan dan penyimpangan pelaksanaan kebijakan subsidi BBM, seperti perdagangan gelap, penyelundupan, hingga rekayasa oleh kalangan industri untuk memperoleh BBM bersubsidi. Hal ini pada akhirnya, tentu berdampak tehadap kegagalan mekanis yang muncul by system dan gagal diantisipasi.

Berkaca dari ketiga faktor yang diamati di atas, maka ketika dirunut ke belakang akan terdapat dua pertimbangan memberatkan yang seharusnya telah diperhatikan ketika perencanaan kebijakan, yakni kesalahan dari segi aplikasi dan konsumen. Pertama di segi aplikasi, pemberlakuan kebijakan subsidi yang dibatasi hanya bagi kalangan non industri tentu secara normatif telah memberikan sinyalemen bahwa mayoritas sektor produksi tidak akan memperoleh manfaat dari kebijakan subsidi ini. Atau di dalam kata lain, kebijakan subsidi ini sebagian besar tentu akan terarah pemanfaatannya bagi kegiatan konsumsi dan kegiatan lain di luar kegiatan konsumsi. Kedua di segi konsumen, perlu diperhatikan bahwasanya subsidi BBM tentu tidak akan diterima golongan masyarakat lemah mengingat keterbatasan akses dan sumber daya golongan masyarakat ini terhadap transportasi privat. Kecenderungan golongan masyarakat ekonomi lemah untuk mempergunakan transportasi publik cenderung telah diabaikan sehingga kebijakan ini pun salah sasaran.

Keseluruhan pemaparan di atas menunjukkan bahwa baik berdasarkan data empirik inferensial maupun logis substansial, kebijakan subsidi BBM merupakan kebijakan yang sebenarnya tidak perlu. Peniadaan kebijakan ini tentunya memunculkan tuntutan tersendiri bagi pemerintah demi mewujudkan struktur perekonomian yang berpihak kepada keseluruhan masyarakat baik secara praktik, maupun hakiki.

Pencabutan subsidi BBM sepenuhnya pada dasarnya bukan merupakan hal yang mustahil apabila pengambil kebijakan berani menerima social cost yang akan terjadi karena pasti ada kebijakan alternatif yang dapat ditawarkan pemerintah, diantaranya konversi penggunaan BBM ke BBG serta untuk dana pendidikan yang sesuai dengan konstitusi. Karena adanya beberapa tahapan yang harus dilalui, maka perencanaan rekomendasi pencabutan sepenuhnya subsidi BBM dapat dilakukan selambat-lambatnya tahun 2013. Tahapan pertama adalah sosialisasi pengalihan penggunaan bahan bakar minyak ke BBG yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur saluran distribusi gas kepada konsumen, seperti pembangunan pipa-pipa dan SPBG. Jika sarana prasaraa sudah siap, pengurangan pemakaian BBM dapat mulai dilakukan. Terakhir, pemerintah harus menyediakan transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman bagi masyarakat. Sebagai informasi tambahan, harga bahan bakar gas tanpa subsidi adalah sekitar 3100 rupiah yang tentu saja jauh lebih murah dibandingkan dengan harga BBM subsidi yang mencapai 4500 rupiah. Belum lagi jika ditinjau dari sisi lingkungan, BBG merupakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Pengalihan dana subsidi dapat diarahkan untuk membangun seluruh infrastruktur yang dibutuhkan dalam proses konversi energi dari BBM ke BBG sehingga ada bukti nyata dalam penyerapan anggaran yang dialihkan tersebut. Selain itu, hasil pencabutan subsidi dapat menciptakan pendidikan gratis 100% hingga level SMA dan perbaikan fasilitas pendidikan. Pendidikan gratis hingga SMA ini tentu saja dapat memberikan dampak yang lebih nyata bagi seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu. Bentuk konkritnya adalah pembebasan biaya buku, sekolah maupun pungutan-pungutan lainya. Sehingga pada akhirnya nanti BOS dapat dihilangkan secara otomatis dan diganti dengan pengratisan biaya pendidikan penuh dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Belanja subsidi dalam APBN harusnya mampu mencapai hakikat sesungguhnya yang ingin dicapai yaitu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Namun kenyataanya, tujuan tersebut tidak dapat dicapai karena adanya ketidaktepatan sasaran dalam proses pendistribusianya. Hal ini terutama tercermin dalam subsidi BBM. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa distribusi subsidi BBM ini sangat tidak tepat sasaran karena justru lebih banyak menguntungkan masyarakat mampu. Sebaliknya, masyarakat kurang mampu yang lebih berhak menerima subsidi tersebut hanya merasakan sedikit efeknya. Selain itu, dilihat dari berbagai variabel yang mengindikasikan kesejahteraan rakyat seperti PDB, inflasi, tingkat pengangguran atau tingkat kemiskinan menunjukan hubungan yang negatif. Hal ini dapat dipahami karena subsidi BBM termasuk subsidi harga yang ditujukan pada konsumen akhir saja sehingga tidak menimbulkan efek multiplier bagi perekonomian secara keseluruhan. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa belanja subsidi BBM sudah seyogyanya dialihkan untuk belanja-belanja yang dapat memberikan manfaat secara langsung bagi perekonomian negara maupun masyarakat, khususnya masyarakat kurang mampu. Meskipun disadari harus ada beberapa alternatif kebijakan yang diambil guna mengatasi dampak yang timbul akibat pencabutanya. Namun hal ini sudah sangat mendesak mengingat harga minyak mentah dunia yang terus mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Terutama jika pemerintah kembali pada hakikat APBN sesungguhnya, yaitu sebagai alat yang digunakan dan dikendalikan negara untuk mensejahterakan rakyatnya.

B. Saran

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa rekomendasi saran yang diberikan adalah melakukan pencabutan subsidi BBM dan mengalihkanya pada pos-pos belanja yang memberikan manfaat secara nyata bagi masyarakat. Ada beberapa kebijakan pengganti yang harus diambil pemerintah sebelum benar-benar mencabut subsidi BBM. Yang pertama adalah melakukan sosialisasi konversi penggunaan bahan bakar minyak menjadi bahan bakar gas. Untuk itu pemerintah perlu membangun sarana prasarana pendistribusian gas yang memang masih belum tersedia di Indonesia saat ini. Selain itu, penyediaan transportasi publik yang memadai juga akan meningkatkan penggunaan transportasi umum oleh masyarakat sehingga mengurangi pemakaian BBM.

Selanjutnya, pemerintah dapat menaikan porsi belanja subsidi non energi yang berdasarkan penelitian memberikan dampak positif bagi indikator kesejahteraan masyarakat seperti subsidi pupuk, pangan serta subsidi benih. Subsidi jenis ini dapat memberikan efek multiplier lebih terhadap perekonomian karena memacu adanya pekerjaan baru. Sedangkan dana belanja subsidi BBM itu sendiri dapat dialihkan untuk memberikan pendidikan atau pengobatan gratis bagi masyarakat untuk memenuhi batas yang telah ditentukan oleh konstisusi negara kita, yaitu masing-masing sebesar 20% dan 5% dari APBN.