Selasa, 30 September 2014

A Life Lessons

On this post, I just want to share a quote from the Amazing Spider Man 2 Movie which i found compelling. So here it is guys :

I know that we all think we're immortal, we're supposed to feel that way, we're graduating. 

The future is and should be bright, but, like our brief four years in high school, what makes life valuable is that it doesn't last forever, what makes it precious is that it ends. 

I know that now more than ever. And I say it today of all days to remind us that time is luck. 

So don't waste it living someone else's life, make yours count for something. 

Fight for what matters to you, no matter what. 

Because even if you fall short, what better way is there to live?

But wait it doesn't end there, on the end of the movie, Peter recall a voice note from gwen.

"It's easy to feel hopeful on a beautiful day like today, but there will be dark days ahead of us too, and there'll be days where you feel all alone, and that's when hope is needed most. Keep it alive."

"No matter how buried it gets, or lost you feel, you must promise me, that you will hold on to hope and keep it alive. We have to be greater than what we suffer. My wish for you, is to become hope. People need that."

"I know it feels like we’re saying goodbye, but we will carry a piece of each other into everything that we do next, to remind us of who we are, and of who we’re meant to be. I’ve had a great four years with you, and I’ll miss you all very much."

Sabtu, 27 September 2014

Men-Judicial Review Akal Sehat

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Melihat Sisi Lain UU Pilkada”. Pada akhir tulisan tersebut sebuah catatan kaki terselip bahwa penulis secara pribadi mendukung pemilihan via DPRD untuk walikota & bupati, serta pemilihan langsung untuk gubernur. Dasar dari sikap ini adalah fakta bahwa otonomi daerah Indonesia saat ini sudah kebablasan, dimana muncul raja-raja kecil di daerah yang korup, dimana sejak diberlakukannya pemilihan langsung pada 2004 hingga 2014 tercatat sudah 325 kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Sulit dibantah bahwa salah satu penyebab hal ini adalah biaya pemilihan yang sangat tinggi. 

Fakta kedua adalah sistem otonomi daerah menciptakan kesenjangan antara kabupaten/kota yang kaya dengan kabupaten/kota yang miskin. Akibatnya adalah terjadi ketergantungan kabupaten/kota yang miskin terhadap DAU & DAK pemerintah. Sulit bagi daerah ini melakukan pembangunan, karena mayoritas dana mereka terserap untuk belanja/gaji pegawai daerah. 

Apa kaitan kedua fakta ini dengan opini penulis dengan pilkada? Kaitan yang sangat jelas adalah bahwa UU Pilkada seharusnya dijadikan momentum mengoreksi otonomi daerah yang sudah kebablasan ini, dengan mengurangi kekuasaan "raja-raja kecil" ini dan memperkuat otonomi di level provinsi. Caranya adalah dengan melemahkan legitimasi bupati/walikota (dengan dipilih DPRD) untuk sementara waktu, sementara memperkuat legitimasi gubernur (dengan dipilih langsung oleh rakyat).

Koreksi ini sudah seharusnya dilanjutkan dengan meninjau kembali kewenangan otonomi daerah dan pembagian hak dan kewajiban antara kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat. Provinsi idealnya diberi kewenangan lebih dalam mengelola sumber daya alam dan kebijakan ekonomi mereka, serta diperkuat dengan desentralisasi lembaga seperti kepolisian, pendidikan, kesehatan dan lembaga-lembaga lainnya. Tujuan akhir dari serangkaian koreksi kehidupan bernegara ini adalah me-review pencapaian tujuan bernegara dan apakah sistem negara kesatuan yang ada saat ini sudah tepat . 

Harus disadari bahwa UU pilkada hanyalah bagian kecil untuk mencapai tujuan akhir masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pertanyaan yang lebih besar adalah "Apakah Indonesia berada di jalur yang tepat dalam mencapai tujuan bernegara?". Selama ini masyarakat seakan terjebak pada paham NKRI harga mati, Padahal negara dan pemerintahan adalah suatu hal yang dinamis dan dapat berkembang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada. Hal ini telah dibuktikan bahwa ratusan tahun lalu peradaban-peradaban dunia bereksperimen dengan sistem kerajaan, demokrasi, teokrasi, dan sistem lainnya. Pada akhirnya eksperimen bernegara ini membuktikan bahwa sistem yang dianggap terbaik oleh mayoritas peradaban adalah demokrasi.

Tetapi demokrasi ini terbagi lagi menjadi bermacam-macam jenis seperti parlementer, presidensil, monarki konstitusional, federal, dan kesatuan. Masing-masing dari sistem ini memiliki contoh yang gagal maupun sukses. Namun fakta yang menarik adalah dari 10 negara dengan jumlah penduduk terbanyak hanya 3 negara yang menerapkan sistem kesatuan yaitu China, Indonesia, dan Bangladesh, sementara 7 negara lainnya menggunakan sistem federal. Sementara dari 10 negara dengan ekonomi terbesar, hanya Italia dan Cina yang menerapkan sistem kesatuan (Indonesia masih berada pada peringkat 16) dan 8 sisanya menggunakan sistem federal.

Data ini walau harus diteliti lebih dalam bisa membawa pada kesimpulan bahwa sistem kesatuan lebih cocok diterapkan pada negara yang secara area kecil dan penduduk yang tidak terlalu padat. Hal ini terlihat dari negara-negara yang secara penduduk besar dan ekonomi maju menggunakan sistem federal. Pengecualian adalah Cina, yang tampaknya dipengaruhi kuatnya tangan besi pemerintah.

Sistem negara federal mengedepankan otonomi pada tingkat provinsi, dimana setiap provinsi memiliki kewenangan semi-negara yang memungkinkan provinsi menyesuaikan peraturan & kebijakan sesuai kondisi yang ada pada provinsi tersebut. Hal ini memungkinkan provinsi-provinsi bereksperimen & bersaing satu sama lain dalam mengelola pemerintahan selama dalam koridor yang dibatasi pemerintah pusat. Sistem federal juga mengurangi beban pemerintah pusat dari sisi anggaran, dimana provinsi dapat menggabungkan sumber daya yang ada di kabupaten & kota di bawahnya, dan melakukan pemerataan (yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat melalui DAU & DAK).

Jika boleh sedikit berandai-berandai, jika saja sistem federal telah diterapkan di Indonesia, maka masyarakat Indonesia tidak perlu menghabiskan waktu berdebat mengenai sistem Pilkada. Karena masyarakat setiap provinsi lah yang akan menentukan cara mereka memilih kepala provinsi/kabupaten-kota mereka sesuai kearifan lokal yang mereka miliki. Hal inilah yang terjadi di US, dimana beberapa negara bagian tidak memiliki wakil gubernur (co : Arizona), sementara negara bagian lain memilikinya, atau negara bagian Nebraska yang menganut sistem unikameral sementara negara bagian lain bikameral. Perbedaan ini tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan & budaya masing-masing negara bagian. Contoh lainnya adalah di UK, dimana untuk jabatan mayor beberapa kota besar seperti London dipilih langsung oleh masyarakat, sementara kota-kota lain dipilih oleh DPRD. Adanya perbedaan ini membuat masyarakat dihadapkan dengan perbandingan dan pilihan cara memerintah yang terbaik dalam mencapai tujuan bernegara

"Masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur", itulah cita-cita yang diamanatkan konstitusi dan UUD 1945. Tetapi masyarakat terus terjebak pada bagian kecil dalam kehidupan bernegara dan melupakan progres pencapaian tujuan tersebut. Saat ini adalah momen yang tepat untuk mulai menanyakan pada diri sendiri sudah sejauh mana NKRI mencapai tujuannya, dan terus membuka pikiran kita terhadap ide-ide baru. Maka meminjam istilah yang sedang populer saat ini, kita harus lah melakukan "judicial review" akal sehat dan pemikiran kita terhadap kehidupan bernegara. Tetapi hakim yang harus kita hadapi bukanlah hakim MK, melainkan hati nurani & akal sehat dari masing-masing kita sebagai individu maupun sebagai suatu bangsa.

Kamis, 25 September 2014

Melihat sisi lain UU Pilkada

Beberapa hari ini ternyata mendorong keinginan menulis lagi setelah sekian lama, hal ini disebabkan kisruh pilkada yang sedang hangat diperbincangkan. Sedikit mengingatkan bahwa kisruh ini terjadi karena adanya beda pendapat dalam menentukan metode pemilihan kepala daerah. Menarik melihat masyarakat yang apatis terhadap selama ini menjadi bersemangat untuk mengomentari isu ini. Tetapi amat disayangkan bahwa terlempar klaim dari kedua belah pihak bahwa kedua-duanya memperjuangkan kepentingan rakyat dan menuduh pihak lain mencederai demokrasi.

Pada dasarnya demokrasi terbagi menjadi direct dan indirect. Keduanya memiliki contoh masing-masing yaitu direct di US & Jepang dan indirect di UK dan Australia, di sisi lain ada negara yang mencampurkan kedua sistem seperti Jerman. Fakta ini memperlihatkan secara makna demokrasi, tidak ada yang salah ketika metode pemilihan kepala daerah diubah dari pemilihan langsung menjadi pemilihan via DPRD, begitu pun sebaliknya. Karena sesungguhnya DPRD adalah wakil yang dipilih rakyat. 

Di luar itu tentu saja pilkada via DPRD membawa sisi positif, seperti efisiensi anggaran, mempermudah pengawasan KPK terhadap money politics, dan memungkinkan calon-calon yang memiliki modal minim untuk terpilih menjadi kepala daerah (bukan yang sekedar populer/memiliki uang banyak agar bisa populer). Tentu saja poin 2 harus disertai syarat penguatan KPK sebagai institusi. Sementara poin 3 harus disertai syarat bahwa partai selektif dalam memilih calon kepala daerah, hal ini seharusnya menjadi kewajiban bagi partai karena jika mereka dengan seenaknya memilih kepala daerah yang tidak kompeten, maka otomatis rakyat akan kecewa dan tidak memilih partai itu kembali.

Tetapi argumen ini ditolak oleh kubu pendukung pemilihan langsung. Menurut saya ada 2 hal yang menyebabkan hal ini terjadi :
1. Opini bahwa motif perubahan oleh KMP adalah semata karena kekuasaan
2. Ketidakpercayaan masyarakat bahwa anggota DPRD dan partai mewakili mereka. 

Menjawab kedua hal ini saya bisa katakan bahwa motif KMP memang semata karena kekuasaan, bukan demi rakyat dan omong kosong lain yang mereka gembar-gemborkan. Tetapi bukankah itu tujuan akhir berpolitik? yaitu demi meraih kekuasaan? Hal ini juga yang dilakukan Ahok ketika meninggalkan partai PIB untuk menjadi anggota DPR Golkar, dan kemudian meninggalkan Golkar untuk menjadi wagub Jakarta. Hal ini pula yang dilakukan Partai Republik di US dengan membatasi akses memilih melalui pemberian syarat untuk membawa kartu identitas yang bermacam-macam serta menolak perpanjangan waktu memilih, semuanya demi merugikan minoritas yang merupakan pendukung Partai Demokrat. 

Tentu saja ini membawa pada argumen, "tetapi UU Pilkada mengambil hak rakyat!". Wait, bukankah Ahok juga melakukan hal yang sama ketika ia meninggalkan pemilihnya babel untuk menjadi wagub Jakarta, dan membiarkan suara no urut 2 menggantikannya memperjuangkan "hak" mereka di DPR? Berbeda dengan di US dimana ketika anggota DPR mundur akan dilakukan pemilihan ulang, hal ini tidak terjadi di Indonesia. Padahal no urut 2 bisa jadi bukan merupakan pilihan mayoritas rakyat, dan hasil yang berbeda bisa didapatkan jika dilakukan pemilihan ulang. 

Hal yang sama terjadi di US dengan Partai Republik membatasi/menyulitkan hak memilih warga minoritas, walau tidak separah Partai Demokrat di masa lalu yang "melarang" warga kulit hitam dan kulit putih yang miskin untuk memilih melalui poll tax. Tentu saja yang dilakukan ahok tidak salah, karena begitulah peraturan yang berlaku di Indonesia, pun dengan cara KMP mendapatkan kekuasaan, karena hal tersebut tidak dilarang dalam konstitusi Indonesia.

Tetapi hal pertama tidak akan terjadi jika saja masyarakat percaya bahwa anggota DPRD dan DPR mereka adalah orang-orang kompeten yang mewakili mereka. "Trust" inilah yang telah hilang antara masyarakat dengan politik di Indonesia. Mencari akar penyebabnya bagi saya adalah sistem gado-gado dimana sistem pemilihan Indonesia mencampurkan sistem distrik dengan proporsional yang disebut proporsional terbuka.

Sistem distrik memiliki keuntungan masyarakat lebih mengenal anggota dewan yang mereka pilih (karena 1 daerah diwakili langsung 1 dewan), dan biaya politik yang relatif murah dibanding sistem proporsional terbuka. Selain itu sistem distrik juga memungkinkan anggota DPR/DPRD tidak taat karena masyarakatlah yang memilih mereka, pengawasan money politics juga lebih mudah karena cakupannya hanya 1 kabupaten/kota. Di sisi negatif, individu yang populerlah yang terpilih, hal ini terkadang menimbulkan masalah kompetensi. Atau ketakutan mengambil tindakan yang benar karena tidak populer di mata pendukungnya, contoh hal ini adalah government shutdown atau slavery abolition di US yang ditolak sebagian anggota DPR karena ketakutan mereka akan pendukungnya tidak memilih mereka lagi

Sistem kedua yaitu sistem proporsional berarti masyarakat memilih partai, dan partai akan memilih anggota dewan sesuai proporsi kursi yang didapat. Hal ini memungkinkan orang-orang yang kompeten tetapi memiliki sedikit uang atau tidak ahli berkampanye untuk terpilih (selama partainya mendukung orang-orang kompeten). Lagi-lagi sistem ini juga relatif menghemat uang, karena umumnya daerah kampanye akan dibagi partai sehingga menjadi tidak terlalu luas. Pada sistem ini masyarakat yang kecewa harus menyuarakannya dengan tidak lagi memilih partai yang buruk. 

Tetapi sistem pemilihan anggota dewan di Indonesia saat ini boleh dikatakan telah gagal. Sistem proporsional terbuka berarti setiap daerah pemilihan memiliki 3-8 wakil rakyat dengan jangkauan 1-10 kabupaten/kota. Akibatnya dibutuhkan uang dalam skala besar untuk berkampanye di seluruh wilayah tersebut. Biaya uang yang besar menyebabkan terpilihnya pengusaha/orang-orang yang masuk DPR untuk mencari uang/balik modal, atau terpilihnya artis-artis yang karena populer tidak memerlukan banyak uang untuk berkampanye namun sebagian minim kompetensi. Kelemahan lain adalah tidak ada "ikatan" yang kuat antara rakyat dan wakil rakyat sebagai akibat besarnya masyarakat yang diwakili. Hal inilah yang menurut saya menjadi dasar argumen penolakan UU Pilkada poin 2. 

Akhir kata tentu saja kita harus melihat sisi positif & negatif dari UU ini, dan melihat lebih dalam lagi akar masalah demokrasi kita. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang reaktif dan hanya peduli sesaat tanpa menggali lebih jauh permasalahan utama Indonesia. 

Notes :
Penulis secara pribadi mendukung pilkada via DPRD untuk bupati dan pilkada langsung untuk gubernur. Tetapi mungkin alasannya terlalu panjang untuk dijabarkan dalam post ini