Islam sebagai suatu agama boleh dikatakan memiliki berbagai macam perbedaan di seluruh dunia. Di Indonesia, Islam adalah sebuah fenomena yang menarik dan cukup berbeda dibanding kebanyakan karakteristik Islam di negara lain. Menarik karena semenjak masuknya Islam ke Indonesia, bentuk gerakan dari Islam itu sendiri senantiasa berubah. Di awal masuknya Islam, wadah dari Islam adalah dari perdagangan. Seiring berkembangnya waktu maka Islam masuk ke jalur kerajaan melalui pernikahan dan juga dari segi dakwah/keilmuan. Transformasi bentuk ini semakin menarik di abad 20 dimana secara perlahan tapi pasti kekuatan Islam yang tadinya tersebar secara kedaerahan mulai bersatu menjadi sebuah kekuatan Nasional dan sebuah Identitas bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Perubahan kekuatan Islam ini terjadi setidaknya disebabkan 2 faktor. Faktor pertama adalah masuknya pendidikan di Indonesia yang berakibat pada berubahnya motor pergerakan Islam Indonesia. Sebelum abad ke 20, Islam di Indonesia digerakkan oleh para sultan/raja yang terpisah secara geografis, bahasa, budaya dan telah terpengaruh banyak oleh kekuasaan Belanda. Memasuki abad ke 21 seiring dengan dikenalkannya pendidikan oleh Belanda, terjadi peralihan motor pergerakkan Islam ke arah para kiai yang juga kaum intelektual atau setidaknya kaum intelektual yang dekat dengan Kiai. Peralihan ini membawa efek positif yaitu pergerakan Islam tidak lagi terbatas oleh geografis, bahasa, dan budaya dan bahkan memiliki suatu tujuan yaitu menyatukan dan membentuk Indonesia Raya. Bahkan para tokoh-tokoh Islam terkemuka di jaman pergerakan nasional seperti HOS Tjokroaminoto, K.H Ahmad Dahlan, K.H Hasyim Anshori juga merangkap sebagai tokoh pergerakan nasional.
Faktor kedua adalah adanya wadah dari pergerakan Islam itu sendiri. Secara wadah, pada awalnya pergerakan Islam secara nasional dimulai dari munculnya Syarikat Islam yang pada mulanya difokuskan membantu usaha bisnis sesama kaum muslim (sosial), Munculnya Syarikat Islam kemudian disusul juga dengan lahirnya organisasi lain seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, Hidayatullah maupun organisasi-organisasi yang sifatnya adalah dakwah dan sosial. Sosial disini dapat dilihat dari fokus utama Muhammadiyah pada awal pendiriannya yaitu pendidikan dan kesehatan melalui sekolah-sekolah maupun rumah sakit, sementara NU melakukan yang sama melalui pesantren-pesantrennya. Karena pendekatan dilakukan secara sosial ini, organisasi Islam mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat.
Adanya organisasi dan penggerak organisasi inilah yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia di era 1900-1940an menjadikan Islam sebagai sebuah identitas yang sifatnya Nasional dan bukan lagi kedaerahan. Bahkan perjuangan jalur Islam boleh dikatakan menjadi warna tersendiri yang menyerupai ahimsa seorang Gandhi yang memfokuskan pada perjuangan damai yaitu melalui perjuangan sosial. Di era tersebut Islam belum menjadi sebuah kekuatan politik resmi, melainkan lebih sebagai kekuatan politik pasif. Kala itu hampir tidak ada satupun partai besar/berpengaruh di Indonesia yang berdasarkan Islam (kecuali Partai Syarikat Islam di era 1920an dengan tokohnya HOS Tjokroaminoto ) dan patut diingat bahwa tokoh-tokoh Islam di era itu tidak berpartai atau justru bergabung di partai lain.
Menarik untuk mencermati bahwa partai-partai Islam ini sendiri baru berdiri setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dimana kala itu organisasi-organisasi Islam berpengaruh (Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia) menyatakan diri membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Partai Masyumi ini memiliki beberapa perbedaan dengan PSII yang sebelumnya sudah berdiri dan boleh dikatakan tidak sesukses Masyumi. Masyumi di era itu secara terang-terangan mengusulkan cita-cita membentuk Negara Islam dan hal ini menjadi ideologi resmi partai tersebut yang disuarakan oleh tokoh utamanya seperti Natsir. Selain itu Masyumi juga bergerak di daerah pedesaan, tidak seperti PSII yang berfokus pada perkotaan saja. Kombinasi gerakan akar rumput. Ketokohan pimpinan partai ditambah ideologi yang kala itu sangat menyentuh keinginan sebagian masyarakat Indonesia terbukti membawa Masyumi meraih 20,9% suara dimana saat itu NU yang tadinya bergabung sudah keluar dan berhasil meraih 18,4% suara secara terpisah. Sehingga jika digabungkan suara keduanya sesungguhnya mencapai 39,3% suara dimana inilah kekuatan masif yang mengalahkan gabungan kekuatan Nasionalis-komunis.
Tetapi ada satu kesamaan antara Masyumi dengan PSII, kedua kekuatan ini dilemahkan dari dalam sehingga berujung pada pecahnya kedua partai yang pada akhirnya berakibat pada kematian kedua partai. Kejayaan Masyumi sendiri berlangsung dari era 1946-1959 dimana pada 1960 Masyumi resmi dibubarkan presiden Soekarno atas tudingan makar dan subversif melalui pemberontakan PRRI yang dilakukan beberapa tokoh Masyumi di daerah, meskipun konon ada faktor lain yaitu terkait kekritisan tokoh-tokoh Masyumi terhadap Soekarno. Berbeda dengan Masyumi, NU mampu menjaga hubungan baik dengan Soekarno dan ke depannya inilah yang sesungguhnya menjadi corak NU yaitu dekat dengan kekuasaan sehingga NU dapat selamat dari berbagai turbulensi politik yang ada.
Setelah Masyumi dibubarkan, praktis keterwakilan Islam di masa Soekarno banyak dipengaruhi oleh NU, melalui tokohnya Idham Chalied yang dikenal dekat dengan Soekarno. Akibat kekacauan politik pada era itu, praktis fokus umat Islam ada menghadapi ancaman komunisme, dimana politisi-politisi Islam kala itu cukup tertinggal dalam menghadapi manuver-manuver politisi-politisi komunis. Hal ini terbukti dengan munculnya Nasakom yang memasukkan komunis ke dalam ideologi dasar Indonesia, tetapi di era ini pula mulai bangkit generasi baru Islam yang mampu menghadapi komunis di kalangan akar rumput dan khususnya kalangan intelektual melalui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dimana tokoh-tokohnya antara lain adalah Nurcholis Madjid dan Akbar Tandjung. Berbeda dengan generasi tua (khususnya masyumi) yang mengusung paham Negara Islam dalam perjuangannya, HMI membawa angin segar sebagai Islam progresif di kala itu. Bahkan Soekarno menolak tuntutan PKI agar HMI dibubarkan karena menurutnya HMI adalah Islam Revolusioner dan pro revolusi. Organisasi ini secara tidak langsung mempelopori kebangkitan kedua Islam di Indonesia yaitu melalui perumusan kembali nilai-nilai keislaman yang telah disesuaikan dengan kondisi jaman dan ke depannya HMI dikenal memiliki jaringan yang kuat di berbagai partai dan dunia kenegaraan di Indonesia.
Seiring dengan kejatuhan Soekarno, maka umat Islam mendapat angin segar dimana kala itu umat Islam bekerjasama dengan tentara turut membantu penumpasan PKI. Tetapi angin segar ini hanya sesaat, melalui berbagai pemaksaan Soeharto melakukan fusi dimana partai-partai Islam yang sesungguhnya memiliki perbedaan-perbedaan pandang dipaksa bersatu di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP pada awalnya (1971-1982) cukup menunjukkan diri sebagai oposisi yang kuat dimana PPP menguasai Jakarta dan sempat melakukan walkout dalam sidang DPR 1982 yang menunjukkan adanya idealisme dalam mengkritik pemerintahan. Tetapi selepas keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1928 dimana NU tidak lagi secara resmi mendukung PPP dan adanya intervensi pemerintah maka kekuatan PPP menjadi melemah kembali.
Di era 1980an, seiring dengan menguatnya kalangan sekuler di pemerintahan maka kalangan Islam perlahan menyingkir dari dunia politik kembali ke dunia intelektual. Hal ini terlihat dengan mulai munculnya tokoh-tokoh intelektual Islam yang ditandai naiknya Abdurrahman Wahid menjadi ketua PBNU, dan kemudian kembalinya Habibie dan Amien Rais ke Indonesia. Di sisi lain gerakan keagamaan juga menguat dimulai dengan masuknya gerakan Tarbiyah di Indonesia pada masa itu. Tetapi di era ini pula umat Islam mengalami tekanan besar dengan berbagai peristiwa yang menyudutkan antara lain seperti peristiwa Tanjung Priok, pembajakan Garuda di Thailand yang dilakukan oknum Islam garis keras, dan puncaknya penetapan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara. Akibatnya pada era 1980an ini umat Islam boleh dikatakan sangat tersudutkan dan terpinggirkan dari dunia politik dan tata kenegaraan.
Kekuatan Islam kembali mendapat momentum pada 1988 di kala Benny Moerdani dicopot dari jabatan panglima TNI dan adanya isu dugaan makar yang dilakukan olehnya menyebabkan ia dijauhkan dari segala pusatkekuasaan. Hal ini berpengaruh sekali bagi gerakan Islam karena Benny Moerdani dikenal sebagai tokoh anti-islam dan sekaligus orang kepercayaan Soeharto di kala itu, hal ini memberi peluang adanya kekosongan pada posisi tangan kanan Soeharto yang kemudia diisi oleh Habibie yang pro-islam dan mendukung kemajuan gerakan Islam. Seakan mendapat angin segar, kalangan intelektual Islam kemudian merancang berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990. Bukan hanya itu di Golkar maupun ABRI sebagai organ utama kekuasaanpun mulai diisi oleh orang-orang Islam seperti Faisal Tanjung dan Akbar Tanjung.
Pada era 1990 inilah Soeharto mulai menunjukkan kedekatannya dengan kalangan Islam. Kalangan Islam pada era ini boleh dikatakan berpengaruh, tetapi berbeda situasi dengan pada jaman Soekarno dimana pengaruh Islam ini diwakilkan oleh partai-partai Islam maka pada era Soeharto pengaruh Islam ini diwakili oleh tokoh-tokoh Islam yang berada di partai nasionalis atau malah tentara sehingga secara tidak langsung boleh dikatakan ada pergeseran pemahaman politik Islam. Dimana Islam tidak lagi diperjuangkan oleh partai politik Islam tetapi melalui Pribadi-pribadi muslim di berbagai struktur kekuasaan.
Era ini berakhir seiring dengan jatuhnya Soeharto pada 1998 dimana membawa dampak pada munculnya berbagai partai Islam kembali yang dipimpin oleh para tokohnya seperti Abdurrahman Wahid di PKB dan Amien Rais di PAN. Partai-partai ini pada pemilu 1999 boleh dikatakan cukup sukses secara perolehan suara maupun kekuasaan meskipun tidak secara perolehan suara tidak sesukses pada pemilu 1955, tetapi pada pemilu ini struktur pemerintahan boleh dikatakan dikuasi oleh kalangan Islam dimana posisi presiden dikuasai Abdurrahman Wahid, Ketua MPR oleh Amien Rais dan Ketua DPR oleh Akbar Tanjung.
Menutup abad 20, Kalangan Islam sesungguhnya telah berhasil mencapai puncak kekuasaan. Dalam perjalanan panjangnya ini Islam telah mendapat berbagai tantangan yang memaksanya bertransformasi mulai dari ikatan dagang, ikatan sosial, ikatan politik, hingga akhirnya berhasil menggabungkan semua ikatan tersebut melalui sebuah simpul bernama ikatan intelektual. Perjalanan waktu membuktikan bahwa keislaman yang tidak didasari nilai-nilai intelektualitas tidak akan mampu hidup lama dalam dunia kemasyarakatan. Oleh karena itu umat Islam sudah seharusnya terus-menerus mengembangkan nilai-nilai intelektualitasnya agar mampu bersiang dengan perputaran jaman dan pada puncaknya membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin.
Perubahan kekuatan Islam ini terjadi setidaknya disebabkan 2 faktor. Faktor pertama adalah masuknya pendidikan di Indonesia yang berakibat pada berubahnya motor pergerakan Islam Indonesia. Sebelum abad ke 20, Islam di Indonesia digerakkan oleh para sultan/raja yang terpisah secara geografis, bahasa, budaya dan telah terpengaruh banyak oleh kekuasaan Belanda. Memasuki abad ke 21 seiring dengan dikenalkannya pendidikan oleh Belanda, terjadi peralihan motor pergerakkan Islam ke arah para kiai yang juga kaum intelektual atau setidaknya kaum intelektual yang dekat dengan Kiai. Peralihan ini membawa efek positif yaitu pergerakan Islam tidak lagi terbatas oleh geografis, bahasa, dan budaya dan bahkan memiliki suatu tujuan yaitu menyatukan dan membentuk Indonesia Raya. Bahkan para tokoh-tokoh Islam terkemuka di jaman pergerakan nasional seperti HOS Tjokroaminoto, K.H Ahmad Dahlan, K.H Hasyim Anshori juga merangkap sebagai tokoh pergerakan nasional.
Faktor kedua adalah adanya wadah dari pergerakan Islam itu sendiri. Secara wadah, pada awalnya pergerakan Islam secara nasional dimulai dari munculnya Syarikat Islam yang pada mulanya difokuskan membantu usaha bisnis sesama kaum muslim (sosial), Munculnya Syarikat Islam kemudian disusul juga dengan lahirnya organisasi lain seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, Hidayatullah maupun organisasi-organisasi yang sifatnya adalah dakwah dan sosial. Sosial disini dapat dilihat dari fokus utama Muhammadiyah pada awal pendiriannya yaitu pendidikan dan kesehatan melalui sekolah-sekolah maupun rumah sakit, sementara NU melakukan yang sama melalui pesantren-pesantrennya. Karena pendekatan dilakukan secara sosial ini, organisasi Islam mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat.
Adanya organisasi dan penggerak organisasi inilah yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia di era 1900-1940an menjadikan Islam sebagai sebuah identitas yang sifatnya Nasional dan bukan lagi kedaerahan. Bahkan perjuangan jalur Islam boleh dikatakan menjadi warna tersendiri yang menyerupai ahimsa seorang Gandhi yang memfokuskan pada perjuangan damai yaitu melalui perjuangan sosial. Di era tersebut Islam belum menjadi sebuah kekuatan politik resmi, melainkan lebih sebagai kekuatan politik pasif. Kala itu hampir tidak ada satupun partai besar/berpengaruh di Indonesia yang berdasarkan Islam (kecuali Partai Syarikat Islam di era 1920an dengan tokohnya HOS Tjokroaminoto ) dan patut diingat bahwa tokoh-tokoh Islam di era itu tidak berpartai atau justru bergabung di partai lain.
Menarik untuk mencermati bahwa partai-partai Islam ini sendiri baru berdiri setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dimana kala itu organisasi-organisasi Islam berpengaruh (Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia) menyatakan diri membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Partai Masyumi ini memiliki beberapa perbedaan dengan PSII yang sebelumnya sudah berdiri dan boleh dikatakan tidak sesukses Masyumi. Masyumi di era itu secara terang-terangan mengusulkan cita-cita membentuk Negara Islam dan hal ini menjadi ideologi resmi partai tersebut yang disuarakan oleh tokoh utamanya seperti Natsir. Selain itu Masyumi juga bergerak di daerah pedesaan, tidak seperti PSII yang berfokus pada perkotaan saja. Kombinasi gerakan akar rumput. Ketokohan pimpinan partai ditambah ideologi yang kala itu sangat menyentuh keinginan sebagian masyarakat Indonesia terbukti membawa Masyumi meraih 20,9% suara dimana saat itu NU yang tadinya bergabung sudah keluar dan berhasil meraih 18,4% suara secara terpisah. Sehingga jika digabungkan suara keduanya sesungguhnya mencapai 39,3% suara dimana inilah kekuatan masif yang mengalahkan gabungan kekuatan Nasionalis-komunis.
Tetapi ada satu kesamaan antara Masyumi dengan PSII, kedua kekuatan ini dilemahkan dari dalam sehingga berujung pada pecahnya kedua partai yang pada akhirnya berakibat pada kematian kedua partai. Kejayaan Masyumi sendiri berlangsung dari era 1946-1959 dimana pada 1960 Masyumi resmi dibubarkan presiden Soekarno atas tudingan makar dan subversif melalui pemberontakan PRRI yang dilakukan beberapa tokoh Masyumi di daerah, meskipun konon ada faktor lain yaitu terkait kekritisan tokoh-tokoh Masyumi terhadap Soekarno. Berbeda dengan Masyumi, NU mampu menjaga hubungan baik dengan Soekarno dan ke depannya inilah yang sesungguhnya menjadi corak NU yaitu dekat dengan kekuasaan sehingga NU dapat selamat dari berbagai turbulensi politik yang ada.
Setelah Masyumi dibubarkan, praktis keterwakilan Islam di masa Soekarno banyak dipengaruhi oleh NU, melalui tokohnya Idham Chalied yang dikenal dekat dengan Soekarno. Akibat kekacauan politik pada era itu, praktis fokus umat Islam ada menghadapi ancaman komunisme, dimana politisi-politisi Islam kala itu cukup tertinggal dalam menghadapi manuver-manuver politisi-politisi komunis. Hal ini terbukti dengan munculnya Nasakom yang memasukkan komunis ke dalam ideologi dasar Indonesia, tetapi di era ini pula mulai bangkit generasi baru Islam yang mampu menghadapi komunis di kalangan akar rumput dan khususnya kalangan intelektual melalui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dimana tokoh-tokohnya antara lain adalah Nurcholis Madjid dan Akbar Tandjung. Berbeda dengan generasi tua (khususnya masyumi) yang mengusung paham Negara Islam dalam perjuangannya, HMI membawa angin segar sebagai Islam progresif di kala itu. Bahkan Soekarno menolak tuntutan PKI agar HMI dibubarkan karena menurutnya HMI adalah Islam Revolusioner dan pro revolusi. Organisasi ini secara tidak langsung mempelopori kebangkitan kedua Islam di Indonesia yaitu melalui perumusan kembali nilai-nilai keislaman yang telah disesuaikan dengan kondisi jaman dan ke depannya HMI dikenal memiliki jaringan yang kuat di berbagai partai dan dunia kenegaraan di Indonesia.
Seiring dengan kejatuhan Soekarno, maka umat Islam mendapat angin segar dimana kala itu umat Islam bekerjasama dengan tentara turut membantu penumpasan PKI. Tetapi angin segar ini hanya sesaat, melalui berbagai pemaksaan Soeharto melakukan fusi dimana partai-partai Islam yang sesungguhnya memiliki perbedaan-perbedaan pandang dipaksa bersatu di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP pada awalnya (1971-1982) cukup menunjukkan diri sebagai oposisi yang kuat dimana PPP menguasai Jakarta dan sempat melakukan walkout dalam sidang DPR 1982 yang menunjukkan adanya idealisme dalam mengkritik pemerintahan. Tetapi selepas keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1928 dimana NU tidak lagi secara resmi mendukung PPP dan adanya intervensi pemerintah maka kekuatan PPP menjadi melemah kembali.
Di era 1980an, seiring dengan menguatnya kalangan sekuler di pemerintahan maka kalangan Islam perlahan menyingkir dari dunia politik kembali ke dunia intelektual. Hal ini terlihat dengan mulai munculnya tokoh-tokoh intelektual Islam yang ditandai naiknya Abdurrahman Wahid menjadi ketua PBNU, dan kemudian kembalinya Habibie dan Amien Rais ke Indonesia. Di sisi lain gerakan keagamaan juga menguat dimulai dengan masuknya gerakan Tarbiyah di Indonesia pada masa itu. Tetapi di era ini pula umat Islam mengalami tekanan besar dengan berbagai peristiwa yang menyudutkan antara lain seperti peristiwa Tanjung Priok, pembajakan Garuda di Thailand yang dilakukan oknum Islam garis keras, dan puncaknya penetapan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara. Akibatnya pada era 1980an ini umat Islam boleh dikatakan sangat tersudutkan dan terpinggirkan dari dunia politik dan tata kenegaraan.
Kekuatan Islam kembali mendapat momentum pada 1988 di kala Benny Moerdani dicopot dari jabatan panglima TNI dan adanya isu dugaan makar yang dilakukan olehnya menyebabkan ia dijauhkan dari segala pusatkekuasaan. Hal ini berpengaruh sekali bagi gerakan Islam karena Benny Moerdani dikenal sebagai tokoh anti-islam dan sekaligus orang kepercayaan Soeharto di kala itu, hal ini memberi peluang adanya kekosongan pada posisi tangan kanan Soeharto yang kemudia diisi oleh Habibie yang pro-islam dan mendukung kemajuan gerakan Islam. Seakan mendapat angin segar, kalangan intelektual Islam kemudian merancang berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990. Bukan hanya itu di Golkar maupun ABRI sebagai organ utama kekuasaanpun mulai diisi oleh orang-orang Islam seperti Faisal Tanjung dan Akbar Tanjung.
Pada era 1990 inilah Soeharto mulai menunjukkan kedekatannya dengan kalangan Islam. Kalangan Islam pada era ini boleh dikatakan berpengaruh, tetapi berbeda situasi dengan pada jaman Soekarno dimana pengaruh Islam ini diwakilkan oleh partai-partai Islam maka pada era Soeharto pengaruh Islam ini diwakili oleh tokoh-tokoh Islam yang berada di partai nasionalis atau malah tentara sehingga secara tidak langsung boleh dikatakan ada pergeseran pemahaman politik Islam. Dimana Islam tidak lagi diperjuangkan oleh partai politik Islam tetapi melalui Pribadi-pribadi muslim di berbagai struktur kekuasaan.
Era ini berakhir seiring dengan jatuhnya Soeharto pada 1998 dimana membawa dampak pada munculnya berbagai partai Islam kembali yang dipimpin oleh para tokohnya seperti Abdurrahman Wahid di PKB dan Amien Rais di PAN. Partai-partai ini pada pemilu 1999 boleh dikatakan cukup sukses secara perolehan suara maupun kekuasaan meskipun tidak secara perolehan suara tidak sesukses pada pemilu 1955, tetapi pada pemilu ini struktur pemerintahan boleh dikatakan dikuasi oleh kalangan Islam dimana posisi presiden dikuasai Abdurrahman Wahid, Ketua MPR oleh Amien Rais dan Ketua DPR oleh Akbar Tanjung.
Menutup abad 20, Kalangan Islam sesungguhnya telah berhasil mencapai puncak kekuasaan. Dalam perjalanan panjangnya ini Islam telah mendapat berbagai tantangan yang memaksanya bertransformasi mulai dari ikatan dagang, ikatan sosial, ikatan politik, hingga akhirnya berhasil menggabungkan semua ikatan tersebut melalui sebuah simpul bernama ikatan intelektual. Perjalanan waktu membuktikan bahwa keislaman yang tidak didasari nilai-nilai intelektualitas tidak akan mampu hidup lama dalam dunia kemasyarakatan. Oleh karena itu umat Islam sudah seharusnya terus-menerus mengembangkan nilai-nilai intelektualitasnya agar mampu bersiang dengan perputaran jaman dan pada puncaknya membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin.