Politik Indonesia kembali dihangatkan oleh Mega-Skandal E-KTP pada persidangan E-KTP tahap pertama Kamis 9 Maret 2017. Dalam pembacaan dakwaan, nama-nama besar perpolitikan Indonesia disebut menerima aliran dana yang diduga merugikan Negara hampir 2 Triliun rupiah, setidaknya nama 1 Ketua DPR, 1 Menteri, 3 Gubernur, 2 Eks-Ketua DPR, 1 Eks-Menteri, dan puluhan anggota DPR diduga menerima aliran dana proyek ini.
Dalam tulisan ini ijinkan penulis menelaah implikasi politik dari skandal E-KTP. Pertama harus diingat bahwa saat ini hanya ada 2 orang dari pihak Kemendagri yang menjadi tersangka proyek ini, sementara nama-nama yang disebut masih belum menjadi tersangka maupun terpidana kasus. Dalam jangka pendek, daya tawar presiden akan menguat, mengingat posisi Presiden Jokowi pada 2012 yang masih sebatas Walikota Solo, dan kemungkinan besar tidak ada sangkut pautnya dalam skandal E-KTP. Di sisi lain daya tawar partai-partai kepada Presiden akan melemah mengingat banyaknya anggota dari berbagai partai yang terseret dalam skandal E-KTP. Perubahan daya tawar ini terlihat dengan adanya pertemuan Jokowi dan SBY pada hari yang sama saat persidangan E-KTP dilangsungkan.
Melihat efek jangka panjang dari skandal E-KTP, maka harus mempertimbangkan siapa saja nama-nama dalam dakwaan yang ditetapkan menjadi tersangka. Apabila nama-nama besar yang disebutkan dalam dakwaan tidak menjadi tersangka, tentu dampak kasus E-KTP secara politik akan sangat minim dan hanya memperkuat citra buruk DPR yang selama ini ada. Di sisi lain keseriusan pemerintahan dalam pemberantasan korupsi akan dipertanyakan apabila kasus E-KTP hanya menyeret “pion-pion” dari kasus ini.
Apabila nama-nama besar yang disebutkan dalam dakwaan menjadi tersangka, maka dapat dipastikan akan memicu maneuver partai politik untuk memberi tekanan pada pemerintah. Mengingat hampir semua partai politik termasuk partai pendukung pemerintah terlibat dalam kasus ini, bahkan 1 ketua partai dan 1 bendahara partai disebut menerima aliran dananya. Beberapa potensi kasus seperti 1). Papa Minta Saham, 2). Transjakarta dapat dikembangkan menjadi hak interpelasi atau hak angket untuk menekan pemerintah, kasus ini dapat menyeret tokoh-tokoh di pemerintahan dan memaksa adanya kompromi politik dari pemerintahan Jokowi.
Guncangan politik paling besar kemungkinan akan dirasakan oleh Golkar dan PDIP. Dalam kasus Partai Golkar, kedua pimpinan faksi yang bersaing ketat dalam Munas Golkar, disebut menerima aliran dana. Apabila keduanya menjadi terpidana akan mengubah peta faksi yang ada di Partai Golkar, dan dapat menimbulkan berubahnya peta faksi yang ada. Di satu sisi hal ini akan berdampak pada turunnya elektabilitas partai, tetapi di sisi lain dapat membuat munculnya generasi kepemimpinan yang baru di dalam partai.
Sedangkan dalam kasus PDIP, nama yang terseret adalah bendahara partai selama periode 2009-2019, peran bendahara dalam partai sangat krusial dalam mencari dan mengalirkan dana ke seluruh anggota partai. Layaknya kasus Nazaruddin, apabila terbukti bersalah bukan tidak mungkin dapat menjadi “kotak Pandora” kasus yang mengarah kepada anggota partai yang lain. Hal ini ditambah dengan disebutnya beberapa kader-kader potensial PDIP lainnya yang diduga menerima aliran dana E-KTP tentu dapat mengancam kepemimpinan partai banteng ini.
Guncangan politik di kedua partai dapat menimbulkan kekecewaan PDIP dan Partai Golkar, dimana para petinggi partai menilai dukungan yang diberikan kepada pemerintahan tidak ada artinya. Kekecewaan ini dapat berujung pada berbaliknya dukungan partai kepada pemerintahan saat ini. Bersama partai lain, keduanya dapat menghambat kebijakan pemerintah, dan menunggu waktu yang tepat untuk mengekspose kelemahan pemerintah.
Implikasi politik lain yang tidak kalah menarik adalah keterlibatan Gubernur DKI non-aktif saat ini yang merupakan aliansi dari Presiden. Meskipun namanya tidak disebut secara langsung dalam persidangan, tetapi secara tidak langsung namanya termasuk dalam bagian 37 anggota DPR Komisi II yang diduga menerima aliran dana. Keterlibatan dana ini dapat menjadi amunisi politik dalam Pilgub DKI putaran kedua. Tetapi lawan politiknya tentu harus berhati-hati memanfaatkan kasus ini sebagai amunisi politik, karena dapat menyinggung keterlibatan pihak-pihak lain yang termasuk dalam kubu yang sama di Pilgub DKI.
Tentu ada alasan ke 37 nama ini tidak disebutkan secara rinci, salah satunya adalah karena dana yang ada tidak langsung diterima ke 37 nama ini beserta dengan 13 pimpinan komisi dan kapoksi lainnya. Tanggungjawab membagikan uang ini disebut-sebut berada di bawah kendali AW, yang merupakan seorang politisi PDIP.
Keberadaan operator ini menjadi titik kunci apakah benar bahwa kucuran dana E-KTP dibagikan dan diterima oleh 37 eks anggota komisi II yang disebut. Apabila terbukti ke 37 nama ini menerima kucuran dana, Presiden Jokowo akan dihadapkan pilihan yang lebih sulit mengingat keberadaan aliansi politiknya dalam pusaran dana ini. Kondisi ini tentu dapat dimanfaatkan para tersangka lain untuk memaksa presiden melakukan kompromi politik.
Sebelum menutup tulisan ini, penulis kembali menekankan bahwa secara yuridis hampir seluruh nama yang disebut belum menjadi TERSANGKA apalagi TERPIDANA kasus E-KTP. Adalah hal yang NAIF, UTOPIS dan SESAT PIKIR jika ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa hanya 1 dari 51 anggota komisi II DPR yang menolak dana E-KTP, pun demikian dengan pihak-pihak yang mengklaim bersih dan tidak terlibat kasus ini, karena faktanya secara hukum belum ada yang terbukti bersalah maupun terbukti benar dalam skandal ini.
Melihat situasi yang terjadi, dapat dipastikan bahwa kondisi politik Indonesia akan memanas dalam beberapa bulan ke depan yang dapat berlanjut hingga pemilu 2019. Masyarakat patut menyimak maneuver pemerintah, nama-nama terkait, partai politik, dan KPK dalam melakoni skandal E-KTP ini. Di sisi lain peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam dalam mengawal kasus E-KTP secara objektif, tanpa melupakan asas praduga tak bersalah dari setiap nama yang disebut dalam dakwaan. Terlepas dari implikasi politik dari kasus E-KTP, semoga kasus ini dapat menjadi awal penegakan hukum yang baik dan tidak tebang pilih di Indonesia.
*Disclaimer – Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan merupakan analisa atas skenario potensial yang dapat terjadi, tanpa mempertimbangkan aspek hukum yang sedang berlangsung*