Jumat, 06 November 2009

KPK vs Polri : Kisruh Politik-Hukum di Indonesia

2 Minggu terakhir ini Indonesia diguncang "pertarungan" 2 lembaga hukum terkuat di Indonesia yaitu Polri dengan KPK. Permasalahan utama adalah ditetapkannya 2 wakil ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad sebagai tersangka dalam dugaan kasus penyalahgunaan wewenang. Diduga penetapan ini merupakan rekayasa dari pihak kepolisian untuk menghentikan laju pemberantasan korupsi di Indonesia serta menyelamatkan Kabareskrim polri yaitu Bambang Susno Duadji yang dianggap terlibat kasus Bank Century.

Lalu apa yang sesungguhnya menjadi motif dan akar permasalahan ini? Akarnya tidak lain bermula dari penetapan Ketua KPK Antasari Azhar dalam sebuah kasus pembunuhan, yang kemudian merembet pada testimoni Antasari bahwa kedua ketua KPK tersebut turut menerima dana suap dari seorang pengusaha. Tetapi jika dilihat lebih jauh memang tampak ada konspirasi besar di balik kasus-kasus yang terjadi secara beruntun sepanjang tahun ini yang terlihat melemahkan KPK. Institusi KPK sebagai Superbody dalam pemerintahan Indonesia memang menjadi pisau bermata dua, maka wajar saja jika ada usaha melemahkan KPK.

Sebelum menilai kasus ini ada baiknya kita melakukan evaluasi terhadap kinerja KPK. Kinerja KPK dibawah Antasari Azhar boleh dikatakan mendapat respons positif di masyarakat, tetapi sesungguhnya kinerja KPK bukannya tanpa cela. Kesalahan pertama KPK sebagai sebuah institusi adalah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum ini antara lain adalah penangkapan anggota legislatif, bupati dan gubernur tanpa izin presiden, penyadapan telepon orang-orang yang tidak terindikasi kasus korupsi dan pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam pengadilan. Hal ini terlihat dari fakta bahwa orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK dipastikan terkena vonis pengadilan, bahkan KPK juga melakukan pemaksaan bukti seperti yang sekarang dilakukan Polri terhadap KPK. KPK juga melakukan tebang pilih dan tidak berani membongkar kasus diatas 100 milyar yang dilakukan pejabat teras negeri ini dan cenderung menargetkan "koruptor kelas menengah".

Hal ini terjadi karena tidak ada pihak yang mengontrol perilaku KPK, masyarakat yang menganggap dirinya cukup sebagai pengontrol KPK cenderung tidak melihat sepak terjang KPK dari berbagai sisi. Sedangkan presiden sebagai pemegang kuasa tertinggi malah menjadikan KPK sebagai ATM popularitas menjelang pemilu. Fakta ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa pelemahan KPK dilakukan setelah pemilu, sehingga dapat dipastikan presiden mengetahui dan membiarkan konspirasi pelemahan KPK ini.

Ada 2 Isu yang beredar seputar mengapa presiden membiarkan terjadinya pelemahan KPK ini, Pertama ialah isu ancaman perceraian oleh menantu presiden karena ayahnya Aulia Pohan ditahan. Masalahnya adalah SBY mengetahui bahwa besannya itu bukan hanya ditahan tapi juga diperas oleh pihak KPK. Hal inilah yang tidak diketahui masyarakat luas, bahwa semua pihak yang ditangkap KPK juga diperas oleh KPK agar mendapat keringanan hukuman maupun keringanan tempat penahanan. Hal ini jelas memberatkan, karena para tersangka bukan hanya membayar kerugian negara (yang 25% hasilnya masuk secara resmi ke KPK) tetapi juga membayar suap kepada pihak KPK.

Isu kedua adalah karena KPK mulai menyidik kasus bank century, dimana jika kasus bank century dibuka akan berakibat pada presiden SBY, wapres terpilih Boediono dan Menkeu Sri Mulyani. Selain itu seperti yang diungkap sebelumnya kinerja KPK juga dinilai membahayakan karena tidak ada yang bisa mengontrol KPK, sehingga KPK menjadi Superbody yang bisa menangkap siapa saja yang terindikasi kasus korupsi (meskipun bisa jadi orang tersebut tidak melakukannya) tanpa melewati prosedur hukum yang berlaku.

Kembali ke kasus Polri vs KPK, boleh dikatakan Polri yang sebelumnya mendapat angin segar dari presiden untuk memperkarakan KPK saat ini terlihat kewalahan karena tidak mendapat dukungan sama sekali baik dari Kejaksaan (yudikatif), Presiden (Eksekutif), DPR (legislatif) dan khususnya oleh masyarakat. Bahkan Polri diisukan akan menangguhkan penahanan para wakil ketua KPK.Terlepas dari perilaku KPK yang sesungguhnya tidak sepenuhnya jujur, perilaku polri yang seperti ini justru mengindikasikan bahwa Polri mengada-ada dalam memperkarakan KPK. Seharusnya apabila Polri yakin para wakil ketua KPK tersebut bersalah, maka Polri harus menindaklanjuti proses hukum yang ada dengan mematuhi asas praduga tak bersalah.

Tetapi tampaknya solusi yang paling baik saat ini adalah membentuk tim independen yang terdiri dari para akademisi, kejaksaan, polisi dan aktivis untuk mengawasi jalannya proses hukum ini serta menilai apakah bukti-bukti yang diajukan Polri memadai untuk memperkarakan kedua wakil ketua KPK tersebut. Eksistensi KPK sebagai sebuah lembaga hukum pemberantasan korupsi haruslah dipertahankan dan tetap menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. Meskipun begitu oknum-oknum KPK yang melanggar hukum tetaplah harus ditindak, jangan karena image baik KPK di masyarakat maka para oknum KPK ini seakan-akan kebal hukum. Selain itu perangkat hukum yang menunjang KPK juga seharusnya diperkuat dan diperjelas, agar tindakan KPK dapat disesuaikan dengan hukum yang berlaku. Ke depannya jangan sampai ada konspirasi untuk melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia, tetapi masyarakat harus juga proaktif dalam mengawasi kinerja KPK agar hukum dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di Indonesia.

Tidak ada komentar: