April 2009, Partai Golkar (PG) mengalami kekalahan dalam pemilu legislatif. Perolehan partai beringin ini turun menjadi 14 persen dan hanya menempati urutan kedua di parlemen. Kekalahan ini tidak lepas dari mismanagemen partai selama 5 tahun masa kepemimpinan Jusuf Kalla, boleh dikatakan JK terlalu sibuk menjalani perannya sebagai wapres dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai Ketua Umum Golkar. Dari hal ini terlihat jelas bahwa sudah seharusnya ketua umum sebuah partai tidak melakukan rangkap jabatan dengan di pemerintahan.
JK kemudian melakukan blunder politik dengan mengajukan dirinya sebagai calon wapres tunggal dari PG, tanpa melihat gelagat penolakan dari SBY. Sudah menjadi rahasia umum diantara para politisi bahwa SBY merasa sering dilangkahi oleh JK dan lebih memilih calon lain dari PG pada saat itu yaitu antara lain Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie dan Andi Mattalata dengan syarat mereka dicalonkan secara resmi oleh PG. Tetapi keputusan JK saat itu sudah tetap bahwa PG hanya mencalonkan dirinya sebagai cawapres yang ternyata menimbulkan perpecahan dengan SBY. JK kemudian mencalonkan diri sebagai capres dan di luar dugaan berhasil tampil impresif dalam berbagai penampilan publik. Tetapi kenyataannya JK kalah dalam pilpres, terlepas dari berbagai problem internal-eksternal yang ada.
Pada 8 Oktober lalu sesuai dugaan Aburizal Bakrie atau Ical menang dalam Munas Partai Golkar di Pekanbaru. Terlepas dari acara Munas yang seperti acara lawak, Surya Paloh sanggup menempel perolehan suara cukup ketat, hal ini tidak lepas dari pengarahan JK agar para ketua DPP sulawesi mengalihkan dukungan ke Surya Paloh. Tetapi yang di luar dugaan adalah susunan pengurus yang begitu gemuk dan tidak efisien, hal ini menunjukkan betapa unsur akomodatiflah yang menjadi faktor utama penyusunan pengurus inti dan bukannya unsur keinginan memajukan Partai Golkar. Sejumlah bidang baru muncul seperti bidang umum dan khusus yang tidak jelas pekerjaannya atau pun bidang mahasiswa-pemuda dan kaderisasi yang sebetulnya merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Orang2 yang muncul di DPP pun banyak yang tidak kompeten atau tidak tepat, sebut saja Rizal Mallarangeng dan Sekjen Idrus Marham yang merupakan "Titipan Cikeas" atau Titiek Soeharto yang seakan ingin merangkul keluarga cendana. Selain itu hadir pula para penjilat Golkar seperti Priyo Budi Santoso, Agung Laksono dan berbagai orang tidak kompeten lainnya. Meskipun hadir pula sejumlah pengurus yang kompeten, tetapi boleh dikatakan pengurus saat ini hanya sedikit lebih baik dibanding pengurus terdahulu. Terjadi ketimpangan diantara para pengurus dan ketua dpp dimana sebagian memiliki kemampuan baik dan sisanya tidak bisa kerja.
Keputusan lain yang disayangkan adalah Golkar secara resmi mendukung pemerintahan, padahal sebagian fungsionaris golkar menginginkan agar Golkar memposisikan diri secara Independen dan tidak memformalkan koalisi. Selain itu unsur akomodasi kedaerahan juga ditinggalkan dimana kebanyakan anggota DPP berasal dari Sulawesi yang notabenenya adalah pengkhianat bagi Aburizal Bakrie dalam pemilihan munas lalu. Kekecewaan saat ini mulai timbul dalam Partai Golkar, sejumlah isu yang beredar adalah keinginan Surya Paloh membuat partai baru atau perpindahan sejumlah kader ke demokrat dan gerindra. Hal ini tidak lepas dari ketidakyakinan sejumlah fungsionaris akan masa depan golkar
Lalu bagaimana Golkar ke depannya? Ke depannya dapat dipastikan Ical akan mengucurkan dana besar untuk menghidupkan mesin partai, selain itu Kaderisasi dan penguatan militansi tampaknya akan menjadi prioritas utama Golkar 5 tahun mendatang. Masalahnya adalah apakah DPP saat ini mampu mengimplementasikan program yang ada menjadi tindakan nyata? Tampaknya cukup sulit, selain itu ada kekhawatiran bahwa dana yang besar justru akan diambil oleh sejumlah pengurus yang tidak bertanggung jawab. Di daerah2 pun para ketua golkar sudah terlanjur pragmatis dan bergerak hanya karena uang dan bukan idealisme
Jika memang golkar ingin maju, maka Golkar ke depan harus berani mengkritik pemerintah dan menunjukkan bahwa Golkar tidak didikte Cikeas, Golkar juga harus berani mengambil kader non-parpol yang populer sebagai calon kepala daerah maupun calon presiden 2014 mendatang. Karena jika tidak maka pada 2014 golkar akan menurun perolehan suaranya dan tidak dapat bangkit lagi seperti PPP maupun PKB. 2014 akan menjadi penentu bukan hanya bagi masa depan Golkar tapi juga masa depan Indonesia, karena pada 2014 kepemimpinan akan berada di tangan generasi baru dan golkar sebagai sebuah partai besar (sampai saat ini) harus mengambil bagian pada suksesi 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar