Dalam pandangan penulis ada satu permasalahan utama mengapa hal ini terjadi, yaitu adanya penyempitan makna pergerakan mahasiswa menjadi hanya sekedar melakukan demonstrasi dan aksi-aksi protes saja. Demonstrasi menjadi trademark bahkan sebagian pihak menganggap bahwa pergerakan mahasiswa tanpa demonstrasi bukan merupakan pergerakan mahasiswa, padahal sesungguhnya demonstrasi merupakan bagian kecil dari pergerakan mahasiswa.
Para pendukung demonstrasi mungkin dapat membela diri bahwa demonstrasi merupakan aksi yang berhasil menurunkan Soekarno dan Soeharto dari tampuk kekuasaan. Tetapi kita harus melihat bahwa pada era tersebut baik Rezim Soekarno dan Soeharto merupakan pemimpin otoriter yang bebal terhadap kritik, dan lebih buruknya hal ini didukung pula oleh pejabat-pejabat tinggi di sekitarnya. Maka tiada jalan lagi di kala itu bahwa mahasiswa dalam melakukan pergerakan harus melalui demonstrasi, mengingat akses ke media di sensor dan pejabat-pejabat enggan ditemui untuk melakukan diskusi dan sekedar tukar pendapat. Namun harus diingat bahwa era ini sudah berlalu. Saat ini Indonesia sudah memasuki era demokrasi, meskipun sebagian pejabat Indonesia tidak kooperatif masih ada pejabat-pejabat yang terbuka menerima diskusi, kritik maupun saran dari mahasiswa. Akses ke media pun sudah dibuka seluas-luasnya, semua orang bisa mengirimkan pendapatnya ke media tanpa ancaman sensor.
Lalu ada alasan apa lagi bagi mahasiswa untuk terus menerus menjadikan demonstrasi sebagai simbol dari pergerakannya? Boleh dikatakan hampir tidak ada, banyak demonstrasi yang dilakukan hanya oleh 100-200 orang dengan isu-isu yang tidak jelas dan tanpa penjelasan yang jelas pula kepada masyarakat. Demonstrasi dalam skala kecil semacam ini hanya menghabiskan waktu dan membuat kemacetan, menghabiskan waktu karena sesungguhnya isu yang mereka sampaikan tidak didengar oleh pihak-pihak yang mereka datangi untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Inilah realita pergerakan mahasiswa saat ini, akibatnya adalah mahasiswa-mahasiswa pintar dan memiliki intelektualitas tinggi cenderung menghindar dari aksi-aksi semacam ini. Para mahasiswa ini memilih berfokus pada pelajaran, mengikuti kegiatan-kegiatan sosial atau mengembangkan bakatnya. Tanpa dipimpin dan didukung mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual maka pergerakan mahasiswa akan sia-sia dan kehilangan esensinya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengubah kondisi ini? Kunci dari semua ini adalah satu : Reformasi Pergerakan Mahasiswa. Jika selama ini mahasiswa mendesak reformasi, maka saat ini mahasiswalah yang seharusnya mereformasi dirinya sendiri. Pergerakan mahasiswa harus dikembalikan menjadi berdasar pada akal sehat. Demonstrasi-demonstrasi ke depannya harus didukung dengan berbagai data dan bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu seluruh Mahasiswa di Indonesia harus mau membuka diri bahwa Pergerakan Mahasiswa bukan hanya demonstrasi.
Pergerakan mahasiswa ke depan dalam opini penulis adalah suatu gerakan yang menitikberatkan pada kegiatan diskusi, kegiatan advokasi, dan kegiatan sosial. Kegiatan diskusi adalah dasar dari segala pergerakan mahasiswa. Layaknya Hatta yang memimpin kelompok diskusi yang membahas perjuangan bangsa Indonesia, maka itulah yang harus ditiru oleh mahasiswa saat ini, mahasiswa harus melakukan diskusi menyeluruh mengenai apa yang menjadi masalah dasar dari negara ini.
Dari diskusi ini, maka masalah ini harus disuarakan ke dalam forum-forum terbuka agar masyarakat tahu dan paham apa yang menjadi perhatian mahasiswa saat ini. Harus diingat bahwa forum terbuka disini bukanlah demonstrasi, melainkan harus diutamakan penulisan-penulisan di koran maupun audiensi dengan pejabat terkait. Tetapi peran mahasiswa tidak boleh berhenti sampai disitu, mahasiswa harus mampu memikirkan solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah-masalah bangsa. Analisa masalah dan penciptaan solusi tidak mungkin ada tanpa diskusi, maka hal inilah yang mendasari mengapa peran diskusi sangat penting dalam reformasi pergerakan mahasiswa.
Beranjak dari solusi yang ada, maka mahasiswa harus memilah mana saja solusi yang dapat dilakukan sendiri dan mana yang harus diperjuangkan ke pemerintah. Solusi yang dapat dilakukan oleh mahasiswa inilah yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan sosial dimana mahasiswa dapat turun tangan membantu masyarakat melalui berbagai program seperti community service, menjadi pengusaha yang dapat membuka lapangan kerja, menciptakan teknologi baru maupun program-program lain yang dapat menaikkan kesejahteraan masyarakat.
Sementara solusi yang harus diperjuangkan ke pemerintah bisa melalui jalur advokasi. Jalur advokasi ini sekali lagi bukan hanya demonstrasi, mahasiswa dapat membuat tulisan-tulisan yang mengkritik ataupun memberi solusi kepada pemerintah di berbagai media massa, mahasiswa pun harus menghilangkan stigma bahwa mereka harus menjauhkan diri dari para pemegang kekuasaan. Sebaliknya mahasiswa harus membuka diri dan membuat jaringan-jaringan lobi terhadap pemegang kekuasaan, sehingga dalam menyampaikan kritik dan saran akan bisa langsung disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang. Satu hal yang harus diingat mahasiswa bahwa pemerintah tidak dapat menyelesaikan masalah di Negara ini seorang diri dan mahasiswa pun tidak dapat menyelesaikan semua masalah negara ini. Maka perlu ada kerjasama yang erat antara mahasiswa dan pemerintah dalam membangun bangsa. Mahasiswa sudah semestinya menjadi mitra kerja sekaligus pengawas pemerintah yang melakukan check & balance agar tercipta pemerintahan yang bersih dan sehat.
Perubahan paradigma ini tentu tidak dapat diterima dengan mudah oleh beberapa pihak, tetapi percayalah tanpa reformasi maka pergerakan mahasiswa akan mati. Mati karena tampaknya dalam beberapa tahun terakhir ini sebagian orang yang menyebut dirinya aktivis telah mengalami euphoria kekuasaan tanpa mereka sadari, mereka merasa bahwa mahasiswa adalah penyuara kepentingan masyarakat dan merupakan kekuatan yang dapat menumbangkan pemerintahan. Pemikiran inilah yang tanpa sadar justru melemahkan pergerakan mahasiswa saat ini, karena sesungguhnya sebagian aktivis mahasiswa tidak lagi membawa kepentingan masyarakat, yang mereka suarakan tidak lebih dari opini pribadi mereka atau pemberitaan media massa tanpa melihat langsung realita di lapangan. Maka dari itu pergerakan mahasiswa saat ini telah mengalami delegitimasi dari masyarakat. Sadarlah mahasiswa! Reformasi pergerakan mahasiswa adalah sebuah keniscayaan, pilihannya hanya dua, reformasi atau mati!