Sabtu, 12 Maret 2011

Ketuhanan dan Kemanusiaan : Sebuah Renungan Jum'at

Untuk memulai tulisan ini ijinkan saya mengutip sebuah surat, yaitu surat Al-Hasyr ayat 9, dimana Allah berfirman

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ayat ini menjelaskan betapa islam mengajarkan untuk mendahulukan kepentingan sesama manusia yang merupakan bagian dari hablumminannas atau hubungan manusia terhadap manusia. Hablumminannas adalah bagian penting dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, secara garis besar habluminannas dapat diwujudkan melalui perilaku saling menghormati sesama manusia, dan tidak mencari kekurangan atau kesalahan orang lain.

Tetapi kenyataannya banyak kaum muslim melupakan hablumminannas atas nama agama maupun ibadah kepada Allah. Bagi yang pernah menjalankan ibadah umroh atau haji, maka pasti pernah melihat betapa ramainya kerumunan umat di mesjid.Nabawi maupun Masjidil Haram. Di Makkah, setiap harinya selalu ada orang-orang yang berkerumun berusaha mencium hajar aswad. Dalam prakteknya orang-orang ini tidak peduli apakah ketika mereka berusaha mencium hajar aswad mereka melukai orang yang berada di sebelah mereka, bahkan terkadang mereka menginjak-injak orang yang mereka sebut saudara sesama muslim. Orang-orang semacam ini larut dalam suasana yang menurut mereka khusyuk, mereka merasa untuk menjalankan ibadah mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau dan sah-sah saja bagi mereka untuk melukai orang atas nama ketidaksengajaan dalam beribadah. Hal serupa juga terjadi di mina, dimana orang-orang berdesakan melempar batu hingga menghimpit orang-orang di sekelilingnya.

Tetapi anehnya meskipun ibadah haji dari tahun ke tahun memakan korban jiwa baik karena kelelahan fisik maupun akibat kecelakaan seperti runtuhnya terowongan mina pada tahun 1993, orang-orang banyak yang tidak belajar dari pengalaman. Mereka sering memaksakan diri untuk mendapatkan hal-hal yang sifatnya sebetulnya sunah, seperti melempar jumroh pada jam tertentu atau berdoa di tempat-tempat yang dianggap lebih makbul. Mereka terkadang melupakan bahwa jika mereka meninggal maka kewajiban mereka seperti membesarkan anak atau menafkahkan istri tidak dapat mereka jalankan dan peluang mereka untuk melakukan amal ibadah lebih banyak pun hilang dengan sendirinya.

Contoh lainnya adalah dalam melaksanakan ibadah haji, banyak orang yang berulang kali menunaikan ibadah haji seakan-akan di sekelilingnya tidak ada lagi orang yang membutuhkan bantuan atau zakat. Terkadang timbul keheranan dalam diri saya, apakah setelah orang tersebut pergi haji ia menjadi lebih baik? Atau apakah dengan seseorang pergi haji berulang kali, ia dapat membuat lingkungannya menjadi lebih baik? Padahal dengan uang 50 juta yang dikeluarkan orang untuk menunaikan ibadah haji, ia bisa memanfaatkan uang itu untuk membantu orang-orang kurang mampu. Secara logis lebih baik jika uang tersebut dipakai sebagai modal usaha bagi orang lain atau untuk membuka lapangan kerja, dengan begitu orang yang ditolong bisa saja menjadi sukses dan dengan sendirinya ia mampu menunaikan ibadah haji.

Menurut data setidaknya dalam 1 tahun ada 200 ribu jamaah haji Indonesia yang diberangkatkan untuk menunaikan ibadah haji. Jika kita berandai-andai bahwa 10 persen dari jamaah tersebut menjalankan ibadah haji untuk kedua kali atau bahkan kesekian kalinya, maka akan ada 20 ribu orang jamaah haji yang sesungguhnya mampu menggunakan uangnya dijalan yang lebih baik. Dan jika angka 20 ribu ini dikalikan 50 juta maka akan terkumpul uang sebesar 1 trilyun setiap tahunnya yang dapat dipakai untuk menyekolahkan anak kurang mampu atau memberdayakan masyarakat sekitar.

Bahkan dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Seorang yang shalih bernama Abdullah ibnu al-Mubarak, tertidur di sela-sela menjalankan ibadah haji. Dalam tidurnya, dia bermimpi melihat 2 malaikat yang sedang berbincang. Malaikat yang satu bertanya pada yang satunya lagi: berapa jumlah manusia yang melakukan ibadah haji pada tahun ini? Malaikat yang satu menjawab: 20 ribu. Berapakah yang diterima ibadah hajinya? Tidak satupun. Yang diterima justru yang tidak berada di sini, dia adalah seseorang yang berprofesi sebagai penyemir sepatu.

Karena mendengar perbincangan 2 malaikat itu, Abdullah terbangun dengan kaget. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah mengarungi berbagai bentuk kesengsaraan untuk dapat beribadah haji, namun semuanya tidak ada yang di terima. Tercenunglah ia, timbul keinginan hatinya untuk menemui sang penyemir sepatu, amalan apa yang menyebabkan dia beroleh karunia yang besar sehingga di terima hajinya padahal dia tidak berhaji.

Tidak lama setelah menyelesaikan rangkaian ibadah hajinya, Abdullah bergegas untuk menuju daerah yang di sebutkan oleh malaikat itu. Ketika menemui orang yang dimaksud Abdullah menceritakan mimpinya pada orang itu dan bertanya: sesungguhnya amalan apa yang membuat engkau mendapat karunia yang besar di sisi Allah? Mendengar cerita dan pertanyaan Abdullah, penyemir sepatu tersebut menjawab bahwa ia telah bertahun-tahun lamanya mengumpulkan sedikit demi sedikit uang demi berkunjung ke Baitullah, dan pada tahun tersebut jumlah uang yang ia miliki mencukupi untuk beribadah haji. Namun, menjelang keberangkatannya, seorang anak kecil mendatanginya, mengabarkan tentang ibunya yang sakit selama berhari tanpa obat dan makanan. Hal ini menimbulkan kebingungan pada sang penyemir sepatu apakah ia memilih untuk beribadah haji atau memberikan uang untuk membantu ibu tersebut, dan akhirnya ia memilih menyerahkan seluruh tabungannya kepada ibu itu,

Orang-orang seperti ini meskipun tidak beribadah haji, tetapi digelari haji sosial. Mereka bahkan mendapat tempat yang lebih utama daripada orang yang menunaikan ibadah haji. Jika direnungkan, hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam rukun Islam, dimana zakat menempati urutan keempat sesudah syahadat, sholat dan puasa, sedangkan haji berada di urutan kelima? Tentu penempatan ini bukan tanpa sebab, secara tidak langsung jika boleh diterjemahkan hal ini dapat bermakna, “dahulukanlah ibadah zakat diatas ibadah haji”. Zakat disini dapat dijadikan sebagai simbol perilaku hablumminnas dan Allah SWT melalui rukun islam menjelaskan pentingnya hablumminnas.

Manusia terkadang melupakan pentingnya menjaga hablumminnas ini. Padahal hubungan antar manusia merupakan hal yang jauh lebih rumit jika dibandingkan hubungan manusia dengan Tuhan. Karena apabila manusia berbuat salah terhadap Tuhan, maka Tuhan masih dapat mengampuni sejauh tidak dalam batas syirik. Sedangkan hubungan dengan manusia, jika seseorang berbuat salah belum tentu manusia mampu memaafkan. Bahkan tuhan tidak menerima amal ibadah seseorang jika ia tidak dimaafkan oleh orangtuanya khususnya ibunya. Dapatlah dikatakan bahwa, “sia-sialah semua amal ibadah yang sudah ia kerjakan, hanya karena ia tidak menjaga hubungan baik dengan manusia”.

Lebih jauh lagi adalah banyaknya orang-orang yang setiap hari menunaikan ibadah dengan baik, tetapi diluar itu ia tetap menghina orang lain, melakukan korupsi, mengambil hak orang atau bahkan menjadi peledak bom dan melakukan perbuatan negatif lain. Secara tidak langsung orang-orang ini merusak image orang terhadap islam, karena orang dapat berpikiran, “ternyata orang-orang yang sholat 5 waktu dan ibadahnya baik perilakunya buruk, berarti kalau begitu islam mengajarkan keburukan”

Bandingkan jika seorang muslim yang mungkin ibadahnya pas-pasan atau bahkan kurang, tetapi berzakat, sopan terhadap orang-orang, menegakkan keadilan atau bisa dikatakan akhlak sosialnya baik. Hal ini akan membuat orang berpikir, “Orang ini ibadahnya kurangpun tetap berakhlak baik, jika ia beribadah dengan sempurna pasti akhlak sosialnya akan luarbiasa baik. Berarti islam itu agama luarbiasa karena orang yang ibadahnya kurangpun akhlaknya tetap baik”

Jika direnungkan bukankah lebih baik jika orang yang akhlak sosialnya buruk, tidak perlu menjalankan ibadah? Karena hal tersebut tidak membawa kebaikan justru keburukan bagi orang tersebut. Saya tidak sedikitpun berniat menyarankan jamaah untuk meninggalkan ibadah Islam, tetapi satu hal yang harus disadari adalah ketika seseorang menjalankan ibadah sebagai seorang muslim, ia memiliki tanggung jawab sosial sebagai seorang muslim juga.

Inilah bagian yang sering dilupakan manusia bahwa tanggung jawab sebagai seorang muslim tidak hanya terbatas pada Tuhan semata, tetapi tanggung jawab manusia terhadap Tuhan diharapkan membawa manusia pada perilaku sosial yang baik terhadap sesamanya. Bukan karena seseorang telah menjalankan ibadah lalu ia merasa dapat berbuat semua hal yang ia inginkan, karena dengan asumsi bahwa nantinya Tuhan akan mengampuni dosanya. Hal semacam ini sesungguhnya lebih buruk daripada orang yang tidak memahami apa-apa tapi tetap berbuat baik, karena orang tersebut seakan-akan mempermainkan Tuhan. Mempermainkan Tuhan, karena ia sesungguhnya tahu apa yang dianjurkan dan apa yang dilarang tetapi ia tetap melakukan yang dilarang. Tetapi tentu saja sebaiknya-baiknya pilihan adalah menjadi muslim yang taat dengan akhlak sosial yang baik pula.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa pertama kita sebagai kaum muslim hendaknya tidak melupakan hablumminnas dalam kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya habluminnas dengan habluminallah harus berjalan secara seimbang. Kedua sebagai kaum muslimin maka tentu lebih utama mengutamakan kepentingan bersama daripada ego pribadi yang sifatnya sesaat.

Ketiga dalam beribadah harus dilihat apakah ibadah yang dilakukan itu lebih banyak manfaat atau mudharatnya, Jika ternyata ibadah yang dilakukan malah melukai orang lain atau membuat orang lain merugi, maka lebih baik ibadah tersebut dialihkan menjadi kegiatan lain yang lebih positif. Lalu poin berikutnya adalah dalam hidup ini segala sesuatu hendaknya dijalankan secara seimbang dan tidak berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan tidaklah membawa kebaikan meskipun niat awalnya adalah sesuatu yang baik. Dan terakhir harus diingat bahwa dengan menjadi seorang muslim, maka kita memiliki tanggung jawab yang tidak hanya pada Tuhan saja tetapi pada manusia masyarakat dan lingkungan sekitar. Poin-poin ini insyaallah dapat membawa kita menjadi muslim yang lebih baik dan lebih bermanfaat khususnya terhadap masyarakat, lingkungan dan tentunya Allah SWT.

Tulisan ini adalah adaptasi dari khotbah jumat di Masjid Al-Izhar Pondok Labu

Tidak ada komentar: