Senin, 07 Maret 2011

Roti dan Demokrasi Sebuah Perspektif Memandang Revolusi Timur Tengah

Ketiadaan “Roti” sebagai pemicu Revolusi Timur Tengah
Selama 1 Bulan Terakhir, dunia diguncangkan dengan terjadinya revolusi berskala besar di Timur Tengah. Dimulai dari Tunisia, merambat ke Mesir dan memanaskan situasi di Libya, Bahrain, Yaman, Oman, Yordania dan bahkan Arab Saudi. Apa yang sesungguhnya terjadi pada negara-negara tersebut yang memicu terjadinya revolusi? Secara garis besar, revolusi terjadi karena adanya pengekangan hak-hak sosial dan politik yang ada pada masyarakat timur tengah. Namun, ketika dianalisa lebih mendalam, sesungguhnya pengekangan ini sudah terjadi sejak sekian lama, lalu apa yang mengakibatkan revolusi itu meledak saat ini?

Jawaban dari meledaknya revolusi tersebut dalam opini penulis tidak lain adalah kenaikan harga pangan, yang mencekik kehidupan masyarakat kecil di timur tengah. Meminjam judul sebuah thesis oleh Alexander Gerschenkron, yang berjudul “Roti atau Demokrasi”, yang di dalamnya menyatakan bahwa ada kaitan antara keberadaan roti (pangan-kebutuhan hidup) dengan demokrasi (hak-hak sosial-politik). Tetapi sesungguhnya makna “Roti atau Demokrasi” bisa diterjemahkan lebih luas dalam konteks keberlangsungan sebuah negara.

Jika menilik makna “Roti atau Demokrasi” sebuah negara yang ideal adalah negara yang bisa memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya dan di sisi lain memberikan hak-hak sosial-politik pada masyarakatnya dimana artinya roti dan demokrasi sama-sama dimiliki oleh masyarakat negara tersebut. Di sisi lain Negara yang memberikan roti tanpa demokrasi (co: Singapura) maupun demokrasi tanpa roti (co: Indonesia) bisa saja terwujud dan berjalan, tetapi negara-negara ini memiliki ancaman (walau tidak signifikan) terjadinya revolusi oleh masyarakat mengingat salah satu hajat hidupnya tidak terpenuhi.

Lalu dimanakah posisi negara-negara timur tengah saat ini? Dalam pandangan penulis sesungguhnya kebanyakan negara timur tengah memasuki fase ketiadaan roti maupun demokrasi. Selama bertahun-tahun masyarakat ini hidup tanpa demokrasi, tetapi kondisi ekonomi dunia yang memburuk memaksa mereka untuk hidup tanpa roti. Inilah yang kemudian memaksa seorang pedagang sayur dan buah di Tunisia untuk membakar diri yang kemudian menjadi pemicu terjadinya revolusi di Timur Tengah.

Data berbicara bahwa di berbagai negara timur tengah inflasi mencapai 2 digit, kondisi ini jelas semakin mempersulit masyarakat di kawasan tersebut. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa kondisi mereka yang semakin sulit ini tidak direpresentasikan oleh para pemimpin mereka yang hidup mewah, terjadi kesenjangan sosial antara masyarakat dengan pemimpin mereka beserta kroni-kroninya. Pendapatan GDP per kapita yang tinggi seakan-akan tertumpuk di tangan segelintir orang (Berdasarkan data Global Finance 2009 GDP/kapita PPP Libya $13.400 & Tunisia $9.849, bandingkan dengan Indonesia yang hanya mencapai $4.000), hal ini memicu kemarahan rakyat dan mendorong terjadinya Revolusi yang mengharapkan terwujudnya demokrasi yang pada akhirnya bertujuan bagi ketersediaan “roti” bagi masyarakat.


Dampak Revolusi Timur Tengah Terhadap Perekonomian Global
Timur Tengah sebagai kawasan produsen minyak mentah terbesar dunia, merupakan salah satu pemain ekonomi global yang harus diperhitungkan. Ketidakstabilan kawasan yang diakibatkan demonstrasi, revolusi, dan pergantian kekuasaan ini jelas berdampak pada menurunnya produksi minyak dunia yang mengakibatkan terus beranjak naiknya harga minyak dunia. Kondisi ini diperkirakan akan semakin parah jika Arab Saudi sebagai negara produsen minyak terbesar (10 juta barel/hari) juga terseret dalam arus revolusi timur tengah, dipastikan harga minyak akan terus naik dan dapat menembus kisaran $150 atau bahkan $200 per barrel.

Kenaikan harga minyak ini akan berdampak pada pemulihan ekonomi dunia pasca krisis ekonomi global 2008-2009, mengingat minyak masih menjadi bahan bakar utama dunia dan bahan pokok berbagai produk utama. Melambatnya perekonomian dunia, dalam skenario paling buruk dapat membuat kolaps berbagai negara eropa dan Amerika Serikat yang selama ini men-stimulus perekonomiannya dengan utang luar negeri, jika target pertumbuhan ekonomi yang terjadi jauh dibawah ekspektasi pertumbuhan ekonomi, bukan tidak mungkin utang luar negeri negara-negara tersebut tidak dapat terbayarkan.

Hal lain yang harus diingat adalah bahwa salah satu pembeli terbesar obligasi-obligasi maupun saham perusahaan Eropa dan Amerika Serikat adalah Negara-negara Timur Tengah, Berdasar data sovereign wealth institute, Abu Dhabi Investment Authority memiliki dana $627 milyar, sedangkan Lembaga Investasi Pemerintah Arab Saudi memiliki dana $400 milyar yang sebagian besar diinvestasikan ke negara-negara eropa dan Amerika Serikat. Dana-dana ini sangat mungkin ditarik jika para penguasa negara timur tengah merasa membutuhkan dana tersebut untuk melindungi kekuasaan mereka di dalam negeri. Jika hal tersebut terjadi secara besar-besaran maka dampaknya adalah terpukulnya sumber-sumber pendanaan perekonomian negara-negara maju, yang diiringi juga dengan inflasi sehingga berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan krisis ekonomi global jilid 2.


Masa Depan Roti dan Demokrasi di Timur Tengah
Saat ini harus dikatakan bahwa kondisi Timur Tengah dapat menjadi lebih baik atau bahkan lebih buruk. Kunci dari Timur Tengah yang lebih baik adalah pengawasan masyarakat khususnya pada era transisi ini demi terciptanya kestabilan. Kata kunci pertama yaitu pengawasan masyarakat, dimana masyarakat harus mampu mengawal pemerintahan transisi demi terlaksananya pemilu yang jujur, adil dan bersih. Berkaca dari kondisi Indonesia 1998-1999, kondisi transisi ini sangat rawan akan kudeta militer jika kondisi negara tetap tidak stabil. Namun di sisi lain pengawasan masyarakat yang berlebihan seperti di Indonesia pada era 1998-1999 yang berorientasi pada demonstrasi setiap hari justru tidak efektif dan berdampak pada kekhawatiran investor untuk berinvestasi dan menjalankan aktivitas bisnis.

Kata kunci kedua adalah Kestabilan, yang di sisi lain selama bertahun-tahun menjadi kata kunci dan alasan utama bertahannya pemerintahan otoriter di Timur Tengah. Kestabilan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Timur Tengah, dan menjadi penghambat gerakan pro-demokrasi untuk menjatuhkan pemerintahan berkuasa. Kemampuan pemerintahan transisi menciptakan stabilitas akan mengundang investor untuk kembali dan mengembalikan aktivitas bisnis seperti semula.

Jika roda perekonomian berjalan, maka lebih mudah bagi negara-negara Timur Tengah untuk menyediakan “roti” bagi masyarakatnya, apalagi mengingat hanya 1 sektor utama yang harus jadi concern negara-negara tersebut untuk dipulihkan dalam waktu singkat yaitu sektor minyak. Kembalinya sektor minyak akan mengembalikan likuiditas keuangan negara-negara Timur Tengah untuk mengamankan ketersediaan “roti” bagi masyarakat yang menjadi sumber revolusi Timur Tengah dan mencegah terjadinya krisis minyak berkepanjangan yang dapat mengganggu kondisi perekonomian global.

Jika Mesir dan Tunisia sebagai negara yang terkena revolusi mampu melaksanakan skenario ini, nampaknya revolusi maupun reformasi akan semakin menyebar di Timur Tengah. Terciptanya negara ideal yaitu negara yang memiliki “roti dan demokrasi” akan membuka perspektif masyarakat Timur Tengah bahwa ada posibilitas bagi mereka untuk mencapai negara ideal. Sebaliknya jika stabilitas negara tidak tercapai, dan militer mengambil alih pemerintahan, maka hal tersebut akan menjadi disinsentif bagi negara-negara lain untuk melakukan reformasi dan revolusi.



Akhir Kata, Sebuah Pelajaran bagi Indonesia
Pada akhirnya, revolusi pro-demokrasi di Timur Tengah sudah seharusnya ditanggapi Indonesia sebagai pelajaran dan sebuah dinamika global yang dapat memberi keuntungan bagi Indonesia. Pelajaran pertama adalah bahwa kemampuan suatu pemerintah menyediakan “roti” adalah sangat penting dalam menjaga kestabilan suatu pemerintahan, Indonesia dalam hal ini sangat rentan sama halnya dengan negara-negara di Timur Tengah, mengingat naiknya harga pangan dan minyak jelas mempengaruhi daya beli masyarakat Indonesia. Berkurangnya daya beli masyarakat Indonesia akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didominasi konsumsi dalam negeri.

Pelajaran kedua adalah menciptakan iklim demokrasi bukan hanya masalah kuantitas tetapi juga kualitas, Indonesia selama ini membanggakan diri sebagai negara demokrasi terbesar kedua dan juga mungkin negara yang paling banyak mengadakan pemilihan umum baik nasional maupun daerah selama kurun waktu 5 tahun. Tetapi pemilihan umum itu tidak lepas dari praktik politik uang dan nepotisme yang berakibat pada pemerintahan yang tidak efektif-efisien serta berlarut-larut tersandera konflik. Buruknya kualitas iklim demokrasi Indonesia bisa memicu revolusi rakyat Indonesia jika digabungkan dengan kondisi ekonomi yang buruk. Hal ini seharusnya menjadi pemicu bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk bersama-sama menghindarkan Indonesia dari kondisi “fail state” dan menciptakan negara ideal yang memberi “roti dan demokrasi” bagi rakyatnya.

Tidak ada komentar: