Minggu, 03 April 2011

Rentankah APBN Indonesia Terhadap Faktor Asing?

Dalam beberapa hari terakhir ini pemberitaan media dipenuhi dengan berita internasional terkait memburuknya kondisi sosial-politik-ekonomi dunia, yang secara spesifik membahas mengenai gempa besar di Jepang yang memukul perekonomian Jepang dan kekacauan sosial politik di Timur Tengah yang memicu kenaikan harga minyak. Pemberitaan ini di dalam negeri menimbulkan tanda tanya besar. Seberapa besar dampak memburuknya kondisi internasional terhadap Indonesia sebagai bagian dari komunitas dunia? Apabila dilihat dari sudut pandang sosial-politik, tampaknya tidak ada dampak besar yang diakibatkan dari pergolakan ini, mengingat masyarakat Indonesia masih khawatir terhadap dampak instabilitas politik jika terjadi revolusi seperti yang terjadi di Timur Tengah saat ini.

Lalu bagaimana dengan sektor perekonomian? Jepang sebagai negara investor terbesar ke 4 dunia dengan investasi $710 juta dan tujuan ekspor terbesar Indonesia pada 2010 dengan nilai $16.49 Milyar, adapun dengan Timur Tengah tercatat ekspor Indonesia mencapai $6.5 milyar pada 2010. Maka jelas adanya gangguan di kedua wilayah tersebut akan menurunkan investasi di Indonesia dan melemahkan ekspor Indonesia jika tidak diimbangi dengan kemampuan penetrasi ke pasar-pasar ekspor baru. Tetapi apabila analisa dampak ini diarahkan secara spesifik ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia sebagai tool akselarasi perekonomian Indonesia, maka pertanyaannya adalah apakah pergolakan internasional ini berdampak secara signifikan pada APBN Indonesia?

Untuk memudahkan, maka analisa ini harus dilihat dari 2 hal yaitu teknis dan strategis. Teknis yang dimaksud adalah apakah secara detail perubahan situasi internasional mempengaruhi detail pendapatan dan pengeluaran APBN. Adapun strategis adalah apakah tujuan yang ingin disasar oleh APBN ini dapat tercapai dengan adanya perubahan situasi internasional ini. Dilihat dari sisi teknis maka ada 2 hal yang harus diperhatikan yaitu asumsi makro sebagai landasan pendapatan & pengeluaran negara, serta komposisi pendanaan & pengeluaran APBN itu sendiri. Apa saja yang menjadi Asumsi makro Indonesia? Setidaknya ada 6 asumsi dasar makro yang tercantum dalam APBN 2011. Keenam asumsi tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku bunga SBI-3 Bulan, Harga Minyak dan lifting minyak. Dari sisi pendapatan, pada 2011 target penerimaan APBN mencapai 1104,9 Triliun dan pengeluaran Rp 1229,6 Triliun jika asumsi dasar makro ini tidak meleset.

Jika dikaji lebih dalam maka dampak dari pergolakan Internasional secara garis besar adalah terhadap investasi, ekspor, utang, dan harga minyak dunia. Dari keenam asumsi dasar makro, maka yang paling tidak terpengaruh adalah lifting minyak Indonesia yang sepenuhnya hal ini dipengaruhi oleh kemampuan domestik.

Asumsi lain adalah harga minyak, pada APBN 2011 harga minyak tercatat diasumsikan sebesar $80/barrel bandingkan dengan harga minyak pada rabu, 30 maret 2011 yang telah mencapai angka $104/barrel (WTI crude oil) akibat dari pergolakan politik di timur tengah. Perbedaan asumsi sebesar $24 ini atau hampir mencapai 30% ini akan mengakibatkan lonjakan besar pada pos anggaran subsidi minyak jika terus bertahan hingga akhir tahun.

Sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia, maka beban pemerintah akan semakin besar dan tekanan untuk mengontrol subsidi atau menaikkan harga BBM akan semakin tinggi. Pemerintah jelas harus tegas bertindak mengingat kemampuan pemerintah untuk menahan harga dan kuota BBM saat ini sulit dilakukan dengan defisit yang sudah mencapai 127 Triliun. Jika kenaikan harga BBM adalah keputusan yang dipilih pemerintah , maka inflasi menjadi dampak yang tidak dapat terhindarkan. Dimana inflasi yang ditargetkan 5,3% dapat melonjak seperti pada 2008 menjadi sebesar 11,1% tergantung pada sebesar apa pemerintah akan menaikkan harga/mengontrol kuota BBM. Jika pemerintah kemudian memaksakan untuk meredam inflasi, maka otomatis tingkat SBI-3 bulan akan dinaikkan sehingga target SBI-3 bulan sebesar 6,5% sulit tercapai dan terjadi disinsentif untuk berinvestasi. Disinsentif berinvestasi yang diikuti penurunan investasi ditambah kenaikan inflasi dapat dipastikan akan menghambat pertumbuhan ekonomi 6,3%.

Sedangkan exchange rate bisa jadi menguat seiring dengan kenaikan SBI ataupun melemah seiring dengan inflasi yang terjadi tergantung seberapa besar dampak dari kebijakan yang diambil pemerintah. Tetapi cukup jelas bahwa kenaikan harga minyak sangat mempengaruhi asumsi dasar makro APBN Indonesia yang akan berdampak pada pos pendapatan dan pengeluaran di Indonesia. Kenaikan pos subsidi khususnya subsidi BBM dan energi akan menjadi penyumbang terbesar perubahan komposisi pengeluaran APBN. Pos subsidi minyak yang saat ini mencapai 95.9 Triliun Rupiah dapat melonjak hingga 125 Triliun rupiah jika harga minyak stabil di level $104/barrel, hal ini dapat menjadi lebih buruk jika harga minyak naik hingga kisaran $120-150/Barrel. Dimana perkiraan subsidi energi 144 Triliun dapat bertambah menjadi 200 Triliun jika kenaikan harga minyak berlanjut.

Dari sisi pendapatan, kenaikan harga minyak akan memberi tambahan dana segar bagi pendapatan khususnya dari kenaikan pendapatan minyak pemerintah yang ditargetkan sebesar 104 triliun rupiah dan kenaikan PPh Migas yang tercatat ditargetkan sebesar 54 Triliun. Tetapi apakah kenaikan ini sebanding dengan kenaikan biaya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah? Rasanya dengan adanya selisih konsumsi atas produksi minyak yang mencapai 500 Ribu barrel/hari, kenaikan ini tidak sebanding dengan kenaikan pos anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Belum lagi ancaman tidak tercapainya target pendapatan seperti pajak penghasilan dan PPN jika pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tidak terealisasi dan terjadinya pelemahan ekspor akibat terpukulnya perekonomian Jepang sebagai pasar ekspor terbesar Indonesia.

Ancaman tidak terealisasinya pertumbuhan ekonomi 6,3% bukan hanya dari ancaman inflasi, kenaikan SBI dan pelemahan ekspor. Tetapi juga dari kemungkinan tidak terealisasinya investasi Penanaman Modal Asing akibat dari melemahnya perekonomian Jepang yang merupakan salah satu investor terbesar di Indonesia dan kekhawatiran masyarakat Internasional untuk melakukan investasi di luar negeri. Ini berarti APBN 2011 terancam tidak dapat mewujudkan sasaran strategis seperti yang tertuang pada Rencana Kerja Pemerintah 2011 yang mencanangkan tahun 2011 sebagai tahun “PERCEPATAN PERTUMBUHAN EKONOMI YANG BERKEADILAN DIDUKUNG PEMANTAPAN TATA KELOLA DAN SINERGI PUSAT DAERAH” yang antara lain diwujudkan melalui pertumbuhan ekonomi 6,3%, pengangguran 7%, dan Tingkat kemiskinan 12,5%.

Secara lebih jauh, pergolakan internasional ini memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan. Terkait kenaikan harga minyak, maka pemerintah dihadapkan pada 2 pilihan. Memaksakan subisidi BBM pada kuota dan harga saat ini sehingga target inflasi, SBI, dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai, dengan konsekuensi semakin parahnya defisit anggaran dan bisa jadi bangkrutnya kas negara. Atau menaikkan harga BBM/menekan kuota BBM sehingga secara teknis APBN Indonesia dapat mencapai target dan amannya kas negara, tetapi sebagai konsekuensinya akan terjadi peningkatan inflasi yang terkait dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan SBI. Pemerintah juga harus mampu mencari pasar ekspor pengganti Jepang serta secara aktif menarik investor asing untuk menggantikan posisi jepang sebagai salah satu investor utama Indonesia. Apapun pilihan yang diambil pemerintah, tampaknya jelas bahwa pergolakan Internasional telah memukul APBN Indonesia.

Sumber Referensi :
http://www.bisnis-kti.com/index.php/2011/03/info-grafis-indikator-hubungan-ekonomi-indonesia-jepang/
http://www.bisnis-jatim.com/?p=8862
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=4531&type=6
http://www.oil-price.net/
Nota Keuangan APBN 2011
Gregory Mankiw – Macroeconomics 5th Edition
Rencana Kerja Pemerintah Indonesia 2011

Tidak ada komentar: