Kamis, 25 September 2014

Melihat sisi lain UU Pilkada

Beberapa hari ini ternyata mendorong keinginan menulis lagi setelah sekian lama, hal ini disebabkan kisruh pilkada yang sedang hangat diperbincangkan. Sedikit mengingatkan bahwa kisruh ini terjadi karena adanya beda pendapat dalam menentukan metode pemilihan kepala daerah. Menarik melihat masyarakat yang apatis terhadap selama ini menjadi bersemangat untuk mengomentari isu ini. Tetapi amat disayangkan bahwa terlempar klaim dari kedua belah pihak bahwa kedua-duanya memperjuangkan kepentingan rakyat dan menuduh pihak lain mencederai demokrasi.

Pada dasarnya demokrasi terbagi menjadi direct dan indirect. Keduanya memiliki contoh masing-masing yaitu direct di US & Jepang dan indirect di UK dan Australia, di sisi lain ada negara yang mencampurkan kedua sistem seperti Jerman. Fakta ini memperlihatkan secara makna demokrasi, tidak ada yang salah ketika metode pemilihan kepala daerah diubah dari pemilihan langsung menjadi pemilihan via DPRD, begitu pun sebaliknya. Karena sesungguhnya DPRD adalah wakil yang dipilih rakyat. 

Di luar itu tentu saja pilkada via DPRD membawa sisi positif, seperti efisiensi anggaran, mempermudah pengawasan KPK terhadap money politics, dan memungkinkan calon-calon yang memiliki modal minim untuk terpilih menjadi kepala daerah (bukan yang sekedar populer/memiliki uang banyak agar bisa populer). Tentu saja poin 2 harus disertai syarat penguatan KPK sebagai institusi. Sementara poin 3 harus disertai syarat bahwa partai selektif dalam memilih calon kepala daerah, hal ini seharusnya menjadi kewajiban bagi partai karena jika mereka dengan seenaknya memilih kepala daerah yang tidak kompeten, maka otomatis rakyat akan kecewa dan tidak memilih partai itu kembali.

Tetapi argumen ini ditolak oleh kubu pendukung pemilihan langsung. Menurut saya ada 2 hal yang menyebabkan hal ini terjadi :
1. Opini bahwa motif perubahan oleh KMP adalah semata karena kekuasaan
2. Ketidakpercayaan masyarakat bahwa anggota DPRD dan partai mewakili mereka. 

Menjawab kedua hal ini saya bisa katakan bahwa motif KMP memang semata karena kekuasaan, bukan demi rakyat dan omong kosong lain yang mereka gembar-gemborkan. Tetapi bukankah itu tujuan akhir berpolitik? yaitu demi meraih kekuasaan? Hal ini juga yang dilakukan Ahok ketika meninggalkan partai PIB untuk menjadi anggota DPR Golkar, dan kemudian meninggalkan Golkar untuk menjadi wagub Jakarta. Hal ini pula yang dilakukan Partai Republik di US dengan membatasi akses memilih melalui pemberian syarat untuk membawa kartu identitas yang bermacam-macam serta menolak perpanjangan waktu memilih, semuanya demi merugikan minoritas yang merupakan pendukung Partai Demokrat. 

Tentu saja ini membawa pada argumen, "tetapi UU Pilkada mengambil hak rakyat!". Wait, bukankah Ahok juga melakukan hal yang sama ketika ia meninggalkan pemilihnya babel untuk menjadi wagub Jakarta, dan membiarkan suara no urut 2 menggantikannya memperjuangkan "hak" mereka di DPR? Berbeda dengan di US dimana ketika anggota DPR mundur akan dilakukan pemilihan ulang, hal ini tidak terjadi di Indonesia. Padahal no urut 2 bisa jadi bukan merupakan pilihan mayoritas rakyat, dan hasil yang berbeda bisa didapatkan jika dilakukan pemilihan ulang. 

Hal yang sama terjadi di US dengan Partai Republik membatasi/menyulitkan hak memilih warga minoritas, walau tidak separah Partai Demokrat di masa lalu yang "melarang" warga kulit hitam dan kulit putih yang miskin untuk memilih melalui poll tax. Tentu saja yang dilakukan ahok tidak salah, karena begitulah peraturan yang berlaku di Indonesia, pun dengan cara KMP mendapatkan kekuasaan, karena hal tersebut tidak dilarang dalam konstitusi Indonesia.

Tetapi hal pertama tidak akan terjadi jika saja masyarakat percaya bahwa anggota DPRD dan DPR mereka adalah orang-orang kompeten yang mewakili mereka. "Trust" inilah yang telah hilang antara masyarakat dengan politik di Indonesia. Mencari akar penyebabnya bagi saya adalah sistem gado-gado dimana sistem pemilihan Indonesia mencampurkan sistem distrik dengan proporsional yang disebut proporsional terbuka.

Sistem distrik memiliki keuntungan masyarakat lebih mengenal anggota dewan yang mereka pilih (karena 1 daerah diwakili langsung 1 dewan), dan biaya politik yang relatif murah dibanding sistem proporsional terbuka. Selain itu sistem distrik juga memungkinkan anggota DPR/DPRD tidak taat karena masyarakatlah yang memilih mereka, pengawasan money politics juga lebih mudah karena cakupannya hanya 1 kabupaten/kota. Di sisi negatif, individu yang populerlah yang terpilih, hal ini terkadang menimbulkan masalah kompetensi. Atau ketakutan mengambil tindakan yang benar karena tidak populer di mata pendukungnya, contoh hal ini adalah government shutdown atau slavery abolition di US yang ditolak sebagian anggota DPR karena ketakutan mereka akan pendukungnya tidak memilih mereka lagi

Sistem kedua yaitu sistem proporsional berarti masyarakat memilih partai, dan partai akan memilih anggota dewan sesuai proporsi kursi yang didapat. Hal ini memungkinkan orang-orang yang kompeten tetapi memiliki sedikit uang atau tidak ahli berkampanye untuk terpilih (selama partainya mendukung orang-orang kompeten). Lagi-lagi sistem ini juga relatif menghemat uang, karena umumnya daerah kampanye akan dibagi partai sehingga menjadi tidak terlalu luas. Pada sistem ini masyarakat yang kecewa harus menyuarakannya dengan tidak lagi memilih partai yang buruk. 

Tetapi sistem pemilihan anggota dewan di Indonesia saat ini boleh dikatakan telah gagal. Sistem proporsional terbuka berarti setiap daerah pemilihan memiliki 3-8 wakil rakyat dengan jangkauan 1-10 kabupaten/kota. Akibatnya dibutuhkan uang dalam skala besar untuk berkampanye di seluruh wilayah tersebut. Biaya uang yang besar menyebabkan terpilihnya pengusaha/orang-orang yang masuk DPR untuk mencari uang/balik modal, atau terpilihnya artis-artis yang karena populer tidak memerlukan banyak uang untuk berkampanye namun sebagian minim kompetensi. Kelemahan lain adalah tidak ada "ikatan" yang kuat antara rakyat dan wakil rakyat sebagai akibat besarnya masyarakat yang diwakili. Hal inilah yang menurut saya menjadi dasar argumen penolakan UU Pilkada poin 2. 

Akhir kata tentu saja kita harus melihat sisi positif & negatif dari UU ini, dan melihat lebih dalam lagi akar masalah demokrasi kita. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang reaktif dan hanya peduli sesaat tanpa menggali lebih jauh permasalahan utama Indonesia. 

Notes :
Penulis secara pribadi mendukung pilkada via DPRD untuk bupati dan pilkada langsung untuk gubernur. Tetapi mungkin alasannya terlalu panjang untuk dijabarkan dalam post ini

Tidak ada komentar: